Hambar. Lama kelamaan jariku terasa tawar.
Suara papan tik tidak lagi seperti tuts-tuts Chopin di masa-masa dahulu ketika
gairah dalam tungku dadaku bergetar. Ruang tempatku tinggal, waktu yang
berputar mengelilingiku, orang-orang yang aku pedulikan, tidak lagi memancarkan
warna yang dapat kutangkap dengan kata-kata.
Padahal dahulu, kata-kata seperti
kupu-kupu. Menjaring makna seperti melacak jejak kupu-kupu di tengah taman
rahasia yang tersimpan rapi di dalam benak saya. Kini kok rasanya makin hambar
saja. Aku memang masih menulis, masih melahirkan kata-kata dari batok kepalaku.
Tapi yang lahir hanya kata-kata, seperti menyalin apa yang kulihat dan
kudengar, tidak ada yang baru di sana, tidak ada yang benar-benar saya.
Apa saya semakin jauh dari diri saya yang
sesungguhnya? Apakah saya telah kehilangan saya lagi? Ketakutan terbesar saya
lalu menjalar. Saya tidak mau menjadi manusia yang terlalu sibuk beradaptasi
dengan orang lain sampai saya harus berkompromi untuk tidak selalu menjadi diri
saya sendiri, yang bakal berujung pada saya tidak lagi menjadi diri saya
sendiri. Saya tidak mau saya menjadi orang asing bagi diri saya sendiri. Saya
memang adalah seorang anak, seorang adik, seorang sahabat, bahkan kelas seorang
kekasih, seorang bapak, seorang kakak dari orang lain. Tapi mereka semua yang
terlibat hubungan dengan hati saya bakal binasa. Satu-satunya yang bakal
menemani saya bahkan dalam kesunyian paling celaka cuma diri saya sendiri.
Tidak ada yang lain!
Lalu apa jadinya kalau saya bahkan menjadi
asing bagi diri saya sendiri?
Ataukah barangkali saya masih pengecut
untuk jadi diri sendiri? Lagi pula, memangnya saya tahu siapa diri saya
sesungguhnya? Jangan-jangan yang saya rujuk sebagai “diri saya sesungguhny”
hanya persona khayalan atau sesuatu yang memang belum ada yang hendak saya
ciptakan sendiri? Segala filsafat yang saya pakai untuk meliputi apa yang ingin
saya bicarakan, hanyalah topeng yang saya timbun untuk membuyarkan apa yang
ingin saya sampaikan. Ataukah saya tidak tahu diri saya sendiri itu?
Mungkin saya tidak tahu. Saya hanya sok
tahu. Tapi di ujung tulisan ini, setidaknya saya menyadari dan mengakui bahwa
saya memang tidak kenal dengan diri sendiri. Dan itulah diri saya yang
sesungguhnya, diri yang tak mengenal diri sendiri. Diri yang sedari awal
memutuskan untuk tidak ingin ditebak bahkan oleh majikannya sendiri. Diri yang
bercita-cita menjadi labirin, yang kerap kali dimasuki tubuhnya, majikannya
bakal tersesat dalam kesunyian seribu bahasa.
Tapi bercengkerama dengan diri seperti ini
rasanya sudah lama sekali tidak terjadi. Beberapa bulan ini saya selalu
disibukkan dengan hal-hal yang saya sukai, tapi saya tidak pernah benar-benar
sunyi. Memang saya menghabiskan waktu sendirian saja. Saya banyak menyendiri.
Tapi apa yang bergasing di kepala saya bukanlah dari saya sendiri, selalu ada
nasib dan kehendak orang lain di dalam sana, saya akhirnya kehilangan waktu
privat untuk berpikir dan menelusuri apa yang benar-benar ingin saya pikirkan.
Bahkan dalam kesendirian paling sibuk, dalam keterisolasian itu, saya bahkan merasa
sangat jauh dengan kesunyian.
Saya akhirnya mengerti kesendirian adalah
satu hal, kesunyian adalah hal lain lagi. Kesunyian adalah solilokui paling
hangat, percakapan dengan diri sendiri. Proses menulis ini juga adalah
solilokui, adalah proses bercengkerama saya dengan batin saya yang ternyata
masih banyak yang belum saya kenali dengan baik.
Dalam solilokui, saya ketemu dengan banyak
pertanyaan di belakang waktu yang tak sempat terjawab, maupun kata-kata yang
selama ini menanti ditemukan. “Kata-kata” itu membentak saya ketika saya
temukan: “Kenapa lama sekali! Kau terlambat beberapa hari saja, aku mungkin
sudah tidak ada.” Tentu saja itu gertakan. Baik “Kata-kata” maupun saya
sama-sama mengerti, bahwa ia adalah makhluk paling setia. Perkaranya memang sederhana
tapi sukar dibikin: seberapa sabar saya menghabiskan waktu menggali gunung
makna dalam benak saya, dan seberapa setia kata-kata untuk bersembunyi sembari
percaya saya akan menjemputnya suata kala nanti.
0 Komentar