Nasib memang bisa terbelah oleh kekuasaan. Pasca menyerahnya Jepang terhadap Barat, negara Korea terpisah menjadi dua bagian tepat di garis paralel 38 derajat lintang utara dan menjadi dua spektrum politik yang amat berbeda. Korea Selatan dikuasai oleh Amerika Serikat dan Korea Utara dikuasai Rusia. Pada Juli 1950, Korea Utara mulai mengagresi Korsel sampai menduduki Seoul sehingga pemerintahan Korsel lumpuh. Lalu ketika musim semi tiba, para aggressor lambat laun mundur kembali ke utara. Dalam situasi penuh cekam teror itulah Hwang Pyong-Won terpisah dari saudaranya. Saudaranya yang awal mula merawat korban perang Korsel telah ditawan Korut lalu dibawa pergi ke utara. Hwang Pyon-Won sendiri bekerja sebagai apoteker dan tidak pernah melihat wajah saudara serahimnya selama 50 tahun lamanya. Barulah ketika kedua negara terbelah itu menyepakati reunifikasi terbatas untuk korban perang, Hwang Pyong-Won bisa ketemu lagi dengan saudaranya pada tahun 2000.


Sebagai seorang dokter, saudara Hwang Pyong-Won disuruh bekerja di angkatan udara Korut, pekerjaan yang cukup bergengsi di negara dengan sistem diktator. Tapi tetap saja nasib kedua saudara itu bersenjangan jauh. Hwang Pyong-Won memiliki mobil tapi saudaranya tidak. “Kau mempunyai telepon?” tanya Hwang Pyong-Won. Saudaranya menjawab tidak punya. “Putriku yang bekerja di Departemen Luar Negeri punya, tapi kau tidak bisa menghubunginya bila tidak tahu kode teleponnya.” 


Pertemuan itu canggung karena dinding politik dan sejarah yang mencengkeram batin mereka, kendati sebenarnya mereka berdua saling rindu. Hwang Pyong-Won sadar bahwa hampir semua anggota keluarga lain yang terpisah di Korut meminta pinjaman uang dari keluarga mereka di Korsel. Spontan, Hwang Pyong-Won menawarkan sejumlah uang yang langsung ditolak oleh saudaranya. “Kalau aku pulang membawa uang, pasti pemerintah akan menyitanya,” tolak saudaranya dengan nada halus. “Simpan saja uang itu.” Melihat jaket saudaranya yang belal-belel, Hwang Pyong-Won menawarkan jaketnya juga tapi ditolak oleh saudaranya, karena jaket compang-camping tersebut merupakan pinjaman dari pemerintah Korut. Masih terang dalam ingatan Hwang Pyong-Won akan perpisahan mereka. Saudaranya tampak canggung dan gelisah seolah ada kuping tak kasat mata yang mendengarkan percakapan mereka yang singkat. Saudaranya masih tersekap dalam ilusi detensi tanpa akhir.


Perjumpaan kedua kakak-beradik yang dipisahkan politik merupakan ilustrasi singkat bagi kita untuk melihat bagaimana nasib sebuah negara yang kendati berlokus geografis yang sama, tapi takdirnya bisa sangat tajam berbeda. Seakan Hwang Pyong-Won berasal dari surga dan saudaranya berasal dari neraka. Ilustrasi singkat ini menjadi argumentasi pertama Daron Acemoglu dan James Robinson untuk mematahkan hipotesis bahwa negara Makmur ditentukan oleh kondisi geografisnya. Determinasi geografis khas Jared Diamond tidak bisa diterima oleh kedua orang yang menulis buku Mengapa Negara Gagal itu. Sebab bila benar Makmur atau gagalnya suatu negara ditentukan oleh aspek geografis, maka kesenjangan Hwang Pyong-Won dan saudaranya tidak akan terjadi.


Hipotesis lain berkenaan dengan Makmur tidaknya suatu negara adalah hipotesis kebudayaan, atau hipotesis nilai (value). Max Weber dalam Etika Protestan menyatakan bahwa mesin kapitalisme bisa lahir dan beroperasi karena dilandasi oleh basis nilai teologi Protestan. Akar dari teologi ini adalah doktrin Calvinis, yang menyatakan bahwa berhemat dan memburu materi merupakan hal yang baik bagi agama. Bahkan ritualisasi kematian dalam Protestan dilakukan dengan memakai jas, dasi, serta membawa beberapa harta benda sampai ke liang kubur. Acemoglu dan Robinson tidak sepakat dengan hal ini. Mereka memaparkan kondisi masyarakat Arab yang kendati memegang nilai keislaman, tapi tidak semua wilayahnya makmur. 


