The Red Vineyard at Arles Van Gogh

 


Dasein berada-di-dalam-dunia, yang berbeda dengan pernyataan air ‘di dalam’ gelas atau punting ‘di dalam’ asbak. Berada-di-dalam-dunia artinya menjadi bagian dari dunia artinya mendunia. Bahkan berada-di-dalam-dunia merupakan nama lain dari Dasein. Akhir dari berada-di-dalam-dunia, adalah kematian. Bahasa Indonesia punya padanan menarik dari akhir Dasein ini: meninggal dunia.

 

Beberapa hal yang dapat ditemui dalam dunia Dasein: alat-alat, benda non-alat, dan orang lain. Alat-alat merupakan benda yang punya fungsi atau diperuntukkan buat sesuatu. Sikap terhadap alat ialah memanipulasi atau memperalat. Dalam hal ini, terdapat aroma humanisme, di mana Heidegger berkata memperalat manusia merupakan sesuatu yang tak tepat karena manusia direduksi menjadi alat bagi manusia lain. Seperti budak. Selain alat-alat, terdapat non-alat, benda yang tak punya nilai fungsional tertentu. Selain itu, dunia Dasein juga terdapat orang lain atau disebut Mit Dasein, orang-orang lain.

 

Dalam keseharian atau rutinitas, Dasein bisa terbenam dan tenggelam sehingga jauh dari cara mengada manusia yang sejati. Sebab manusia dalam keseharian tak mengenal dirinya sendiri, dan justru menyembunyikan dirinya yang sejati. Saat itulah, Dasein menjadi das Man, atau sesuatu yang kerap kita ujar sebagai “orang”.

 

Ketika Dasein menjadi das Man, keunikan dan kekhasan pun lenyap, sebab orang-orang cenderung mengikuti trend, fesyen, dan terbenam dalam kerumunan massa. Tapi di sisi lain, Dasein juga tak bisa dilepaskan dalam keseharian tersebut. Inilah yang mencemaskan dan paradoks: Dasein ingin mengenal Ada-nya, tapi di sisi lain Dasein mesti berkubang dalam keseharian yang mengasingkan Ada-nya.

 

Apabila das Man menjelma das Man, maka ia jadi anonim. Contohnya soal kawin. Das Man akan kawin karena tekanan keluarga atau ikut tren sosial atau karena cemburu dengan teman-teman dekat yang sudah menikah lebih dulu. Sedangkan das Sein, memilih kawin karena keputusan pribadinya yang dilalui lewat proses permenungan, proses memahami apa yang penting bagi masa depannya. Dalam proses yang mencemaskan itulah, keputusan eksistensial lahir.

 

Das Sein hidup dan memerankan drama eksistensial: das Sein tak tahu dari mana ia berasal, akan ke mana ia nanti, dan mengapa ia ada. Ketiga hal itu lalu mengusik sebagai kecemasan. Ketiga pertanyaan itu lalu menjadi akar dari krisis eksistensial kita. Kiwari, kita tahu itu sebagai quarter life crisis, yang sesungguhnya merupakan panggilan untuk memahami keterlemparan manusia di muka bumi. Das Sein lantas bertanya: untuk apa aku harus hidup? Mau jadi apa nanti? Kenapa aku harus tetap hidup? Dan seterusnya dan seterusnya.

 

Keberanian hidup ialah upaya memahami keterlemparan das Sein, keterlemparan yang menggedor-gedor kita dari dalam jiwa kita tentang dari mana dan ke mana hidup ini. Upaya memahami keterlemparan itu disebut verstehen, atau memahami. Dan dalam verstehen, sudah selalu terkandung orientasi akan masa depan. (Di sini, Heidegger berbeda dengan Wilhem Dilthey, bahwa memahami bukanlah bersifat diskursif melainkan pra-reflektif.)

 

Memahami, menafsirkan, dan menyampaikan keterlemparan merupakan akar dari keterbukaan das Sein akan masa depan. Namun keterbukaan yang pasif terhadap masa depan yang asing juga melahirkan kecemasan. Cemas di sini berbeda dengan takut. Ketakutan memiliki objek yang jelas sedangkan kecemasan objeknya tidak persis. Ketakutan misalnya dialami oleh seorang pencuri, karena ia takut ditangkap polisi. Tapi kecemasan bekerja ketika seseorang merasa kadung tenggelam dalam keseharian yang melenyapkan keotentisitasnya. Di sini, kecemasan Heidegger berbeda dengan Kierkegaard. Bila Kierkegaard menganggap lompatan iman sebagai solusi dari kecemasan, Heidegger berpendapat bahwa kecemasan merupakan hasil dari keterlemparan ke dunia yang asing ini.

 

 Cemas ialah melompat ke kekosongan, ke situasi tak nyaman, ganjil, dan mengerikan. Hanya dalam kesadaran akan kecemasan, menjalani kecemasan secara pasif dan terbuka, membiarkan dunia tampil apa adanya, maka das Sein bisa menjadi eksistensi yang otentik. Otentisitas eksistensi itu ditandai dengan rasa puas diri akan keseharian, sikap sadar akan keseharian, tak berada di luar keseharian, dan sadar bahwa das Sein berada dalam keseharian tanpa melupakan Ada-nya yang sejati.

 

  Das Sein memuat kemampuan mengantisipasi masa depan (eksistensialitas), terlempar ke dunia (faktisitas), dan keseharian (kejatuhan); das Sein terlempar ke dunia ini , terbenam dalam keseharian, dan akhirnya pergi ke kematian. Hanya dalam kematianlah, das Sein mencapai totalitasnya.

 

Kematian itu unik, sebab tak bisa diwakili. Seseorang bisa bom bunuh diri demi ideologi tertentu, tapi kematiannya tetap kematian pribadi. Seorang menggantikan orang lain untuk dihukum mati, tidak berarti mewakili atau menggantikan kematian orang lain. Kematiannya unik, dan hanya bisa dialami secara personal. Tak ada joki untuk kematian.

 

Tapi kematian juga bukan akhir. Dalam artian, kematian sesungguhnya sudah ada bahkan ketika das Sein lahir di dalam dunia. Kematian tak terelakan, ia adalah faktisitas itu sendiri. Sadar akan kematian, adalah penanda das Sein. Sedangkan mereka yang sengaja melarikan diri ke dalam rutinitas keseharian, disebut das Man, atau orang biasa, kendati lari itu tak melenyapkan kecemasan akan kematian. Kematian hanya bersembunyi untuk sementara waktu sampai gilirannya tampil. Das Man telah lupa pada Ada-nya ketika lupa akan matinya.

 

Dengan demikian berada-di-dalam-dunia sama dengan berada-menuju-kematian.


~ Dari Mistik Keseharian, Budi Hardiman