Setiap manusia lahir dalam
kondisi setara: sama-sama hadir bersama ketidaktahuan. Ketidaktahuan akan
segala sesuatu itu alami. Setelahnya terdapat persimpangan. Mereka yang percaya
dengan ketidaktahuan, tidak akan pernah kemana-mana. Sedangkan yang lain, berusaha
menerabas batas itu, sampai ke ujung tapal batas terluar dari akal manusia. Di
sana, mereka takjub pada batas-batas pengetahuan yang tak terbatas—selalu
tersisa haus yang tak tersembuhkan tapi memabukkan
“Alam semesta tidak
berkewajiban untuk tampak masuk akal kepada kita,” tulis Neil DeGrasse Tyson
dalam pembukaan buku Astrofisika Untuk
Orang-orang Sibuk. Dan di antara jenis kesibukan menggempur saya dari
segala arah, justru buku inilah yang paling membikin pikiran saya terusik.
Karenanya saya menyesal tidak membaca buku Kosmos
karya Carl Sagan sejak awal. Terlalu banyak keajaiban semesta yang tak
pantas dilewatkan begitu saja.
Tyson berusaha dengan baik
untuk menjadi pemandu wisata kita menuju awal mula ledakan pertama yang membuat
benda-benda langit mengapung begitu saja. Saya membaca buku mungil tersebut
seperti seorang anak kecil mengintip ke kaca teleskop, saya sampai tertegun
hingga kehabisan kata-kata untuk menjelaskan keherenan saya.
Tyson bekerja dengan baik.
Dia merupakan juru bicara yang mengenalkan perkembangan sains kepada awam
seperti saya. Dengan paspor seharga lima puluh ribu yang saya beli dari
alibobag book, saya sudah bisa menjelajahi awal mula sejarah fisika, larung di
tengah-tengah lautan antariksa yang tak pernah gelap oleh bintang pemandu,
larut bersama sejarah kimia yang wira-wiri di sekitar lingkungan paling privat,
hingga berakhir pada setitik debu di bawah karpet yang ukurannya tak lebih
berharga daripada saya yang hanya merupakan debu kosmik lewat kacamata
makroskopik alam semesta yang belum kita temukan tapal batas terakhirnya ini.
Di tengah-tengah wisata
jagad raya ini, selalu saya diintervensi oleh pikiran bahwa ilmu sains teoritik
seperti ini tidaklah penting. Tidak berguna di dunia nyata. Entah matahari atau
bumi merupakan poros bima sakti kita, toh besok harus cari makan atau mati sama
sekali. Butuh kesabaran hingga ke akhir perjalanan agar kita bisa menyadari
sesuatu yang teramat penting. Bahwa jumlah bakteri yang terkandung dalam usus
kita yang berukuran 1 cm, jauh lebih banyak jumlahnya daripada seluruh manusia
yang pernah ada.
Karena itu perjalanan yang
saya ambil ini begitu penting, dan amat disayangkan untuk dilewatkan. Satu hal
paling praktis yang dikabarkan Tyson adalah kebijaksanaan. Sebab bila kita
ambil paspor kita, kita akan menjauh dari tempat di mana kini lagi berdiri.
Beringsut sedikit, kita menatap jarak antara kaki kita dan tanah kita berpijak.
Lebih jauh lagi, ktia lihat pulau kita tinggal, lalu kita lihat Indonesia dari
ketinggian, lalu benua asia, lalu setengah wajah bumi, lalu bumi menari bersama
planet lain dengan irama tarian Siwa, lalu galaksi kita yang gelap tapi
dipenuhi cahaya-cahaya kecil supernova, lalu menjauh lagi sampai kita saksikan
seluruh bima sakti lagi berotasi sesuai takdir mereka masing-masing.
Dari kejauhan yang paling
mungkin bisa diimajinasikan itu, saya tak lagi bisa melihat di mana Kotamobagu.
Tidak bisa lagi saya saksikan di mana bumi. Tak lagi saya bisa tentukan di mana
matahari yang merupakan pusat orbit planet bumi. Saya jauh lebih kecil daripada
semut yang biasa saya lihat merayap di lantai indekos saya. Lalu saya bertanya
dengan cara yang sama Tyson lakukan: dengan kekerdilan ekstrem seperti ini,
kenapa manusia masih pengen memikul ego yang dia kira jauh lebih besar daripada
segala kemungkinan alam semesta yang ada?

0 Komentar