Leo Strauss merupakan pembaca
Plato yang amat hati-hati. Ia pasang badan dengan kritik bertubi-tubi Popper ke
Plato dalam Open Society, dengan
tegas Leo menyatakan bahwa Popper tak cermat membaca Plato.
Lantas bagaimana cara membaca
Plato sesungguhnya? Leo Strauss memberi kita perangkat hermeneutis yang ia
sebut pembacaan ganda. Yaitu pembacaan eksoteris dan esoteris. Pembacaan
eksoteris ialah pembacaan tekstual. Kata keadilan mesti kita baca sebagai keadilan.
Tapi pembacaan esoteris (yang di dalam) tidak membaca apa yang tertulis, tapi
membaca apa yang terdapat di antara kalimat (reading between the lines). Kita perlu memakai pembacaan ganda
dalam memahami Plato (atau karya klasik Yunani sezamannya) untuk benar-benar
memahami saripatinya, dan Popper tampaknya tidak cermat untuk pembacaan
esoteris.
Pembacaan ganda diperlukan karena
filsuf klasik zaman itu kerap memakai strategi yang disebut white lies atau white noble, berbohong demi kebaikan. Mereka mencari cara bagaimana
agar tulisan bisa sampai ke banyak orang berbeda-beda dengan cara berbeda-beda.
Sebab apabila terlalu harfiah dan subversif, sebab filsuf penuh skeptisisme dan
politik begitu buas atas ancaman dari keraguan, maka banyak orang bakal bernasib
serupa dengan Sokrates. Pesan pun mesti disampaikan secara terselubung demi
menghindari persekusi. Ini disebut seni disimulasi atau penyelubungan.
Menurutku, metode Leo Strauss ini
punya semangat yang sama dalam sejarah interpretasi Quran. Quran tak sekadar
buku yang berisi tulisan, yang muncul dari ruang hampa. Membaca Quran secara
tekstual pun menjadi mustahil. Karena itu, di dalam kanon suci itu sendiri,
dinyatakan bahwa tertebar pasal-pasal harfiah (mahkamat) dan pasal-pasal metaforis (mutasyabihat) di dalamnya (Q 3:7).
Pembacaan ganda dalam Quran
artinya membacanya secara eksoteris, atau sekadar membaca teks saja. Tapi ia
juga mesti dipahami secara esoteris, yaitu memahami konteks zaman lewat asbab
al nuzul, pun jejaring intertekstualitas yang saling terjalin dengan ayat lain
yang terdampar di halaman berbeda. Para filsuf Islam dan sufi kerap membaginya
ke makna lahir dan makna batin. Yang pertama diserap secara eksoteris dan yang
kedua secara esoteris.
Beberapa filsuf seperti Ibn
Taimiyah (yang kerap dirujuk wahabisme) pun berkata, bahwa pasal metaforis
maupun alegori yang disampaikan Muhammad, mirip seperti berbohong, tapi itu
masuk dalam kebohongan putih–atau dalam bahasa Leo Strauss, white noble. Tujuannya untuk hal yang
baik. Dari sini, sepertinya Ibn Taimiyah dan Leo Strauss menganut
konsekuensialisme yang mengesalkan Kant.
Namun pembacaan esoteris
mengandung risiko kalau penafsir bakal mengartikan Quran secara
sewenang-wenang. Maka muncul perbedaan-perbedaan pendapat. Pemikir muslim
lantas berdebat soal otoritas penafsir dan ayat mana yang bisa atau tak bisa
dibaca secara esoteris. Bagi Ibn Rusyd, yang punya otoritas menafsir ialah kaum
intelektual atau golongan khawas, bagi kelompok kebatinan tertentu, hanya yang
tingkat spiritualitasnya tinggi yang bisa memahami makna sejati Quran. Kaum
Sunni sendiri lantas membatasi pembacaa esoteris karena trauma dengan
perpecahan golongan pasca asasinasi Utsman bin Affan.
Dengan kata lain, sejarah
interpretasi wahyu ialah pertarungan antara pembacaan esoteris dan eksoteris,
antara makna lahiriah dan makna batiniah, antara teks dan konteks, antara
orientasi ke masa lalu dan orientasi ke masa depan–meskipun bagi Heidegger,
setiap pembacaan akan masa lalu selalu mengandung ekspektasi ke masa depan:
agar tradisi bisa umur panjang, lolos dari kemajuan yang sukar ditolak.
0 Komentar