Death of Cain - George Frederick

 


Dalam diskursus politik, kita membagi dua state of nature manusia: jahat atau baik. Opsi pertama direpresentasikan oleh Hobbes secara filosofis. Ia berkata kalau kita tak ubahnya dengan hewan lain dalam soal memangsa. Setiap individu laksana serigala bagi serigala lain. Yang tak terelakkan adalah pertempuran antar sesama kita. Untuk itu otoritas kekuasaan–yang dipersonifikasi sebagai Leviathan oleh Hobbes–mesti mengangkut segala hak dan kewajiban rakyat agar rakyat tidak saling memangsa satu sama lain.

 

John Locke tidak sependapat dengan Hobbes yang mengasumsikan manusia pada dasarnya jahat. Manusia pada dasarnya baik ujar Locke. Kontrak sosial sendiri diperlukan karena itulah perwujudan dari kesadaran akan keterbatasan kebebasannya. Locke menumpahkan isi pikirannya dalam An Essay Concerning Human Understanding & Two Treatise of Government. Locke menilai setiap individu punya hak yang sama dan merupakan hal penting untuk melindungi hak tersebut. Demikianlah konsep hak milik pribadi khas demokrasi liberal menemukan pondasinya. Karena bebas merupakan kondisi alamiah manusia, maka kekuasaan mesti bekerja untuk menjaga kebebasan tersebut. Bila otoritas menurut Hobbes diperlukan demi kedamaian dan ketertiban, maka menurut Locke, otoritas diperlukan agar individu tidak khawatir menyelenggarakan kebebasannya dan kebebasan tersebut tidak membahayakan kebebasan individu lain.

 

Dari dua tokoh itu, kita bisa melihat kalau para pemikir terdahulu rupanya berseberangan pandangan soal kodrat sejati manusia. Jadi kita ini baik atau jahat? Apakah kita kodratnya berkompetisi atau kooperasi? Pergumulan filosofis yang nyaris spekulatif itu mesti dilengkapi dengan data-data antropologis dan arkeologis. Kalau kita memang mau memahami kodrat kita, kita mesti memahami sifat nenek moyang kita, dan sifat-sifat itu perlu diselidiki lewat investigasi ke fosil-fosil nenek moyang kita. Pendekatan Darwinisme tentu dibutuhkan dalam hal ini.

 

Dalam Sapiens, Harari, terdapat dua kubu berlawanan: apakah nenek moyang sapiens membinasakan hominid lain (homo habilis, rudolfensis, naledi, erectus, ergaster, antecessor, floresiensis, neanderthalensis, denisova)? Ataukah kita bercampur atau kawin-mawin dengan hominid lain? Hipotesa terakhir tampaknya lebih kuat karena dalam diri sapiens bisa didapati beberapa persen DNA homo denisovan, neanderthal, dan lainnya.

 

Para biolog evolusioner pun turut terlibat untuk memecahkan persoalan ini. Edward O. Wilson berpendapat bahwa kemampuan kerja sama yang luar biasa antar manusia, yang melibatkan perasaan moralitas dan kesetiaan kelompok yang mendalam, lantas memunculkan suku-suku, yang pada gilirannya memunculkan konflik yang lebih besar dan perang besar-besaran. Edward Olson mau bilang kalau kekerasan bukanlah inti fitrah kita sebagai manusia. Sifat destruktif tersebut muncul secara aksidental semata, yakni karena beberapa individu ingin bersatu dan kesatupaduannya lebih erat, maka individu itu rela bertarung dengan kelompok lain sebagai bukti kalau kerjasama internal mereka tersusun kokoh dan solid.

 

Ada juga Frans de Waal yang memperjuangkan bahwa empati dan altruisme memiliki akar yang dalam di masa lalu pada hominid seperti diri kita dan ketimbang condong pada peperangan, manusia justru berkecenderungan ke belas kasih dan moralitas. Psikolog evolusi Steven Pinker berpendapat dalam "The Better Angels 0f Our Nature" bahwa terlepas dari sifat mengerikan dari kekerasan manusia modern, kita lebih ganas di masa lalu karena sifat buas alami kita dan kita menjadi kurang ganas ketika peradaban maju. Pinker menganjurkan kita untuk melihat bukti catatan arkeologis, demi menyadari kalau presentasi individu yang dibunuh oleh manusia lain di masa lalu lebih tinggi daripada sekarang.