Dawam Rahardjo pun menolak logika Weber yang menyatakan bahwa sistem nilai mendeterminasi realitas ekonomi. Relasi itu bisa saja dibalik: karena ekosistem kapitalisme dan liberalisme berkembang di Eropa Barat, maka spirit Protestan bisa tumbuh subur di sana. Taleb memberikan bukti historis yang penting dengan memperlihatkan Prancis yang merupakan negara Katolik tapi bisa mengikuti ritme industrialisasi khas kapitalisme sampai ekonomi mereka berkembang makmur.


Hipotesis terakhir adalah kebodohan. Karena rakyat Sebagian besar bodoh, maka pemimpin politik dan ekonomi mestilah orang-orang pintar. Tapi di Ghana, hal tersebut tidak terbukti kebenarannya. Perdana Menteri Ghana, Kofi Busia, terpilih pada tahun 1969. Negara yang ia kepalai saat itu tengah dilanda krisis ekonomi hebat. Demi mengatasinya, PM Ghana mengadopsi strategi kebijakan yang dilakukan oleh Nkrumah yang pernah terbukti berhasil, agar dia bisa menyalurkan sumber daya strategis ke kelas menengah sehingga pemberontakan rakyat dapat dibendung gejolaknya. Namun ketika PM Ghana bekerja sama dengan IMF dengan catatan mata uang mereka mesti didevaluasi secara drastis, lambat laun krisis serta pergolakan terjadi di dalam negeri yang justru membuat Kofi Busia dikudeta oleh kelompok militer. 


Pengalaman Busia menegaskan bahwa kendala utama yang mementahkan kebijakan-kebijakan populis dengan mengatasi gagal pasar dan merangsang pertumbuhan ekonomi bukanlah kebodohan politisi, melainkan factor insentif dan hambatan yang akan mereka dapatkan dari pelbagai institusi politik dan ekonomi dalam negerinya. Busia tidaklah “bodoh”, namun institusi politik dan ekonomi negaranya tidak dapat mendukung strategi kebijakan yang pernah berhasil diimplementasikan Nkrumah sebelumnya. Meskipun hipotesis kebodohan masih dipegang dan diandalkan para pakar ekonomi, tetap saja hipotesa ini tidak memadai untuk menjelaskan asal-usul kemakmuran dan kegagalan negara.




Institusi Inklusif Vs Institusi Ekstraktif


Segera setelah ketiga hipotesa itu dibalik oleh Acemoglu dan robinson, mereka lantas menawarkan hipotesa lain: hipotesis institusional. Perkara kemakmuran maupun kegagalan negara tidak bisa dijelaskan oleh aspek geografis, sistem nilai, maupun kapasitas isi otak, namun bisa dijelaskan dengan pendekatan struktural. Mereka membagi dua jenis institusi: inklusif dan ekstraktif. Yang pertama merupakan prasyarat bagi kemakmuran negara dan yang terakhir merupakan biang keladi dari kegagalan negara.


Untuk memahami lebih jelas hal ini, mari kita menengok dua negara yang hanya dibatasi oleh kota Nagolez, Amerika dan Meksiko. Kedua negara itu punya perwakilan di jejeran orang-orang terkaya di dunia, yakni Bill Gates dari Amerika dan Carlos Slim dari Meksiko. Namun kendati kedua negara itu bertetangga dan dihuni oleh salah dua orang terkaya di dunia, tetapi kenapa kiranya nasib kedua negara itu jauh berbeda? Amerika merupakan negara makmur dan Meksiko tidak makmur. Jawabannya sangat sederhana. Meksiko tidak mengenal hak paten. Bill Gates bisa merangkak dari bawah sampai ke peringkat orang terkaya berkat iklim ekonomi dan politik di Amerika yang menghormati dan mengapresiasi hak paten. Sedangkan Carlos Slim menjadi kaya berkat monopoli ekonomi dan main mata dengan politik.


