Evening Melancholy - Edvard Munch


  

Apakah dunia hari ini jauh lebih baik daripada dunia masa lalu? Jawabannya ya dan tidak. Ya, bila kita tengok dari kemajuan ekonomi (bandingkan PDB tahun 1500 dan tahun 2000) dan kemajuan dalam bidang kecerdasan (efek Flynn). Tidak, bila kita tengok dari segi kebahagiaan. Lewat statistik dari situs mana pun kita bisa dapati bahwa jumlah korban bunuh diri jauh lebih banyak daripada terorisme. Terorisme memang bisa menyandera perhatian publik meski dampaknya minimal, dan bunuh diri jarang diomongkan—justru distigmatisasi sebagai manusia berkehendak hati lemah—tapi dampaknya maksimal. Ini adalah ironi terbesar bagi masyarakat dunia yang semakin makmur dan pintar, yang semakin sesak dikelilingi buku-buku motivasi, namun tidak lebih bahagia dibandingkan seluruh zaman yang ada.

 

Ketidakbahagiaan itu bisa kita nilai dari tingkat bunuh diri yang menjadi satu dari sepuluh pembunuh paling mematikan di dunia. Masalah lain yang tumbuh diam-diam adalah meningkatnya kecenderungan depresi dan kecemasan terutama pada generasi milenial akhir dan Z yang tumbuh diasuh oleh media sosial. Media sosial menjadi etalase dari manusia-manusia sempurna dan ideal—padahal yang tampak di lini masa hanya versi terbaik yang justru paling jarang kita dapati dari mereka. Hidup kemudian tampak seperti kompetisi siapa paling bahagia di muka bumi. Dan barangsiapa yang tidak bahagia, dia akan terkutuk rasa bersalah.

 

Ini adalah ironi terbesar bagi masyarakat dunia yang semakin makmur dan pintar, yang semakin sesak dikelilingi buku-buku motivasi, namun tidak lebih bahagia dibandingkan seluruh zaman yang ada. Fakta ini menohok kita dengan kesimpulan bahwa semakin banyak produksi buku “how to”, chicken soup, buku motivasi dengan gaya tukang jual obat, ternyata tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kebahagiaan dan kepuasan hidup.

 

Tapi kenapa ini bisa terjadi?

 

Perembangan terakhir ilmu psikologi justru menemukan adanya potensi masalah dengan anjuran berpikir positif. Artikel “The Problem With Positive Thinking” menyatakan bahwa positive thinking justru kerap menghambat kita. Beberapa eksperimen menunjukkan, mereka yang menerapkan positive thinking malah mendapat hasil yang lebih buruk daripada yang tidak menerapkannya. Kata Henry Manampiring dalam Filosofi Teras, berpikir positif telah menipu pikiran kita, beranggapan seolah kita sudah mencapai apa yang kita inginkan, sehingga melemahkan keuletan kita dalam mencapainya. Namun sebaliknya, sekadar menyuruh orang berpikir realistis pun tidak memberi hasil yang lebih baik.

 

Artikel lain berjudul “The Tyranny of Positive Thinking Can Threaten Your Health and Happiness” di Newsweek menyatakan bahwa berpikir positif justru menyebabkan banyak orang merasa gagal dan lebih rentan depresi. Mereka akan lebih mungkin menyalahkan diri sendiri jika tidak merasa bahagia. Perasaan gagal, dihukum rasa bersalah yang tak perlu, serta menyalahkan diri sendiri secara berlebihan akhirnya menjadi hantu yang tak terhindarkan di tengah keterasingan modern ini.

 

Kedua artikel yang juga saya tahu dari Henry Manampiring itu barangkali bisa sedikit menjawab kenapa semakin banyak produksi buku motivasi semakin beracun kata-kata positive thinking itu. Berpikir positif yang beracun (toxic positivity) memang sudah tidak asing di telinga kita, itulah sikap yang menyangkal total fungsi kesedihan dalam hidup. Dalam soal ini, Harari terkesima dengan animasi Inside Out yang memberi kita pelajaran penting bahwa kesedihan tidak kalah penting dengan rasa takut, amarah, kejijikan, maupun kebahagiaan. Bahkan kesedihan dan kebahagiaan bisa berjarak tipis dan subtil.

 

Merespon rezim berpikir positif itu, seorang filsuf dari Tanah Parahyangan, Syarif Maulana, lalu membuat gerakan filsafat yang mengkampanyekan berpikir “demotivasi”. Demotivasi yang digalakan Syarif tidak bermaksud menggantikan posisi motivasi namun menyeimbangi hegemoni berpikir motivasional yang berlebihan di ruang publik. Surplus motivasi telah melahirkan berpikir positif yang tajam dan beracun. Dan dampak buruk dari tirani berpikir positif itu gayung bersambut dengan tabiat manusia modern yang menuhankan kecepatan daripada kelambanan. Surplus motivasi dan berhala kecepatan adalah kombinasi yang berbahaya, dan barangkali, demotivasi adalah obat penawarnya.

