Wanderer Above the Sea of Fog (1818) - Caspar David Friedrich

Hambar. Lama kelamaan jariku terasa tawar. Suara papan tik tidak lagi seperti tuts-tuts Chopin di masa-masa dahulu ketika gairah dalam tungku dadaku bergetar. Ruang tempatku tinggal, waktu yang berputar mengelilingiku, orang-orang yang aku pedulikan, tidak lagi memancarkan warna yang dapat kutangkap dengan kata-kata.

 

Padahal dahulu, kata-kata seperti kupu-kupu. Menjaring makna seperti melacak jejak kupu-kupu di tengah taman rahasia yang tersimpan rapi di dalam benak saya. Kini kok rasanya makin hambar saja. Aku memang masih menulis, masih melahirkan kata-kata dari batok kepalaku. Tapi yang lahir hanya kata-kata, seperti menyalin apa yang kulihat dan kudengar, tidak ada yang baru di sana, tidak ada yang benar-benar saya.

 

Apa saya semakin jauh dari diri saya yang sesungguhnya? Apakah saya telah kehilangan saya lagi? Ketakutan terbesar saya lalu menjalar. Saya tidak mau menjadi manusia yang terlalu sibuk beradaptasi dengan orang lain sampai saya harus berkompromi untuk tidak selalu menjadi diri saya sendiri, yang bakal berujung pada saya tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Saya tidak mau saya menjadi orang asing bagi diri saya sendiri. Saya memang adalah seorang anak, seorang adik, seorang sahabat, bahkan kelas seorang kekasih, seorang bapak, seorang kakak dari orang lain. Tapi mereka semua yang terlibat hubungan dengan hati saya bakal binasa. Satu-satunya yang bakal menemani saya bahkan dalam kesunyian paling celaka cuma diri saya sendiri. Tidak ada yang lain!

 

Lalu apa jadinya kalau saya bahkan menjadi asing bagi diri saya sendiri?

 

Ataukah barangkali saya masih pengecut untuk jadi diri sendiri? Lagi pula, memangnya saya tahu siapa diri saya sesungguhnya? Jangan-jangan yang saya rujuk sebagai “diri saya sesungguhny” hanya persona khayalan atau sesuatu yang memang belum ada yang hendak saya ciptakan sendiri? Segala filsafat yang saya pakai untuk meliputi apa yang ingin saya bicarakan, hanyalah topeng yang saya timbun untuk membuyarkan apa yang ingin saya sampaikan. Ataukah saya tidak tahu diri saya sendiri itu?

 

Mungkin saya tidak tahu. Saya hanya sok tahu. Tapi di ujung tulisan ini, setidaknya saya menyadari dan mengakui bahwa saya memang tidak kenal dengan diri sendiri. Dan itulah diri saya yang sesungguhnya, diri yang tak mengenal diri sendiri. Diri yang sedari awal memutuskan untuk tidak ingin ditebak bahkan oleh majikannya sendiri. Diri yang bercita-cita menjadi labirin, yang kerap kali dimasuki tubuhnya, majikannya bakal tersesat dalam kesunyian seribu bahasa.

 

Tapi bercengkerama dengan diri seperti ini rasanya sudah lama sekali tidak terjadi. Beberapa bulan ini saya selalu disibukkan dengan hal-hal yang saya sukai, tapi saya tidak pernah benar-benar sunyi. Memang saya menghabiskan waktu sendirian saja. Saya banyak menyendiri. Tapi apa yang bergasing di kepala saya bukanlah dari saya sendiri, selalu ada nasib dan kehendak orang lain di dalam sana, saya akhirnya kehilangan waktu privat untuk berpikir dan menelusuri apa yang benar-benar ingin saya pikirkan. Bahkan dalam kesendirian paling sibuk, dalam keterisolasian itu, saya bahkan merasa sangat jauh dengan kesunyian.

 

Saya akhirnya mengerti kesendirian adalah satu hal, kesunyian adalah hal lain lagi. Kesunyian adalah solilokui paling hangat, percakapan dengan diri sendiri. Proses menulis ini juga adalah solilokui, adalah proses bercengkerama saya dengan batin saya yang ternyata masih banyak yang belum saya kenali dengan baik.

 

Dalam solilokui, saya ketemu dengan banyak pertanyaan di belakang waktu yang tak sempat terjawab, maupun kata-kata yang selama ini menanti ditemukan. “Kata-kata” itu membentak saya ketika saya temukan: “Kenapa lama sekali! Kau terlambat beberapa hari saja, aku mungkin sudah tidak ada.” Tentu saja itu gertakan. Baik “Kata-kata” maupun saya sama-sama mengerti, bahwa ia adalah makhluk paling setia. Perkaranya memang sederhana tapi sukar dibikin: seberapa sabar saya menghabiskan waktu menggali gunung makna dalam benak saya, dan seberapa setia kata-kata untuk bersembunyi sembari percaya saya akan menjemputnya suata kala nanti.