Perbedaan yang paling mencolok dalam praktik penerbitan surat paten di Amerika adalah warga yang menerima hak paten tersebut berasal dari pelbagai macam latar belakang dan profesi, bukan hanya para hartawan dan kelompok elite. Semisal Thomas Edison, tokoh pencipta termahsyur lewat penemuan fonograf dan lampu pijar sekaligus pendiri perusahaan General Electrics, yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia. Yang menarik adalah, Edison bahkan tidak pernah lulus sekolah dasar sama sekali. Antara tahun 1820 dan 1845, hanya 19 % pemilik hak paten di Amerika yang terlahir dari keluarga professional atau tuan tanah terkenal. Pada masa yang sama, 40% daripada pemegang hak paten hanya lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Iklim demokratis Amerika memungkinkan inovasi teknologi berkembang biak lebih cepat dan meluas pengaruhnya ketimbang negara-negara lain. Ini menjelaskan kenapa kita bisa menyebut banyak nama tokoh terkaya dunia di Amerika tapi hanya mengenal Carlos Slim di Meksiko.


Pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi di negara-negara demokratis selalu disertai fenomena, yang oleh ekonom Joseph Schumpeter disebut sebagai “penghancuran kreatif”. Gelombang penghancuran kreatif dapat melantak sistem atau institusi lama dan menggantikannya dengan yang baru. Tumbuhnya sector baru bakal merenggut pelbagai sumber daya yang semula dikuasai sector lama. Perusahaan-perusahaan pendatang baru akan menggeser perusahaan lama yang sudah mapan lahan bisnisnya. Dtangnya teknologi baru menyebabkan mesin dan beraneka keahlian yang menjadi ketinggalan zaman. Proses pertumbuhan ekonomi dan institusi ekonomi inklusif juga melahirkan pemenang dan korban, baik di kancah politik maupun di pasar. Hari-hari ini, gelombang kehancuran kreatif kita kenal dengan term “disrupsi”.


Pengakuan hak paten dan keterbukaan terhadap inovasi pengetahuan pun teknologi, merupakan ciri dari institusi inklusif. Amerika bisa makmur karena menerima dengan tangan terbuka kehadiran disrupsi. Model intitusi politiknya inklusif dalam artian kekuasaannya tidak terpusat tapi terdesentralisasi, sebagaimana jargon demokrasi Abraham Lincoln, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sedangkan institusi ekonominya menyediakan atmosfer kondusif untuk perkembangan inovasi dan teknologi. Institusi-institusi ekonomi inklusif membuka jalan bagi berfungsinya dua mesin kemakmuran: teknologi dan pendidikan. Pertumbuhan ekonomi berkesinambungan hampir selalu beriringan dengan penyempurnaan teknologi yang melipatgandakan produktivitas masyarakat (tenaga kerja), serta lahan pun modal (bangunan, mesin-mesin produksi, dan sebagainya).


Konsekuensi dari berkembangnya institusi ekonomi inklusif ialah kemajuan teknologi, meningkatnya gairah para pebisnis, untuk berinvestasi dan berekspansi, serta pendayagunaan keterampilan dan talenta dari Angkatan kerja secara efisien. Namun institusi-institusi ekonomi tersebut hanya bisa berkembang karena didukung oleh institusi politik yang juga inklusif. Resultan dari institusi politik dan ekonomi yang inklusif itu adalah kemakmuran negaranya. Lawan dari institusi inklusif adalah institusi ekstraktif, di mana Lembaga politiknya memfokuskan kekuasaan pada segelintir elite dan Lembaga ekonominya memperkaya diri lewat monopoli. Resultannya adalah kemiskinan. 


Negara dengan institusi ekstraktif bukannya anti-teknologi. Tapi karena pemerintah bersifat totaliter. Negara totalitarian didasarkan pada suatu ideologi eksplisit yang memberikan suatu pandangan komprehensif tentang kehidupan manusia. Totalitarianisme berusaha menghancurkan masyarakat sipil secara keseluruhan dengan gahar, dalam pencariannya terhadap kontrol “total” atas kehidupan para warga negara (Fukuyama, 2004). Kontrol total terhadap masyarakat membuat rakyat deficit hak tapi surplus kewajiban. Negara bisa dengan sesuka hati memerintah warganya untuk terus bekerja. Jam lowong masyarakat kemudian berkurang sehingga tidak ada waktu untuk berinovasi dan memikirkan ide-ide baru yang segar. Negara dengan institusi ekstraktif bukannya anti-teknologi, akan tetapi disrupsi tidak bisa tumbuh subur karena sifat politiknya yang bak orangtua protektif dan suka memerintah tanpa memperhatikan hak warganya.