 

Jadi demotivasi dalam konteks ini bukanlah upaya memperkaya kemungkinan negatif dan murung di kemudian hari, tapi semacam kontra-hegemoni atas berpikir positif berlebihan yang bahkan menjelma sebagai delusi bagi setiap orang. Demotivasi juga adalah keberanian menghadapi dunia dengan lebih rileks dan penuh gelak tawa. Sebab komedi merupakan mekanisme pertahanan diri paling sederhana di tengah dunia yang kian sinting. Victor Frankl dalam Man Search for Meaning berhikayat bahwa salah satu aktivitas yang menjaga nyala kewarasan tidak lindap di tengah-tengah kamp konsenstrasi adalah humor. Ernest Prakarsa juga menggunakan komedi sebagai terapi diri. Dengan menertawakan tragedinya sebagai minoritas di depan banyak orang dia merasa lebih lega karena bisa tidak tertawa sendirian. Saya mengikuti trik itu bulan Februari lalu. Di depan peserta diskusi dari berbagai pelosok wilayah Indonesia, saya curhat soal tragedi saya yang putus dengan mantan pacar berumur sembilan tahun. Lalu saya menyadari, tragedi hanyalah komedi yang tertunda.

 

Dalam berbagai macam peradaban, humor kerap digunakan untuk mewarnai gerak zaman. Dalam tradisi timur tengah kita kenal Abu Nawas dan Nasrudin Hoja. Di Bandung, kita sudah tidak asing lagi dengan laku Kabayan yang suka bikin geleng-geleng kepala. Di daerah saya, Bolaang Mongondow, humor itu hadir dalam diri figur Lengkebong yang dari luar tampak pemalas tapi sebenarnya banyak akal. Dalam budaya pop Perancis juga dikenal kartun yang dibuat Jacques Rouxel yang tokoh utamanya berperan sebagai demotivator secara jenaka. Dalam kata pengantar yang diberikan Setyo Wibowo di buku “Kumpulan Kalimat Demotivasi” karya Syarif Maulana, diceritakan tokoh Perancis yang bernyali mengolok-olok ayam jantan yang selama ini diglorifikasi bangsa Perancis, bahwa seekor ayam pun akan tetap berkokok meski kakinya lagi menginjak tai sendiri. Humor semacam itu adalah otokritik yang bijaksana dari kacamata filsafat, juga adalah cara paling aman secara sosial. Karena daripada mengorbankan nasib orang lain sebagai bahan tertawaan, kenapa tidak menertawakan tragedi diri sendiri saja?

 

Demotivasi juga bisa dijadikan sebagai alat kritik pada budaya materialisme & konsumerisme yang bergeliat di sekitar kita. Dan kritik paling satir-jenaka barangkali berasal dari arah Alain de Botton. Alain de Botton menyadari bahwa seseorang diperhatikan sesuai dengan posisinya dalam stratifikasi sosial, & atas alasan itulah semua orang mengejar karir setinggi punggung gunung. Sekilas kita memang masyarakat yang tampaknya mendewakan kebaikan material, tapi kalau dilihat lebih dekat, bukanlah materi yang kita cari, melainkan ganjarannya. Kita banting tulang untuk memburu validasi sosial. Tidak lebih tidak kurang. Dengan gaya lumayan cuek Alain de Botton bilang, apabila melihat seseorang bersolek dengan ferarri yang baru dia beli, jangan vonis orang tersebut sebagai kemaruk, namun kasihanilah dia karena dia adalah orang yang sangat rapuh karena sangat memerlukan perhatian. Asahlah simpati alih-alih kemuakan, lalu hidup bakal terasa lebih ringan.

 

Dunia materialisme meneror pikiran sampai ke titik paling dasar insecurity kita. Semua dari kita pasti pernah secara tidak sengaja membanding-bandingkan takdir satu sama lain. Bahwa di luar sana ada manusia yang lebih “gud luking”, lebih menawan, lebih mempesona, lebih cantik, lebih rupawan, lebih pintar, lebih sukses, lebih kaya, lebih aduhai, lebih ciamik, dan kelebihan-kelebihan lain yang banyak sekali kalau mau disebutkan. Sampai kita lupa bahwa semua orang lahir dari genetika dan lingkungan yang berbeda. Ketidakmampuan mencapai kelebihan itu dengan akurat dan cepat lantas menjad indikator kegagalan. Padahal kata Jordan Peterson dalam 12 Rules of Lifes, satu-satunya yang layak dan pantas untuk kita taklukkan bukanlah orang asing di luar sana, melainkan diri kita sendiri di masa lalu.