Dalam diskursus politik, kita membagi dua state of nature manusia: jahat atau
baik. Opsi pertama direpresentasikan oleh Hobbes secara filosofis. Ia berkata
kalau kita tak ubahnya dengan hewan lain dalam soal memangsa. Setiap individu
laksana serigala bagi serigala lain. Yang tak terelakkan adalah pertempuran antar
sesama kita. Untuk itu otoritas kekuasaan–yang dipersonifikasi sebagai
Leviathan oleh Hobbes–mesti mengangkut segala hak dan kewajiban rakyat agar
rakyat tidak saling memangsa satu sama lain.
John Locke tidak sependapat dengan Hobbes yang
mengasumsikan manusia pada dasarnya jahat. Manusia pada dasarnya baik ujar
Locke. Kontrak sosial sendiri diperlukan karena itulah perwujudan dari
kesadaran akan keterbatasan kebebasannya. Locke menumpahkan isi pikirannya
dalam An Essay Concerning Human
Understanding & Two Treatise of Government. Locke menilai setiap
individu punya hak yang sama dan merupakan hal penting untuk melindungi hak
tersebut. Demikianlah konsep hak milik pribadi khas demokrasi liberal menemukan
pondasinya. Karena bebas merupakan kondisi alamiah manusia, maka kekuasaan
mesti bekerja untuk menjaga kebebasan tersebut. Bila otoritas menurut Hobbes
diperlukan demi kedamaian dan ketertiban, maka menurut Locke, otoritas
diperlukan agar individu tidak khawatir menyelenggarakan kebebasannya dan
kebebasan tersebut tidak membahayakan kebebasan individu lain.
Dari dua tokoh itu, kita bisa melihat kalau para
pemikir terdahulu rupanya berseberangan pandangan soal kodrat sejati manusia.
Jadi kita ini baik atau jahat? Apakah kita kodratnya berkompetisi atau kooperasi?
Pergumulan filosofis yang nyaris spekulatif itu mesti dilengkapi dengan
data-data antropologis dan arkeologis. Kalau kita memang mau memahami kodrat
kita, kita mesti memahami sifat nenek moyang kita, dan sifat-sifat itu perlu
diselidiki lewat investigasi ke fosil-fosil nenek moyang kita. Pendekatan
Darwinisme tentu dibutuhkan dalam hal ini.
Dalam Sapiens, Harari,
terdapat dua kubu berlawanan: apakah nenek moyang sapiens membinasakan hominid
lain (homo habilis, rudolfensis, naledi, erectus, ergaster, antecessor,
floresiensis, neanderthalensis, denisova)? Ataukah kita bercampur atau
kawin-mawin dengan hominid lain? Hipotesa terakhir tampaknya lebih kuat karena
dalam diri sapiens bisa didapati beberapa persen DNA homo denisovan,
neanderthal, dan lainnya.
Para biolog evolusioner pun turut terlibat untuk
memecahkan persoalan ini. Edward O. Wilson berpendapat bahwa kemampuan kerja
sama yang luar biasa antar manusia, yang melibatkan perasaan moralitas dan
kesetiaan kelompok yang mendalam, lantas memunculkan suku-suku, yang pada
gilirannya memunculkan konflik yang lebih besar dan perang besar-besaran.
Edward Olson mau bilang kalau kekerasan bukanlah inti fitrah kita sebagai
manusia. Sifat destruktif tersebut muncul secara aksidental semata, yakni
karena beberapa individu ingin bersatu dan kesatupaduannya lebih erat, maka
individu itu rela bertarung dengan kelompok lain sebagai bukti kalau kerjasama
internal mereka tersusun kokoh dan solid.
Ada juga Frans de Waal yang memperjuangkan bahwa empati
dan altruisme memiliki akar yang dalam di masa lalu pada hominid seperti diri
kita dan ketimbang condong pada peperangan, manusia justru berkecenderungan ke
belas kasih dan moralitas. Psikolog evolusi Steven Pinker berpendapat dalam
"The Better Angels 0f Our
Nature" bahwa terlepas dari sifat mengerikan dari kekerasan manusia
modern, kita lebih ganas di masa lalu karena sifat buas alami kita dan kita
menjadi kurang ganas ketika peradaban maju. Pinker menganjurkan kita untuk
melihat bukti catatan arkeologis, demi menyadari kalau presentasi individu yang
dibunuh oleh manusia lain di masa lalu lebih tinggi daripada sekarang.
0 Komentar