Max Weber mempunyai definisi yang sangat populer dan diterima luas tentang konsep negara, yaitu entitas berwenang untuk “memonopoli kekerasan secara sah”. Seolah tanpa monopoli (secara ekonomi) dan sentralisasi (secara politik), negara tidak bisa menjalankan peranan sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban. Institusi semacam ini disebut dengan state apparatus reprresif oleh Louis Althusser. 


Dalam negara yang didefinisikan Weber itulah, fenomena “hukum besi oligarki” menampakkan diri. Menurut sosiolog Jerman, Robert Michels, logika internal yang mendasari rezim oligarki dan semua organisasi hierarkis, akan mendorong rezim oligarki untuk melipatgandakan kekuatan. Bukan hanya ketika berhadapan dengan rival politik di dalam kelompok yang sama, tetapi juga saat rezim itu sukses mendominasi kekuasaan (Michels, 1962). Kalaupun ada revolusi radikal untuk menumbangkan tiran di pucuk oligarki, yang sering terjadi adalah pergantian dari satu tiran ke tiran lain. Ketika seorang tokoh revolusioner memekikkan keadilan, terdapat isyarat bahwa ada Hasrat untuk berlaku tidak adil di baliknya (Le Bon, 2017). Sebagaimana istilah yang popular: revolusi selalu memakan anak kandungnya sendiri.


Acemoglu dan Robinson memaparkan keterpurukan negeri Sierra Leone yang diakibatkan oleh lingkaran setan institusi ekstraktif. Penguasa kolonial Inggris di masa lalu membangun sejumlah institusi ekstraktif, dan para penguasa pasca kemerdekaan dengan senang hati melanjutkan sistem yang mereka wariskan. Siklus historis semacam itu teramat khas terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika. Harapan akan tibanya perubahan setelah terbebas dari bangsa penjajah begitu melambung di Ghana, Kenya, Zambia, dan beberapa negara Afrika lain. Tapi mereka justru kembali jatuh ke dalam kecelakaan sejarah yang sama di dalam cengkeraman institusi ekstraktif. 


Sikap totalitarian yang mengorbankan rakyat ini bisa kita lihat dalam pembangunan ekonomi Lenin ketika mempraktikan paket kebijakan komunisme. Lenin pernah berkata, “Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas 30 juta mayat manusia.” (Nugroho, 2019). Di Cina sendiri, rezim Mao berambisi membangun perindustrian setelah tahun 1958 yang banyak mengorbankan nasib rakyatnya. Mao mengklaim kalau hasil produksi baja di negaranya akan meningkat dua kali lipat dengan memaksimalkan produksi baja dari sentra-sentra industri kecil peleburan baja. Demi mewujudkan ambisi gila-gilaan itu, seluruh rakyat diwajibkan mengumpulkan besi bekas, melebur semua panci dan ketel, bahkan alat-alat pertanian yang mereka miliki untuk dijadikan baja, dan dengan demikian lenyap sudah prospek mereka untuk mempertahankan swasembada pangan negaranya. Akibat dari kebijakan itu adalah bencana kelaparan yang memakan banyak korban jiwa di pedesaan. Proyek nasional Lompatan Besar yang dicanangkan Mao merupakan mesin pembunuh massal dengan mangsa sebesar dua puluh sampai empat puluh juta nyawa di Cina. Pendapatan per kapita rakyat Cina pun anjlok hingga dua puluh lima persen dari level semula. 


Tapi dalam sejarah perkembangan institusi politik-ekonomi, terdapat varian lain yang bis akita temukan di Rusia. Institusi bermodel hybrid. Di mana Lembaga politiknya ekstraktif dan Lembaga ekonominya inklusif. Teknologi dan sains memang berkembang untuk beberapa lama namun itu pun di bawah tekanan syarat-syarat: pengawasan yang ketat dari militer, kerja paksa, serta reformasi ekonomi akan tetapi tetap mempertahankan status quo politik. Konsekuensi logisnya bisa langsung kelihatan: negara makmur dan rakyat sengsara. Dalam beberapa peristiwa sejarah, kesengsaraan rakyat kendati negara ekonominya sedang baik, bisa saja mendorong terjadinya revolusi. Di Rusia, revolusi semacam itu belum kunjung terjadi, kendati indeks korupsi begitu tinggi dan jurang kesenjangan antara kaya dan miskin begitu lebar—sebuah ironi mengingat ideologi Rusia yang menjunjung kesetaraan komunisme.


