What-The-Water-Gave-Me-large: Frida Kahlo

Diulas dari buku The Interpretation of Dream, karya Sigmun Freud.

 

Mimpi adalah salah satu teka-teki yang pernah mengusik pikiran saya. Memang, percakapan soal ini telah bermula dari jauh sekali. Sebuah manuskrip batu dari Mesopotamia berabad-abad jauh lamanya pernah mencatat pengalaman mimpi seorang raja. Zaman nabi-nabi, mimpi kerap diilustrasikan sebagai kisi-kisi masa depan yang diturunkan Tuhan. Sampai seorang dari lingkar Wina akhir abad ke-19 mulai mempopulerkannya sebagai ilmu yang dapat dibicarakan di atas bangunan ilmiah. Pada abad itulah, mimpi ditarik dari otoritas ilahiah ke otoritas manusia; bahwa pesan mimpi tidaklah berasal dari langit nun jauh, melainkan bentuk komunikasi sublim dari rak kesadaran paling dasar kita. (Kita bisa berdebat panjang lebar soal status ilmiah psikoanalisa—terutama psikoanalisa Freud—tetapi tak bisa kita ingkari persembahan besar dia dalam sumbangan mimpi bagi neurosains di kemudian hari.)

 

Bagi Freud, mimpi tak lebih dari simbolisasi seksual semata. Simbol-simbol yang hadir di mimpi dapat digunakan untuk menjelaskan impuls-impuls seksual yang susah payah direpresi kesadaran ketika terjaga. Freud mengutip Aristoteles, bahwa para pakar mimpi pastilah seorang yang piawai dalam membangun kerangka analogi. Mimpi tak lebih dari analogi dari pengetahuan jiwa kita. Bagi Freud, mimpi tak lebih dari analogi dari hasrat seksual kita.

 

Setidaknya terdapat tiga jenis pesan mimpi yang dapat ktia dapati dalam buku ini. Pertama, mimpi yang dikonduksi oleh stimulus fisik internal. Misalnya mimpi susah bernapas yang barangkali disebabkan dada kita dihimpit oleh sesuatu yang berat.

 

Kedua, mimpi yang mengakomodir keinginan yang tak terwujud di dunia nyata. Freud memberi contoh seorang anak yang merengek ke ayahnya agar dibawa ke gunung tapi ditolak oleh sang ayah. Malamnya, sang anak memimpikan dirinya menaiki gunung itu bersama sang ayah. Mimpi, dalam hal ini, seperti halnya peri fantasi yang memenuhi keinginan-keinginan mendalam kita. Kendati mimpi hanyalah fiksi semata, tetapi perasaan yang berjalan ketika mimpi berlangsung merupakan perasaan nyata yang tak terbantah.

 

Ketiga, mimpi sebagai gejala awal kegilaan. Beberapa jenis kondisi neurotik memang ditandai dengan mimpi kecemasan yang mengerikan. Atas dasar itu pula Freud mengembangkan metode terapi yang melacak jejak mimpi para pasiennya. Dengan harapan, dapat berjumpa dengan penyebab psikopatologi yang mengakar di jantung ketidaksadaran manusia. Soal ini, Freud sempat mengutip Schopenhauer: “Mimpi adalah gila yang singkat. Dan kegilaan adalah mimpi yang panjang.” Kita bisa bermain kata-kata di sini: untuk dapat memahami kegilaan, kita tinggal pelajari mimpi, sebab mimpi adalah miniatur kegilaan.”

 

Dalam konteks neurosains, mimpi adalah matinya kerja logika (prefontal cortex) dan bangkitnya emosi (amygdala) dalam keadaan tubuh yang tersandera tidur. Kita dapat menyaksikan lewat pemindai MRI bahwa otak kita sama aktifnya ketika terjaga bila sedang bermimpi. Satu-satunya yang tidak beraktifitas seperti biasa memang bagian otak yang bertanggung jawab atas logika. Tidak heran mereka yang sering bermimpi kerap bangun dalam keadaan erak, karena otak tidak berhenti bekerja ketika tidur. Kecuali bagi beberapa orang yang mampu menguasai lucid dream, yakni kemampuan mengendalikan mimpi, mereka terbukti dapat berpikir logis meski lagi terlelap. Salah satu tips agar dapat menguasai lucid dream, ujar salah seorang yang ahli di bidang ini, adalah rajin-rajin bertanya “apakah ini nyata?” (Lalu tiba-tiba saya berasumsi bahwa pemikir ontologi atau eksistensialis pasti jago bermimpi.)

 

Dalam buku Why We Sleep, teori mimpi Freud memang telah banyak dibantah. Matt Radley, pengarang buku itu, berkata bahwa mimpi hanyalah efek samping dari upaya tidur mengorganisir ingatan: meletakkan memori parasit ke rak kesadaran paling bawah dan meletakkan kenangan yang diinginkan ke rak kesadaran yang dekat dengan jangkauan ingatan. Mimpi sama halnya dengan efek panas dari bohlam lampu di nakas kita. Fungsi lampu adalah menerangi ruang, efek sampingnya adalah panas pada cangkang. Mimpi tak ubahnya panas pada cangkang bohlam; ia efek samping yang tak diinginkan—setidaknya oleh para ilmuwan neuron. Karena itu, banyak ilmuwan dalam bidang tidur yang menolak konsep bahwa mimpi adalah perantara pesan, bahwa mimpi kita memiliki makna, bahwa mimpi kita begitu istimewa.

 

Orang-orang suka menganggap mimpi mereka sendiri istimewa, karena kita memang makhluk yang secara naluriah narsistik. Kita ingin hidup kita punya makna, dan bila kita cukup jujur dan tajam pada diri sendiri, kita ingin segenap galaksi berputar dengan kita porosnya. Karena itu, beberapa kita menganggap mimpi kita adalah mimpi istimewa, yang pasti memiliki makna sesuatu atas kejadian tertentu di masa depan yang masih rahasia.