Percakapan menghubungkan berbagai macam orang dengan berbagai macam masalahnya. Di sana kita menempa empati. Juga melatih ego. Pemahaman pun muncul. 


Beberapa hari lalu, saya tanpa sengaja bilang kalau kota saya sedang dipenuhi perkara-perkara janda. Saya menyampaikan isi pikiran itu secara acak. Kami berenam sedang nangkring, membahas apa pun yang bisa terbahas secara bebas. Saya yang tak tahu konteks sosial bicara asal-asalan, tanpa tahu, salah satu teman berpacaran dengan seorang janda.


Sebelum teman saya itu (sebut saja A) merespon, si B sudah cepat-cepat mengklarifikasi dengan agak terbata-bata, yang membikin suasana canggung. Kesannya janda sudah jadi stigma saja dalam petala sosial kita. Cara B menjawab, membuat saya tidak enakkan, karena kurang lebih saya tahu kalau janda kena stereotype sosial yang diciptakan masyarakat.


Sebelum tambah canggung, A langsung mengambil alih percakapan. "Aku sudah dua kali pacaran dengan janda," ucapnya sambil menandaskan puntung rokok. "Toh cinta pertama, sekaligus istri kesayangan Rasul, adalah janda. Khadijah ra." A bicara dengan mantap. Kata-katanya sudah cukup membuat kami yakin, kalau stigma sosial tak bakal mengganggu isi hatinya.


Baru saja tadi malam, topik yang sama muncul lagi. Kali ini Y membahas hubungan dengan pacarnya. Y menyebut pasangannya single parent alih-alih janda. Kata "single parent" memang lebih nginggris dan tak seperti kata janda yang kadung terbebani makna tak sedap. Tapi mengganti janda dengan single parent tak bakal menghilangkan stereotip sosial kepadanya. Y membahas hubungan romantiknya dengan penuh resah. Seolah sesuatu dalam dirinya lagi bertengkar.


Pertanyaan "bisakah menyukai seseorang apa adanya" memang sudah klise. Tapi kita bisa menjawabnya dengan cara yang tak membosankan. Teman A atau Y mungkin bisa menjawabnya dengan variasi, bahwa kita memang bisa menyukai seseorang apa adanya. Yang menjadi masalah, orang yang kita suka apa adanya, ternyata menerima pandangan tak menyenangkan dari masyarakat di mana kita tinggal. Beringsut dari situ, soal di awal paragraf bisa kita kerucutkan lagi: "apakah kita menyukai seseorang, atau tidak menyukai stigma sosial yang melekat pada seseorang?"


Ketika itulah persoalan kian runyam. Menyukai seseorang dan mengetahui orang yang kita sukai terkena stigma negatif, adalah dua perkara yang tak sama. Menyukai seseorang adalah tuntutan internal dalam diri. Stigma sosial adalah tuntutan eksternal dari masyarakat. Meminjam istilah Freud dalam Civilization and Discontent, telah terjadi bentrokan antara ego individual dan superego sosial. Kekecewaan, kegelisahan, dan uring-uringan tak terelakkan.


Paling parahnya, bentrokan ego individual dan superego sosial dapat menyebabkan delusi serta neurosis. Orang bisa saja membuat kesalahan diam-diam agar tak tertangkap mata masyarakat. Muncul tabu dan rasa bersalah. Rasa bersalah terjadi ketika ego individual (menyukai janda) tak selaras dengan superego sosial (janda tak elok disukai). Perasaan bersalah bisa saja menarik potensi keterasingan dan keterkucilan.


Freud memang pemikir besar bagi dunia psikoanalisa dan filsafat. Salah satu yang bisa jadi alternatif dari bentrokan Freud, barangkali pemikiran Sartre. Jean Paul Sartre menyebarkan opininya soal kebebasan. Bebas artinya menegasi pandangan orang lain. Mata memang organ paling agresif. Ketika berhadapan dengan orang lain, posisi kita sebagai subjek penaka tercerabut. Kita lalu menjadi objek dari mata orang lain; kita terobjektivikasi; kita tidak lagi bebas.


A dan Y, dan saya dan kamu, barangkali akan merasa tidak enak bila orang lain tahu kalau kita berpacaran dengan janda atau single parent. Barangkali ego individual kita diobjektifikasi superego sosial. Solusi radikal Sartre adalah menegasi sorot mata superego sosial itu. Kebebasan dari rasa bersalah akut, insecurity, keterasingan, dan keterkucilan, adalah menegasi secara terus menerus sorot mata orang lain yang kerap tampak seperti selidik. Merebut kembali posisi kita sebagai subjek, bukannya objek orang lain.