Rattle 2002 William Morris


 

Tidak ada figur yang paling diselimuti nuansa magis dan misteri sepanjang sejarah filsafat selain Sokrates. Sokrates tak meninggalkan jejak tekstual dan hanya berdialog di pasar. Kita hanya mengenalnya dari tulisan-tulisan mereka yang sezaman dan murid-muridnya. Xenophon menggambarkan Sokrates sebagai seorang berintegritas yang tak gentar di tengah medan tempur dan Aristophanes mengilustrasikannya dalam drama "Awan-Awan" sebagai guru kaum sofis. Rujukan paling umum atas Sokrates adalah lewat teks-teks Platon. Pada abad ke-19, Schleiermacher meneliti siapa gerangan Sokrates secara historis, pencarian tak berujung itu menimbulkan problem yang disebut logos sokratikos.

 

Tak ada yang lebih sinis selain Nietzsche dalam merekonstruksi figur Sokrates. Ia menulis dua belas paragraf dalam aforismenya di The Twillight of Idol dengan gaya yang ad hominem, kritis, namun kritiknya sama artinya dengan bentuk penghormatan. Kurang lebih begini teksnya: "Pada zaman pra-Sokratik, dialektika sejenis badut yang ditertawakan, tak pernah dianggap serius. Tapi Sokrates ialah badut yang membuat dirinya sendiri dianggap serius."

 

Sokrates kita tahu, mempopulerkan dialektika sebagai metode mencari kebenaran. Dialektika ia gunakan karena jengah dengan retorika kaum sofis yang menjadikan percakapan sebagai cara mencari kemenangan. Lewat teks yang ada, dialektika menjadi alat Sokrates untuk membuat mitra wicaranya mencapai keutamaan dengan menjadikan lawan bicara mengetahui apa yang tidak diketahuinya, sepersis Sokrates yang mengaku bahwa satu-satunya yang ia tahu adalah ia tak mengetahui apa pun.

 

Pengakuan lain Sokrates yang diterangkan Nietzsche adalah kemonsteran dirinya. Sekali lagi dalam Twilight of Idol,  "Seturut kelahirannya  Sokrates berasal dari kelas rakyat paling jelata. Sokrates ialah orang kebanyakan. Kita tahu dan kita juga bisa melihat betapa buruk rupanya. Namun keburukan rupa, yang tersematkan dalam dirinya sendiri merupakan keberatan bagi orang Yunani pada waktu itu, yang nyaris menjadi alasan penolakan … lagi pula ada pertanyaan, benarkah Sokrates itu orang Yunani? Sangat sering terjadi bahwa keburukan rupa merupakan pertanda ras blasteran…."

Rattle 2002 William Morris

 


Monstrum in fronte, monstrum in animo; rupa yang buruk merupakan tanda jiwa yang jahat. Sokrates memang kerap digambarkan sebagai seseorang berbadan gempal buncit, berbibir tebal, mata nyalang melotot, dahi lebar, pakaian compang-camping, serta tak beralas kaki ke mana pun ia pergi. Dalam penuturan Nietzsche, pernah seorang fisiolog mengunjungi Athena, lalu bertatap muka dengan rupa Sokrates. Fisiolog itu tak bisa menahan dirinya buat berterus terang, ia berkata bahwa Sokrates bak monster yang menyembunyikan semua kebiasaan buruk dan hawa nafsu paling jahat. "Anda mengenal saya dengan baik," jawab Sokrates, di antara murid-muridnya yang kaget dan kebingungan.

 

Sokrates tidak benar-benar tidak tahu apa-apa, setidaknya ia tahu kalau dia monster.

 

Nietzsche bertindak lebih jauh dengan menyerang dialektika Sokrates. Filsuf berkumis tebal itu hendak melacak akar motif Sokrates dalam menggali kebenaran. Menurut kecurigaan Nietzsche, apa yang dihasrati Sokrates tak lain dari upayanya mengatadi kekurangan dirinya. Sokrates kekurangan akan keindahan dan sebagai orang jelata ia kekurangan keagungan. Dialektika dimanfaatkan Sokrates untuk mengutuhkan kekurangannya. Seolah itu satu-satunya cara Sokrates membalas dendam pada kekurangan yang meliputinya–dengan merasa lebih superior melawan mitra wicaranya.

 

Sokrates dituduh sebagai bagian tak terlepaskan dari era dekaden Yunani. Dialektika yang oleh Nietzsche bak badut menjelma sebagai tiran, seolah rasio menjadi satu-satunta juru selamat. Era dekaden Yunani memang dikenal dengan era di mana anarkisme hasrat menjalar dan hasrat mesti dipuaskan tanpa kendali. Dialektika Sokrates berambisi mengendalikan hasrat itu, justru ambisi itulah yang tak disukai Nietzsche sebab hanya membawa dunia dari satu ekstrem ke ekstrem lain: tirani rasio.

 

Demikianlah Sokrates disebut monster oleh Nietzche, sebab ia hanya mau mengukuhkan tirani rasio demi balas dendam atas kekurangannya seorang. Namun Nietzsche juga bisa tersandung oleh kata-katanya sendiri. Dalam satu aforismenya, ia berucap: "Dia yang bertarung melawan monster, mesti hati-hati agar tak ikut menjadi monster."