Kopi punya sejarah sehitam warnanya. Gubernur Mekkah pernah mengharamkan kopi pada tahun 1511. Saat itu Namanya qahwah. Minum kopi punya efek sama dengan minum arak: semangat berlebihan dan susah tidur. Karena arak haram, maka kopi pun diharamkan. Warga Mekkah harus menikmati kopi diam-diam. Para penjual kafein mesti transaksi secara hati-hati.
Ajaib. Pernah ada masa ketika bakopi sama dengan bagate.
Saya tidak bisa bayangkan sesulit apa penjual kopi saat itu. Mereka mungkin sudah berdiri di gank sempit pukul 4:20 menanti pelanggan tiba. “Ssst, Bos! Ada barang bagus ini. Kopi!” Tawar-menawar alot, transaksi terjadi. Mereka cari tempat sunyi. Kopi dituangkan di meja. Korek api dikeluarkan dari kantong, diarahkan ke kopi.
“Bagus ni kopi no. Bakar manyala re’en,” ujar pembeli dengan mata berbinar. “Iyo no. Kopi Motoling ini, Akhi,” sambar penjual.
Pada abad ke-17 di Turki, Sultan Murad IV bukan hanya mengharamkan, bahkan menjatuhkan hukuman mati untuk warga yang kedapatan minum kopi. Saya yang hidup zaman ini geleng-geleng kepala. Hukuman mati, bukan main! Zinah hukuman cambuk, maling potong tangan, koruptor penjara 5 tahun bebas. Kopi? Hukuman mati? Sebanyak apa sih dosa peminum kopi?
DARI ETHIOPIA MENYEBERANG KE DUNIA
Dari Ethiopia dan Yaman di mana kopi ditemukan penggembala kambing, perkembangan kopi melejit tak karuan tanpa rem.
Sejak awal kopi punya kaitan erat dengan gerakan sufisme yang beroposisi pada status quo kekuasaan Islam. Kedai kopi menjadi ruang publik pendatang baru. Di dalamnya orang berkumpul, diskusi, mendengar syair, dan bermain catur.
Kedai kopi menandai aktivitas intelektual yang kuat sehingga menjadi saingan sengit masjid sebagai tempat beraktivitas. Beberapa ulama menghardik keras kedai kopi karena dianggap lebih jahat dari tempat minum arak.
Setelah biji kafein dicekal, kopi pun banyak diperdagangkan dengan Asosiasi Dagang Inggris-Belanda. Transaksi terjadi di Yaman, tepatnya dermaga Moka. Di dermaga itu, kopi hijrah dari gurun Arab ke daratan Eropa. Saudagar Eropa lalu membawa serta nama kopi moka dalam pelayaran pulang ke Benua Biru.
Pasqua Rossée, seorang Yunani pembantu saudagar Inggris membuka kedai kopi pertama di Inggris pada 1652. Ruang publik itu dibuka di “… dinding batu halaman gereja St Michael di dekat Cornhill di London. Kopinya tampak seperti lumpur, mirip pepatah Turki: 'Hitam sekali, sekuat maut, semanis cinta’,” tulis Iqbal Suma dalam bukunya, Komunitas Jalan Roda.
Kira-kira 15 tahun setelah Inggris, Belanda membuka kedai kopi pertama di Den Haag. Lalu seperti virus, budaya kafein barmamah biak dengan cekat. Abad ke-17 ditandai dengan bangkitnya ruang publik baru di Eropa.
Namun perubahan besar dalam skala cepat selalu mengundang kejutan dan kecurigaan. Pada 1674, tersiar pamflet The Women’s Petition Against Coffee. Sebagian besar isinya menuding kopi sebagai penyebab impotensi laki-laki. Setahun setelahnya, Raja Inggris Charles II menitahkan semua kedai kopi diberangus, seusai ditemukan puisi yang meramalkan kejatuhannya di suatu kedai kopi.
Namun meski dipersekusi berkali-kali, kedai kopi lolos dari intaian kematian.
Seleksi alam akan memilih siapa yang layak bertahan hidup dari goncangan zaman. Agama dan politik ternyata tidak lebih tangguh dari kopi. Kedai kopi tetap berdiri, dan sebagaimana gen atau meme, ia berlipat ganda, memperbanyak keturunan, mewariskan kebenaran dari satu cangkang ke cangkang lain: ia bisa menetas sebagai eksistensialisme Perancis abad ke-20 atau sebagai Jalan Roda Manado abad ke-21.
Dalam buku Komunitas Jalan Roda karya Muhammad Iqbal Suma, kedai kopi sebagai ruang publik menjadi sarang parrhesia. Sesuatu yang oleh Foucault disebut “keberanian menyampaikan kebenaran meski dihantui risiko bahaya.” Proses diskursif Jarod terbuka untuk siapa saja: pembeli, penjual, tukang parkir, aktivis, intelektual, pengamen, politisi, dan seterusnya dan seterusnya.
Berbagai macam kalangan yang hadir membuat Jarod tampil sebagai “DPRD tingkat III”. Di Jarod atau ruang publik umumnya, politik berpikir tentang legislasi, pasar tertawa dengan budgeting, dan sisanya melawan lupa melalui controlling dengan gelak sinis Kundera.
Jarod tidak sekadar menawarkan ruang, tapi juga kebiasaan; Jarod menawarkan nilai komunitas. Komunitas di mana orang berdialog dan berdebat dengan semangat demokrasi radikal. Di mana semua orang bebas berpendapat sembari melindungi hak semua orang untuk bebas berpendapat.
Barangkali karena itu kedai kopi tak pernah mati.
Ruang publik dan kopi tidak pernah mati meski diancam pemberangusan raja Inggris, dituding biang keladi impotensi, diharamkan, bahkan dihantui hukuman mati oleh Turki abad ke-17.
Saya sendiri, bila hidup di Turki abad itu, saya tetap akan ngopi mesi diintai hukuman mati. Karena kopi bagi saya adalah gaya hidup. Kalo hukuman mati ya bunuh-bunuh saja. Toh buat apa saya hidup kalau mati gaya?
0 Komentar