Dasein berada-di-dalam-dunia, yang
berbeda dengan pernyataan air ‘di dalam’ gelas atau punting ‘di dalam’ asbak.
Berada-di-dalam-dunia artinya menjadi bagian dari dunia artinya mendunia.
Bahkan berada-di-dalam-dunia merupakan nama lain dari Dasein. Akhir dari
berada-di-dalam-dunia, adalah kematian. Bahasa Indonesia punya padanan menarik
dari akhir Dasein ini: meninggal dunia.
Beberapa hal yang dapat ditemui
dalam dunia Dasein: alat-alat, benda non-alat, dan orang lain. Alat-alat
merupakan benda yang punya fungsi atau diperuntukkan buat sesuatu. Sikap
terhadap alat ialah memanipulasi atau memperalat. Dalam hal ini, terdapat aroma
humanisme, di mana Heidegger berkata memperalat manusia merupakan sesuatu yang
tak tepat karena manusia direduksi menjadi alat bagi manusia lain. Seperti
budak. Selain alat-alat, terdapat non-alat, benda yang tak punya nilai
fungsional tertentu. Selain itu, dunia Dasein juga terdapat orang lain atau
disebut Mit Dasein, orang-orang lain.
Dalam keseharian atau rutinitas,
Dasein bisa terbenam dan tenggelam sehingga jauh dari cara mengada manusia yang
sejati. Sebab manusia dalam keseharian tak mengenal dirinya sendiri, dan justru
menyembunyikan dirinya yang sejati. Saat itulah, Dasein menjadi das Man, atau
sesuatu yang kerap kita ujar sebagai “orang”.
Ketika Dasein menjadi das Man,
keunikan dan kekhasan pun lenyap, sebab orang-orang cenderung mengikuti trend,
fesyen, dan terbenam dalam kerumunan massa. Tapi di sisi lain, Dasein juga tak
bisa dilepaskan dalam keseharian tersebut. Inilah yang mencemaskan dan
paradoks: Dasein ingin mengenal Ada-nya, tapi di sisi lain Dasein mesti
berkubang dalam keseharian yang mengasingkan Ada-nya.
Apabila das Man menjelma das Man,
maka ia jadi anonim. Contohnya soal kawin. Das Man akan kawin karena tekanan
keluarga atau ikut tren sosial atau karena cemburu dengan teman-teman dekat
yang sudah menikah lebih dulu. Sedangkan das Sein, memilih kawin karena
keputusan pribadinya yang dilalui lewat proses permenungan, proses memahami apa
yang penting bagi masa depannya. Dalam proses yang mencemaskan itulah,
keputusan eksistensial lahir.
Das Sein hidup dan memerankan drama
eksistensial: das Sein tak tahu dari mana ia berasal, akan ke mana ia nanti,
dan mengapa ia ada. Ketiga hal itu lalu mengusik sebagai kecemasan. Ketiga
pertanyaan itu lalu menjadi akar dari krisis eksistensial kita. Kiwari, kita
tahu itu sebagai quarter life crisis, yang
sesungguhnya merupakan panggilan untuk memahami keterlemparan manusia di muka
bumi. Das Sein lantas bertanya: untuk apa aku harus hidup? Mau jadi apa nanti?
Kenapa aku harus tetap hidup? Dan seterusnya dan seterusnya.
Keberanian hidup ialah upaya
memahami keterlemparan das Sein, keterlemparan yang menggedor-gedor kita dari
dalam jiwa kita tentang dari mana dan ke mana hidup ini. Upaya memahami
keterlemparan itu disebut verstehen, atau memahami. Dan dalam verstehen, sudah
selalu terkandung orientasi akan masa depan. (Di sini, Heidegger berbeda dengan
Wilhem Dilthey, bahwa memahami bukanlah bersifat diskursif melainkan
pra-reflektif.)
Memahami, menafsirkan, dan
menyampaikan keterlemparan merupakan akar dari keterbukaan das Sein akan masa
depan. Namun keterbukaan yang pasif terhadap masa depan yang asing juga
melahirkan kecemasan. Cemas di sini berbeda dengan takut. Ketakutan memiliki
objek yang jelas sedangkan kecemasan objeknya tidak persis. Ketakutan misalnya
dialami oleh seorang pencuri, karena ia takut ditangkap polisi. Tapi kecemasan
bekerja ketika seseorang merasa kadung tenggelam dalam keseharian yang
melenyapkan keotentisitasnya. Di sini, kecemasan Heidegger berbeda dengan
Kierkegaard. Bila Kierkegaard menganggap lompatan iman sebagai solusi dari
kecemasan, Heidegger berpendapat bahwa kecemasan merupakan hasil dari
keterlemparan ke dunia yang asing ini.
Cemas ialah melompat ke kekosongan, ke situasi
tak nyaman, ganjil, dan mengerikan. Hanya dalam kesadaran akan kecemasan,
menjalani kecemasan secara pasif dan terbuka, membiarkan dunia tampil apa
adanya, maka das Sein bisa menjadi eksistensi yang otentik. Otentisitas
eksistensi itu ditandai dengan rasa puas diri akan keseharian, sikap sadar akan
keseharian, tak berada di luar keseharian, dan sadar bahwa das Sein berada
dalam keseharian tanpa melupakan Ada-nya yang sejati.
Das
Sein memuat kemampuan mengantisipasi masa depan (eksistensialitas), terlempar
ke dunia (faktisitas), dan keseharian (kejatuhan); das Sein terlempar ke dunia
ini , terbenam dalam keseharian, dan akhirnya pergi ke kematian. Hanya dalam
kematianlah, das Sein mencapai totalitasnya.
Kematian itu unik, sebab tak bisa
diwakili. Seseorang bisa bom bunuh diri demi ideologi tertentu, tapi
kematiannya tetap kematian pribadi. Seorang menggantikan orang lain untuk
dihukum mati, tidak berarti mewakili atau menggantikan kematian orang lain.
Kematiannya unik, dan hanya bisa dialami secara personal. Tak ada joki untuk
kematian.
Tapi kematian juga bukan akhir.
Dalam artian, kematian sesungguhnya sudah ada bahkan ketika das Sein lahir di
dalam dunia. Kematian tak terelakan, ia adalah faktisitas itu sendiri. Sadar
akan kematian, adalah penanda das Sein. Sedangkan mereka yang sengaja melarikan
diri ke dalam rutinitas keseharian, disebut das Man, atau orang biasa, kendati
lari itu tak melenyapkan kecemasan akan kematian. Kematian hanya bersembunyi
untuk sementara waktu sampai gilirannya tampil. Das Man telah lupa pada Ada-nya
ketika lupa akan matinya.
Dengan demikian
berada-di-dalam-dunia sama dengan berada-menuju-kematian.
~ Dari Mistik Keseharian, Budi Hardiman

0 Komentar