Seusai tengah malam, saya
masih bisa memanggil bentor yang wira-wiri di sekujur jalan, meski jumlahnya
bisa terhitung dengan jari saja. Saat itu, saya kesusahan mencari bentor, tidak
ada yang lewat. Memang sudah lewat dua belas malam. Terpaksa saya harus jalan
kaki dari kantor kejaksaan ke Sinindian. Sendirian. Di bawah pekat malam.
Sepanjang jalan saya
memikirkan banyak hal. Dunia seolah-olah berkumpul, mengerucut, mengerubuni isi
kepala saya yang kecil ini. Gagasan demi gagasan berseliweran cepat, ringkas,
dan tajam. Badai pemikiran itu menjadi indah karena saya bisa melihat langit
secara leluasa, juga daun pohon yang bersentuhan dengan cahaya petromaks, hijau
itu tampak lebih lembut dan agak virtual. Berjalan kaki seperti ini, kita bisa
menatap hal-hal yang sering terlewat dalam gegas kecepatan. Banyak hal mubazir
bila kita mengikuti ritme modernisme. Berhala kecepatan akhirnya tidak lagi
seistimewa yang ditayangkan televisi.
Baru-baru ini saya kenal
aktivitas menentramkan itu sebagai “walking meditation”. Yakni upaya untuk
menyambung konektivitas antara pikiran sadar dan realitas alam. Dengan cara
tertentu yang saya tidak tahu bagaimana, berjalan dan berjumpa dengan beberapa
pohon di tengah jalan, telah membangkitkan gairah kangen saya pada masa lalu
yang jauh dan abstrak. Dan itu mendamaikan!
Dalam film The Nietzche Wept, Nietzche mengajak
dokter Brauer berjalan-jalan sejenak. Menyisiri taman, di tengah-tengah
pepohonan yang hijau meski beberapa sudah ranggas daun, Nietzche mengakui bahwa
ia suka berpikir sambil berjalan. Berjalan membuat pikiran kita ikut bergerak,
tidak sepasif ketika kita berdiam diri tanpa membaca. Berjalan seolah roda-roda
gerigi yang menjalankan neuron otak untuk terus memproduksi energI demi
melahirkan ide-ide baru yang lebih segar.
0 Komentar