Memang antara tahun 1928 hingga 1960 pertumbuhan UnI Soviet mencapai 6 persen per tahun, rekor yang mengesankan untuk masa itu. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut bukan hasil dari kemajuan teknologi, melainkan melalui realokasi Angkatan kerja dan akumulasi modal melalui penciptaan perkakas-perkakas dan pabrik-pabrik baru. Pada 1970-an, pertumbuhan itu kian berhenti. Kasus Uni Soviet mengajarkan bahwa institusi-institusi ekstraktif tidak bisa merangsang kemajuan teknologi berkelanjutan karena dua hal: tidak ada insentif untuk berinovasi, dan adanya penolakan dari kelompok elite.


Pertumbuhan ekonomi di bawah kekuasaan institusi ekstraktif amatlah sulit dipertahankan karena dua alasan. Pertama, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi diperlukan inovasi, sedangkan inovasi pasti disertai gelombang penghancuran kreatif (disruption) yang dalam konteks ekonomi akan menggusur cara-cara lama dan berpotensi menggoyahkan stabiliutas kekuasaan politik. Oleh karena itu, status quo yang terancam pasti akan menjegal penghancuran kreatif sejak ia masih berbentuk benih. Kedua, kemampuan para elite penguasa institusi ekstraktif untuk menimbun kekayaan dengan mengorbankan Sebagian besar rakyat menyebabkan kekuasaan institusi ekstraktif itu banyak diperebutkan dan memicu pertikaian maupun perang saudara. Akibatnya banyak blok-blok pengaruh yang saling sikut dan Tarik-menarik kekuatan sehingga dapat menimbulkan instabilitas politik.




Mempertimbangkan Cina: Titik Buta Why Nation Fall


Konklusi yang diambil Acemoglu dan Robinson kalau institusi politik ekstraktif dan ekonomi inklusif akan gagal meski mengalami kemandekan pada titimangsa tertentu, merupakan konklusi yang gegabah dan terburu-buru tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi di Cina. Model institusional yang terjadi di Uni Soviet bisa kita lihat juga di Cina, tapi dengan nasib yang tak sama. Cina secara politik ekstraktif karena kekuasaan tersentralisasi, dan secara ekonomi inklusif karena kemajuan teknologi serta inovasi yang turut mengembangkan kemakmuran. Tapi Cina masih berkembang sejak ekonomi mereka lepas landas secara intensif pada tahun 1978. Martin Jacques dalam When China Rules the World bahkan memprediksi bahwa Cina bakal menjadi poros ekonomi besar melebihi Eropa pada waktu tertentu di masa depan. 


Secara politik, Cina jelas ekstraktif karena tidak mengenal proses pemilihan yang demokratis berupa one man one vote sebagaimana keyakinan Barat. Cina tidak menganut sistem multi partai dan meregulasi hak pilih universal. Namun bukan berarti pula Cina itu anti-kerakyatan. Kalau pun ada isu demokrasi di negara Cina, itu barangkali adalah persoalan sentralisasi dan desentralisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Konfigurasi antara hierarki itu bersifat semiotonom, tidak otonomi penuh sebagaimana yang berlaku di negara yang mengadopsi demokrasi liberal. Tanpa demokrasi pun, Cina tetap bisa lepas landas ekonominya. Persatuan Cina tidak bisa direduksi dengan prosedur demokrasi khas Barat, sebab fakta bahwa Cina pernah melewati sejarahnya dengan beragam derajat perpecahan, dan dengan ongkos sedemikian besar, memberi orang Cina pelajaran tentang keramatnya persatuan (Jacques, 2011).


