the-isle-of-the-dead-1880. Arnold Bocklin

 


Leo Strauss merupakan pembaca Plato yang amat hati-hati. Ia pasang badan dengan kritik bertubi-tubi Popper ke Plato dalam Open Society, dengan tegas Leo menyatakan bahwa Popper tak cermat membaca Plato.

 

Lantas bagaimana cara membaca Plato sesungguhnya? Leo Strauss memberi kita perangkat hermeneutis yang ia sebut pembacaan ganda. Yaitu pembacaan eksoteris dan esoteris. Pembacaan eksoteris ialah pembacaan tekstual. Kata keadilan mesti kita baca sebagai keadilan. Tapi pembacaan esoteris (yang di dalam) tidak membaca apa yang tertulis, tapi membaca apa yang terdapat di antara kalimat (reading between the lines). Kita perlu memakai pembacaan ganda dalam memahami Plato (atau karya klasik Yunani sezamannya) untuk benar-benar memahami saripatinya, dan Popper tampaknya tidak cermat untuk pembacaan esoteris.

 

Pembacaan ganda diperlukan karena filsuf klasik zaman itu kerap memakai strategi yang disebut white lies atau white noble, berbohong demi kebaikan. Mereka mencari cara bagaimana agar tulisan bisa sampai ke banyak orang berbeda-beda dengan cara berbeda-beda. Sebab apabila terlalu harfiah dan subversif, sebab filsuf penuh skeptisisme dan politik begitu buas atas ancaman dari keraguan, maka banyak orang bakal bernasib serupa dengan Sokrates. Pesan pun mesti disampaikan secara terselubung demi menghindari persekusi. Ini disebut seni disimulasi atau penyelubungan.

 

Menurutku, metode Leo Strauss ini punya semangat yang sama dalam sejarah interpretasi Quran. Quran tak sekadar buku yang berisi tulisan, yang muncul dari ruang hampa. Membaca Quran secara tekstual pun menjadi mustahil. Karena itu, di dalam kanon suci itu sendiri, dinyatakan bahwa tertebar pasal-pasal harfiah (mahkamat) dan pasal-pasal metaforis (mutasyabihat) di dalamnya (Q 3:7).

 

Pembacaan ganda dalam Quran artinya membacanya secara eksoteris, atau sekadar membaca teks saja. Tapi ia juga mesti dipahami secara esoteris, yaitu memahami konteks zaman lewat asbab al nuzul, pun jejaring intertekstualitas yang saling terjalin dengan ayat lain yang terdampar di halaman berbeda. Para filsuf Islam dan sufi kerap membaginya ke makna lahir dan makna batin. Yang pertama diserap secara eksoteris dan yang kedua secara esoteris.

 

Beberapa filsuf seperti Ibn Taimiyah (yang kerap dirujuk wahabisme) pun berkata, bahwa pasal metaforis maupun alegori yang disampaikan Muhammad, mirip seperti berbohong, tapi itu masuk dalam kebohongan putih–atau dalam bahasa Leo Strauss, white noble. Tujuannya untuk hal yang baik. Dari sini, sepertinya Ibn Taimiyah dan Leo Strauss menganut konsekuensialisme yang mengesalkan Kant.

 

Namun pembacaan esoteris mengandung risiko kalau penafsir bakal mengartikan Quran secara sewenang-wenang. Maka muncul perbedaan-perbedaan pendapat. Pemikir muslim lantas berdebat soal otoritas penafsir dan ayat mana yang bisa atau tak bisa dibaca secara esoteris. Bagi Ibn Rusyd, yang punya otoritas menafsir ialah kaum intelektual atau golongan khawas, bagi kelompok kebatinan tertentu, hanya yang tingkat spiritualitasnya tinggi yang bisa memahami makna sejati Quran. Kaum Sunni sendiri lantas membatasi pembacaa esoteris karena trauma dengan perpecahan golongan pasca asasinasi Utsman bin Affan.

 

Dengan kata lain, sejarah interpretasi wahyu ialah pertarungan antara pembacaan esoteris dan eksoteris, antara makna lahiriah dan makna batiniah, antara teks dan konteks, antara orientasi ke masa lalu dan orientasi ke masa depan–meskipun bagi Heidegger, setiap pembacaan akan masa lalu selalu mengandung ekspektasi ke masa depan: agar tradisi bisa umur panjang, lolos dari kemajuan yang sukar ditolak.