Biasanya sejarah filsafat barat dibicarakan sebagai transisi dari mitos ke logos, takhayul ke rasionalitas. Logos di sini tentu saja penjelasan rasional atas realitas. Yang terakhir dianggap lebih superior ketimbang yang pertama. Tumbuh kemudian asumsi bahwa rasionalisme merupakan juru selamat manusia.
Tapi semua penjelasan rasional tidak akan bisa dipahami tanpa bahasa. Dan bahasa sejak Ferdinand de Saussure, bukan sekadar lambang atau medium, tapi juga ounya mekanisme internal sendiri. Gampangnya, bahasa, makna, pun logos, terbentuk bukan lewat rujukan ke realitas, tapi melalui pembedaan-pembedaan antar kata dengan kata-kata lain. Semisal ketika saya mencari arti cinta, saya bisa memahaminya lewat antonim benci atau sinonim kasih sayang. Saussure memaksudkan kalau makna selalu merujuk ke makna-makna lain, yang sebenarnya tidak pernah hadir. Bahasa dalam semesta Saussure adalah bahasa yang dilepaskan relasinya dengan dunia, bahasa yang punya mekanisme internal lewat diferensiasi makna. Gagasan inilah yang diradikalkan Derrida.
Derrida mengkritik filsafat barat yang ia istilahkan sebagai logosentrisme. Karena filsafat barat merupakan transisi dari mitos ke logos, maka posisi hegemonik dan tervital seolah hanya milik logos. Filsafat dituding mengabaikan peran bahasa. Dalam kritiknya, Derrida meminjam Freud, bahwa bahasa seringkali mengungkapkan sesuatu yang artinya sama sekali lain dari yang dimaksudkan. Bahkan ada seorang yang menganalisis kalau Derrida sedang melakukan psikoanalisa atas filsafat barat. Bahkan apa yang ditulis filsuf, belum tentu menyatakan apa yang mau dinyatakan filsuf itu sendiri.
Terdapat sebuah cerita dari pasien yang dipsikoanalisa Freud. Seorang wanita mimpi dikejar anjing kecil, dan mimpi itu terus menghantuinya untuk jangka waktu yang sangat lama. Lewat proses psikoanalisa panjang dan rumit, diketahuilah bahwa anjing itu merujuk pada bibinya yang ia kesali, bibi itu memelihara anjing kecil. Sebagaimana mimpi, bahasa literal memang tak selalu menyatakan apa yang hendak dikomunikasikan. Memang menurut Derrida, diri tidaklah utuh, dia terpecah-pecah seperti bahasa. Bila pengarang menulis sesuatu, bisa saja muncul sesuatu yang tidak disadari
Pada paruh kedua pertengahan abad ke-20, Dereida menulis esai panjang berjudul La Pharmacie de Platon, Plato's Pharmacy. Ia meminjam teks Plato berjudul Phaidros yang konteksnya seputar perdebatan Sokrates dan Sofisme. Di sana ada adegan di mana Sokrates ketemu dengan Phaidros. Mereka bercakap-cakap. Lalu Phaidros menyembunyikan sesuatu di balik tuniknya, yang ternyata adalah buku Lysias. Lysias adalah orator besar yang banyak laku saat itu. Dalan konteks Derrida, Platon lewat Sokrates mengkritik tulisan atau teks, karena tulisan dianggap buruk untuk ingatan.
Dari sana, Derrida menyinggung asal muasal tulisan dalam mitos Mesir. Konon ada seorang dewa bernama Theuth yang menemukan tulisan lalu mempersembahkannya pada raja Thamus. "Ini adalah tulisan," ujar Theuth. "Dan tulisan ini akan menjadi obat (pharmakon) untuk ingatan." Namun menurut Thamus, tulisan juga akan jadi racun (pharmakon), bagi ingatan, dalam artian, tulisan membuat ingatannya tidak lagi terlatih. Tanggapan Thamus mirip dengan anggapan Sokrates bahwa teks tidak ubahnya orphan, yatim piatu, maksudnya teks tidak punya ayah ibu untuk membela dirinya sendiri. Menurut Thamus dan Sokrates, tulisan hanya sesuatu yang sekunder dari lisan.
Dalam pengamatan Derrida, terdapat semacam oposisi antara lisan dan tulisan, sebagaimana terdapat dalam mitos dan logos, jiwa dan tubuh, atau dalam bahasa Platon antara penampakan dan realitas. Selalu terdapat dikotomi atau oposisi biner dalam suatu wacana. Poin Derrida adalah, terjadi pengunggulan atas yang satu dari yang lain. Derrida mau menunjukkan bahwa yang satu dan yang lainnya sebenarnya saling campur aduk. Di akhir Phaidron, dikisakahkan Sokrates minum pharmakon. Kalau diterjemahkan baik-baik tentu maksud pharmakon situ adalah racun. Tapi kalau kita mengikuti kebijaksanaan filsafat sebagai latihan mati, maka pharmakon bagi Sokrates adalah obat. Jadi tidak jelas apakah Sokrates minum racun atau obat. Makna pharmakon adalah makna yang tak bisa diputuskan.
Strategi pembacaan begini disebut dengan dekonstruksi. Menurut Simon Critchley, dekonstruksi diartikan sebagai "double reading", pembacaan ganda. Catherine Zuckert menilai ini pengaruh dari tradisi Yahudi, bahwa apa yang tak tertulis itu lebih penting daripada apa yang tertulis. Dalam istilah Ali Harb, "ontologi teks". Berbeda dengan pembacaan ganda Leo Strauss, maksud dekonstruksi lebih ke pembalikan hierarki-hierarki yang bersemayam dalam teks. Setiap kali pengarang berusaha membuat jelas suatu konsep, ada sesuatu yang ia sembunyikan, ada yang dia tekan, dan makna yang direpresi itulah yang berusaha dimunculkan oleh dekonstruksi.
Apa semula dianggap tidak ada dalam teks, sesungguhnya selalu ada di sana. Sehingga suatu teks campur aduk, tidak jelas. Inilah yang membedakan dekonstruksi dan hermeneutika. Hermeneutika selalu berusaha membuat makna jadi reproduktif, berusaha menciptakan makna baru. Sebuah teks bisa menciptakan makna-makna yang tidak dikehendaki pengarang tapi masih setia pada intensi pengarang. Dekonstruksi sendiri sebagai hermeneutika radikal mengungkap apa yang tidak dimaksud oleh pengarang, tapi roh bersemayam dalam teks itu sendiri. Sejak awal dekonstruksi memang sudah berniat meruntuhkan makna teks, selalu menunda makna yang kita kira terbentuk lewat teks tersebut.
Lantas adakah implikasi politik dari pemikiran Derrida? Pernah ia dikritik oleh Richard Rorty, pada akhirnya Derrida tidak bisa disejajarkan dengan John Rawls, Marx, dan filsuf lain yang memberi kontribusi pada perubahan sosial. Mungkin setelah itu Derrida mengalami transisi, sekitar tahun 89-an, ia menulis Force of Law, Derrida semakin mencermati isu-isu sosial politik. Simon Ceitchley sendiri menulis The Ethics of Deconstruction. Dekonstruksi merupakan sikap keterbukaan atas makna-makna lain yang selama ini direpresi, diredam, ditekan. Dalam The Force of Law, segala hal bisa didekonstruksi kecuali keadilan. Keadilan adalah dekonstruksi itu sendiri.
0 Komentar