Pengaruh wewarah Konfusianisme sebagai ideologi merasuk sampai ke wilayah paling privat semisal prosesi makan. Satu ciri khas jelas dan mencolok restoran Cina, berkebalikan dengan restoran Barat, adalah seringnya terlihat keluarga besar makan Bersama, tradisi yang tercermin dalam kelaziman meja bundar besar (Bell, 2008). Lagi pula apakah definisi demokrasi harus sepersis yang dipakai oleh Barat? Bila negara Eropa—terutama Eropa Barat—mendasarkan demokrasi pada adagium “dari, oleh, dan untuk rakyat”, negara otoriter pun bisa saja mengklaim dirinya demokratis hanya dengan satu variabel yakni “untuk rakyat” minus “dari” dan “oleh” (Mahfud, 1993)—toh keduanya hanya konstruksi intersubjektif semata.


Walakin kita menerima definisi Barat soal demokratis, dan Cina kita anggap sebagai politik ekstraktif secara institusional di sini, tapi ekstraktifitas Cina tidak dapat disamakan dengan Uni Soviet dan negara-negara otoriter lain yang sering dibingkai sebagai komunis. Pembacaan konstelasi negara-negara dalam kontestasi politik dilihat dari dikotomi komunisme-liberalisme, membuat status Cina tampak seperti blok komunis saja. Padahal sistem etik yang lebih lama bertahan dan pengaruh ideologisnya lebih besar di Cina adalah konfusianisme. Ketika Marxisme tiba di Cina, ideologi tersebut justru menjelma seperti Maoisme sendiri ketimbang Marxisme—sebagaimana Marxisme menjadi Leninisme di Uni Soviet dan menjadi Marhaenisme di Indonesia. Karena itu bentuk institusi ekstraktif tidak sesederhana oposisi demokrasi vis-à-vis otoritarianisme sebagaimana kacamata yang kerap dipakai pasca Perang Dingin. Maka komunisme Uni Soviet tidak bisa disetarakan dengan Konfusianisme plus komunisme Cina.


Akar dari otoritarianisme (atau kalau kita pakai term Acemoglu dan Robinson, akar dari institusi ekstraktif) Cina adalah Konfusianisme ketimbang Komunis. Komunis diterima hanya karena kebetulan cocok dengan sistem politik Cina. Masyarakat Konfusian memiliki konsepsi mengenai pemerintah di mana negara dilihat hanya sebagai sebuah konstruksi artifisial, sebuah institusi eksternal kepada siapa masyarakat meminta pertanggungjawaban, dipandang dengan kecurigaan tertentu, dan yang kekuasaannya terus menerus berusaha mereka pertegas, batasi, dan kendalikan. Bagi orang Cina—dan hal yang sama secara umum juga bisa dikatakan untuk masyarakat Konfusian lain—negara dilihat sebagai bagian wajar dan intrinsik dari suatu masyarakat, sebagai bagian dari tujuan Bersama dan kesejahteraan Bersama. Negara sama halnya dengan keluarga dalam skala besar.


Konfusianisme adalah cara berpikir sinkretis yang bersumber pada kepercayaan-kepercayaan lain, khususnya Taoisme dan Buuddhisme, tetapi ide-ide Konfusius sendiri tetap yang paling menonjol. Penekanannya pada kearifan moral, pentingnya supremasi pemerintah dalam urusan manusia, dan pada prioritas sangat tinggi bagi stabilitas dan persatuan, yang dibentuk oleh pengalaman hidupnya dalam pergolakan dan instabilitas sebuah negara yang pernah terpecah-belah, mewarnai nilai-nilai fundamental peradaban Cina sejak saat itu (Nolan, 2004). Singkatnya, Konfusianisme jelas mendukung dan membantu sebuah sistem pemerintahan otoriter, tetapi juga sarat dengan unsur-unsur demokratik (dalam aspek “untuk rakyat”) dan kerakyatan.


Secara ekonomi, institusi Cina begitu inklusif, sebab Cina bisa menumbuhkan inovasi teknologi yang pesat. Saking cepatnya inovasi teknologi di Cina berkembang, Donald Trump pun menabuh genderang perang dagang dengan menaikkan tarif impor atas barang-barang Cina. Populasi Cina tahun 2020 sudah mencapai 1,41 milyar atau 18 persen dari total penduduk dunia saat ini, memungkinkan tenaga kerja globalnya lebih banyak, dan peluang menyumbangkan banyak pekerja di sektor non-pertanian global. Apalagi mengingat ekspansi demografis Cina yang menyebar ke seluruh dunia.


