Two in One Goddess Headdress by Juli Bolaños-Durman, 2016–17.

 


Ada yang pengen jadi astronot. Ada yang dokter supaya bisa menyembuhi orangtuanya kalau sakit. Ada yang ingin jadi pengacara karena keluarganya pernah jadi korban sistem hukum. Ada dokter hewan, karena mencintai binatang. Ada yang ingin sekali jadi presiden. Bahkan, ada anak kecil yang cita-citanya jadi Youtuber. Banyak sekali macam cita-cita itu. Dan semakin tinggi, semakin baik. Kalaupun jatuh toh kita masih bisa tersangkut di awan gemawan atau lapisan ketiga atmosfer.

 

Saya sendiri masih ingat, bingung memilih cita-cita seperti apa. Sejak bangku sekolah dasar, saya melihat teman-teman dengan antusias bicara tentang pekerjaan apa yang mereka impikan. Ketika tiba giliran saya menjawab, saya celingak-celinguk bimbang, terpaksa saya mengikuti saja cita-cita teman lain. Kadang saya jawab ingin jadi dokter, di waktu berbeda saya bilang jadi polisi, dan berbeda pula di kesempatan lain.

 

Sampai saat ini saya tidak tahu apakah teman-teman semasa sekolah dulu benar-benar menepati mimpi mereka. Asumsi saya, tidak. Beberapa masih konsisten dengna mimpi mereka. Soal ingin jadi sarjana hukum karena trauma dengan arogansi hukum yang menimpa keluarganya, adalah contoh nyata. Tapi sebagian besar tidak. Hidup selalu kejam bagi orang yang ingin bercita-cita sejauh langit ketujuh. Ekspektasi kita kerap beradaptasi dengan realitas, bahkan seringkali direvisi berkali-kali.

 

Cita-cita paling imut barangkali adalah menjadi presiden. Berhadapan dengan anak-anak lugu, seolah-olah saya ingin bilang bahwa sejak 1945 sampai tahun 2019, 79 tahun lamanya, sejak itu populasi Indonesia mungkin sudah lebih dari 500 juta kepala dan berganti-ganti, di antara setiap kesempatan yang ada, jumlah presiden kita sampai hari ini tidak pernah lebih dari tujuh. Tapi ketika saya hendak nyerocos seperti itu, saya mengurangi rasa tega, menunduk, dan berkata dengan manis: “Aduh cita-cita yang baik sekali nak :).”