pâte de verre vases - Krista Israel

Setiap manusia lahir dalam kondisi setara: sama-sama hadir bersama ketidaktahuan. Ketidaktahuan akan segala sesuatu itu alami. Setelahnya terdapat persimpangan. Mereka yang percaya dengan ketidaktahuan, tidak akan pernah kemana-mana. Sedangkan yang lain, berusaha menerabas batas itu, sampai ke ujung tapal batas terluar dari akal manusia. Di sana, mereka takjub pada batas-batas pengetahuan yang tak terbatas—selalu tersisa haus yang tak tersembuhkan tapi memabukkan

 

“Alam semesta tidak berkewajiban untuk tampak masuk akal kepada kita,” tulis Neil DeGrasse Tyson dalam pembukaan buku Astrofisika Untuk Orang-orang Sibuk. Dan di antara jenis kesibukan menggempur saya dari segala arah, justru buku inilah yang paling membikin pikiran saya terusik. Karenanya saya menyesal tidak membaca buku Kosmos karya Carl Sagan sejak awal. Terlalu banyak keajaiban semesta yang tak pantas dilewatkan begitu saja.

 

Tyson berusaha dengan baik untuk menjadi pemandu wisata kita menuju awal mula ledakan pertama yang membuat benda-benda langit mengapung begitu saja. Saya membaca buku mungil tersebut seperti seorang anak kecil mengintip ke kaca teleskop, saya sampai tertegun hingga kehabisan kata-kata untuk menjelaskan keherenan saya.

 

Tyson bekerja dengan baik. Dia merupakan juru bicara yang mengenalkan perkembangan sains kepada awam seperti saya. Dengan paspor seharga lima puluh ribu yang saya beli dari alibobag book, saya sudah bisa menjelajahi awal mula sejarah fisika, larung di tengah-tengah lautan antariksa yang tak pernah gelap oleh bintang pemandu, larut bersama sejarah kimia yang wira-wiri di sekitar lingkungan paling privat, hingga berakhir pada setitik debu di bawah karpet yang ukurannya tak lebih berharga daripada saya yang hanya merupakan debu kosmik lewat kacamata makroskopik alam semesta yang belum kita temukan tapal batas terakhirnya ini.

 

Di tengah-tengah wisata jagad raya ini, selalu saya diintervensi oleh pikiran bahwa ilmu sains teoritik seperti ini tidaklah penting. Tidak berguna di dunia nyata. Entah matahari atau bumi merupakan poros bima sakti kita, toh besok harus cari makan atau mati sama sekali. Butuh kesabaran hingga ke akhir perjalanan agar kita bisa menyadari sesuatu yang teramat penting. Bahwa jumlah bakteri yang terkandung dalam usus kita yang berukuran 1 cm, jauh lebih banyak jumlahnya daripada seluruh manusia yang pernah ada.

 

Karena itu perjalanan yang saya ambil ini begitu penting, dan amat disayangkan untuk dilewatkan. Satu hal paling praktis yang dikabarkan Tyson adalah kebijaksanaan. Sebab bila kita ambil paspor kita, kita akan menjauh dari tempat di mana kini lagi berdiri. Beringsut sedikit, kita menatap jarak antara kaki kita dan tanah kita berpijak. Lebih jauh lagi, ktia lihat pulau kita tinggal, lalu kita lihat Indonesia dari ketinggian, lalu benua asia, lalu setengah wajah bumi, lalu bumi menari bersama planet lain dengan irama tarian Siwa, lalu galaksi kita yang gelap tapi dipenuhi cahaya-cahaya kecil supernova, lalu menjauh lagi sampai kita saksikan seluruh bima sakti lagi berotasi sesuai takdir mereka masing-masing.

 

Dari kejauhan yang paling mungkin bisa diimajinasikan itu, saya tak lagi bisa melihat di mana Kotamobagu. Tidak bisa lagi saya saksikan di mana bumi. Tak lagi saya bisa tentukan di mana matahari yang merupakan pusat orbit planet bumi. Saya jauh lebih kecil daripada semut yang biasa saya lihat merayap di lantai indekos saya. Lalu saya bertanya dengan cara yang sama Tyson lakukan: dengan kekerdilan ekstrem seperti ini, kenapa manusia masih pengen memikul ego yang dia kira jauh lebih besar daripada segala kemungkinan alam semesta yang ada?