Bila indikator keberhasilan institusi ekonomi inklusif adalah kemajuan ekonomi, dan ukurannya adalah PDB dan tingkat pertumbuhan ekonomi, maka Cina adalah salah satu negara yang ekonominya terbilang sukses. Pada tahun 1980-an, Amerika adalah contributor terbesar disbanding negara mana pun, mencapai 21 persen dari total peningkatan PDB global. Tetapi pada 1990-an, China, bahkan pada taraf pembangunannya yang terbatas, merampat posisi AS, yang bertahan 21 persen, sedangkan Cina menyumbang 27,1 persen bagi pertumbuhan PDB global. Kebangkitan ekonomi lainnya bis akita cek pada tahun 2010, di mana Cina sudah bisa menggusur Amerika sebagai eksportir terbesar di dunia, padahal pada 2004 masih menduduki peringkat ketiga importir terbesar dunia, 5,9 persen dari total import global.


Klaim Acemoglu dan Robinson bahwa institusi politik ekstraktif dan ekonomi inklusif hanya membawa kemajuan ekonomi tapi membikin rakyat melarat terbantahkan dengan melihat apa yang terjadi di China. Dari situs ourlworldindata.org, didapati bahwa tingkat kebahagiaan di Cina pada 2014 berada di angka 85%, meningkat dibandingkan tahun 1995 yang hanya bertengger di posisi 65%. Tingkat kepercayaan antar warga negara bahkan jauh lebih tinggi ketimbang Amerika yang merupakan institusi inklusif di mana Cina berada di 49% dan Amerika hanya 29%. Dengan demikian, klaim bahwa kegagalan Uni Soviet dan ketidakberhasilan institusi politik ekstraktif dan ekonomi inklusif merupakan kesimpulan terburu-buru tanpa mempertimbangkan Cina yang memperlihatkan fakta berlawanan.


Gagasan Martin Jacques yang dipakai di sini bukan untuk mendukung klaimnya dalam When China Rules the World bahwa Cina akan menggulingkan posisi Barat sebagai negara paling superior di konstelasi global. Beberapa klaim Jacques sangat riskan terjebak dalam ilusi ramalan (forecasting illusion) yang banyak dibicarakan Phillip Tetlock serta Nassim Taleb. Cina memang mengalami kebangkitan ekonomi besar-besaran, bahkan tampak sebagai ancaman oleh negara-negara Barat terutama Amerika. Tapi Amerika tetap saja masih berada di atas angin dalam soal pertumbuhan ekonomi dibandingkan Cina, kita bisa melihat bukti statistik untuk hal ini. Tapi karya Martin Jacques tetap penting untuk memfalsifikasi tesis Acemoglu dan Robinson soal ketidakberhasilan institusi ekstraktif-inklusif yang hanya menanti waktu untuk tumbang hanya dengan memberi contoh kasus Uni Soviet di masa lalu. Cina menjadi antithesis untuk soal itu. Mengutip sepenggal pendapat dari Hans Rosling, bahwa di antara sepuluh negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dalam tahun 2016, Sembilan di antaranya mendapatkan skor rendah dalam demokrasi. Dalam artian, institusi politik ekstraktif tidak selalu berbanding lurus dengan kegagalan ekonomi suatu negara. Negara punya peluang makmur, kendati sistem politiknya tidak menganut asas demokrasi dan tidak terdesentralisasi.


SERANAI PUS(T)AKA




Acemoglu, Daron & James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal, Why Nation Fail: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta: Gramedia. 2014.

Bell, Daniel A., China’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society. Princeton: Princeton University Press. 2008.

Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, terj. MH. Amrullah. Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2004

Jacques, Martin. When China Rules The World: Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat, terj. Noor Cholis & Jarot Sumarwoto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2011.

Le Bon, Gustave. Psikologi Revolusi, terj. Irlinda & Dhyaningrum. Yogyakarta: FORUM. 2017.

Mahfud MD, Mohammad. Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfirgurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1993.

Michels, Robert. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Free Press. 1962.

Nolan, Peter. China at the Crossroads. Cambridge: Polity Press. 2004.

Nugroho, Wahyu Budi. Memahami Kembali Marx, Marxisme, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2019.

Rosling, Hans. Factfulness. London: Hodder and Stoughton. 2018.