Sampul Majalah Paris Match



 Dialektika tuan-budak dibahas Hegel dalam buku Fenomenologi Roh. Meskipun secara judul ia menyiratkan dimensi historis ketuhanan, tapi porsi untuk pembahasan tentang manusia mendapat tempat yang banyak. Salah satu yang dibahas panjang lebar ialah proses pembentukan kesadaran diri yang muncul secara historis-konfliktual.


Bila kesadaran diri subjek Kant berada di area ahistoris karena transendentalismenya, maka kesadaran diri subjek Hegel berada di arena historis. Kesadaran musykil terbentuk tanpa interaksi dengan dunia empiris dalam lokus historis tertentu. Kesadaran lalu terbentuk lewat perjumpaan konkret antara subjek dengan orang lain (liyan).


Orang lain lantas menjadi objek dari "keinginan" (enjoyment, desire) saya. Karena itu, tujuan tertinggi kesadaran diri adalah pengakuan dari yang lain, dalam artian, kesadaran diri mencapai tujuan dan kepuasannya hanya dalam kesadaran liyan bukan dalam kesadaran subjek; liyan tak lebih daripada medium subjek untuk mencapai tujuannya. (Kelak gagasan ini dielaborasi dengan thymos Plato oleh Fukuyama, juga objektifikasi itu mempengaruhi Lacan, Sartre, dan Zizek, dan dibalik lewat etika Levinas.)


Karena tujuan tertinggi subjek adalah pengakuan dari kesadaran liyan, maka konflik tak terelakkan. Dalam konflik itu, subjek yang mencapai tujuan atau menang menjadi majikan dan liyan yang kesadarannya dikuasai atau kalah menjadi budak. Sang tuan lantas menjadikan budak dan seluruh pengabdiannya sebagai objek hasrat dan budak berusaha memenuhi keinginan tuan dengan kerja-kerja produktif.


Selanjutnya, relasi tersebut dibalik oleh Hegel. Justru karena ketergantungan tuan kepada budak, tuan pun menjadi budak dari sang budak, dan karena budak tak dapat merealisasikan dirinya tanpa kehadiran pada tuan, maka budak menjadi tuan dari tuan. Dialektika itu terus bergulir, sampai akhirnya Hegel berpendapat bahwa untuk menjadi tuan kita mesti memperbudak keinginan sendiri (lewat kebijaksanaan latin, barangkali dengan agate contra) dan untuk menjadi budak kita hanya perlu diperbudak keinginan sendiri. Barangkali inilah basis dari Ubermansch Nietzche yang berkata bahwa kita mesti menjadi tuan dengan merujuk pada kehendak berkuasa secara internal tanpa perlu menjadi budak yang merujuk ke mahkamah otoritas eksternal yang menuntut "kamu harus!"


Dialektika tuan-budak ini amat mempengaruhi perkembangan filsafat di kemudian hari. Hegel seolah menciptakan mainan yang terlalu berkilau dan menantang untuk ditentang. Yang sudah umum kita tahu tentunya pengaruhnya kepada Marxisme, yang memodifikasinya dalam skala lebih besar, relasi tuan dan budak lalu direifikasi ke dalam dua kelas besar yang selalu bertentangan. Dalam masyarakat feodal, tuan-budak menjelma sebagai pemilik tanah dan petani, dalam masyarakat kapitalis tuan-budak menjelma pemilik modal-buruh, oleh Harari dalam Homo Deus, dalam masyarakat dataisme tuan-budak menjelma dalam homo deus-homo useless (manusia mubazir karena tatanan kerja telah terdisrupsi besar-besaran).


Dialektika tuan-budak juga mempengaruhi domain psikologis. Tuan tidak lebih dari hasrat untuk menikmati dan budak ialah dorongan dari dalam untuk merealisasikan diri. Dalam masyarakat kapitalis, acap kali seseorang bisa disebut tuan ketika ia berperan sebagai konsumen dan budak ketika ia berperan sebagai produsen. Seseorang bupati menjadi tuan ketika makan di warteg dan penjual makanan menjadi budak saat itu, tapi ketika pulang ke rumah, sang penjual makanan menjadi tuan demi menikmati waktu luang dan bupati menjadi budak karena perlu mengorganisir pajak yang dibayar sang budak.