Pentti Linkola adalah filsuf yang berprofesi sebagai nelayan selama 30 tahun lamanya. Mulanya merupakan ornitolog, lalu ia melepas jubah akademis menara gadingnya untuk mengamati alam dari jarak lebih dekat.

 

Karena cara pikirnya yang radikal membuat ia dipanggil ekofasis. Terdengar paradoks memang, sebab kita mengenal Finlandia sebagai negara multikultural.

 

Linkola bukan nelayan biasa. Ikan yang ia pancing akan langsung dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Ia menolak konsep “higienis” sebab dianggap sebagai konstruksi kapitalisme.

 

Gelombang industrialisasi yang memasuki Finlandia membuatnya prihatin. Ia menyaksikan orang-orang mencari ikan makarel dan tomat di pasar yang disediakan kapitalisme, padahal negaranya terkenal memiliki ikan dan buah-buahan segar tinggal petik.

 

Sebelum gelombang industrialisasi, membahas perkara uang merupakan hal tabu di dalam rumah. Masyarakat Finlandia di masa muda Linkola lebih senang mendiskusikan seni dan kebudayaan. Tapi semuanya berubah setelah industri tiba.

 

Jauh dalam hatinya, Linkola menimbang-nimbang ulang konsep manusia sebagai imago dei. Dengan segala sifat mulia yang diatribusikan kepada manusia, bisakah kita merasa punya legitimasi mengeksploitasi segala yang non-manusia? Dari sana, ia uraikan kritik panjang kepada eksploitasi manusia atas alam dan manusia atas manusia.

 

Baginya manusia hipokrit, karena selektif dalam konservasi hewan. Ia juga mengkritik domestifikasi kucing atas nama pecinta binatang. Bila sungguh-sungguh mencintai binatang, maukah manusia memelihara kecoak? Antroposentrisme tidak hanya membuat manusia merasa lebih tinggi dari binatang, tapi juga membuat spesies kita berhak menentukan mana binatang lucu yang patut dipelihara dan mana yang patut diinjak.

 

Deantroposentrisme Linkola tidak luput kritik. Hipokrisi itu juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari sang ekofasis sebagai nelayan. Kalau Linkola mengaku cinta binatang, maka ia harusnya tidak makan ikan. Pembelaan Linkola: ikan yang selama ini ia tangkap sudah berusia 3 sampai 4 tahun, yang sepadan dengan manusia berusia 60-an tahun. Sehingga sudah kodrat ikan tersebut untuk mati.

 

Jantung kritik Linkola sesungguhnya adalah perburuan binatang demi kemewahan yang dikonstruksi kapitalis. Semisal mantel dengan bulu hewan.

 

Ia bahkan menghantam konsep HAM yang seakan-akan menyamakan semua manusia. Ia tidak mengerti, kenapa HAM dapat diterapkan kepada manusia yang berbeda-beda dan punya keunikan tersendiri?

 

Linkola melihat kesamaan semua manusia dari sudut lain: baik mayoritas tak tercerahkan dan minoritas tercerahkan sama saja, sama-sama penghancur biosfer. Dengan sinis ia menuding manusia bukan sekadar mengkonsumsi non-manusia, lebih dari itu, manusia suka mengonsumsi sesame spesiesnya.

 

Jalan keluarnya amat radikal. Peradaban mesti di-reset ulang--mengembalikan dunia sampai ke titik Adam dan Hawa.

 

“Kita sudah pasti akan hancur. Selama ini kita hanya mengulur waktu ke kehancuran,” kurang lebih yang dikatakan Linkola. Karena itu ia menginginkan fasisme terwujud dalam bentuk institusional.

 

Fasisme ekologis Linkola mesti menolak demokrasi, konsep kebebasan individu, dan hak milik. Sebab tiga sekawan itu merupakan biang keladi overkonsumsi di atas bumi.

 

Tawaran lain Linkola unutk agenda ekofasisme kelak adalah pembatasan populasi. Setiap keluarga hanya boleh punya satu anak agar ledakan jumlah penduduk bisa diredam. Selain itu negara mesti mengendalikan nutrisi, vitamin, dan hormon warganya yang dihantui obesitas.

 

Selain menolak teknologi, demokrasi, dan kucing, Linkola juga menolak profesi kedokteran. Baginya, dokter hanya akan memperpanjang usia manusia. Semakin lama manusia hidup, semakin banyak yang dikeruk.

 

Lebih radikal lagi, ekofasisme mesti melarang pengajaran bahasa asing. Sebab bahasa asing merupakan gerbang awal terbukanya hubungan global. Ketika hubungan internasional terjalin, eksploitasi pun menyelinap di celah-celahnya.

 

Dalam dunia yang mirip dengan novel distopia tersebut, para kapitalis yang tersisa harus diasingkan ke puncak gunung untuk dicuci otaknya. Aku tidak bisa membayangkan Mark Zuckerberg, Elon Musk, dan Bill Gates diikat erat lalu dibedah otaknya dengan lobotomi.

 

Syarif Maulana, dosen filsafat Unpar, memberi tanggapan akan sikap Linkola dalam diskusi bertema Eco-Philosophy. Linkola masih cenderung esensialis. Tidak ada kategori yang jelas soal manusia jenis apa yang mesti dipertahankan dan manusia jenis apa yang mesti dimusnahkan. Dengan kata lain, ekofasisme tidak memberi artikulasi jelas soal posisi subjek. Kalaupun semua manusia memang harus dibasmi, kenapa Linkola tidak mulai dengan dirinya sendiri? Toh dia bisa bunuh diri karena ia juga bagian dari spesies manusia.

 

Kang Syarif mengajak kita membayangkan Hitler ulang. Fasisme Nazi yang hanya mengontrol manusia saja bisa seseram Auschwitz, apalagi fasisme yang mengontrol alam?

 

Dalam situasi krisis, fasisme memang sekilas tampak sebagai solusi paling mudah. Ketidakseimbangan terkadang bisa diselesaikan dengan kontrol penuh negara. Tapi kalau dunia sudah baik-baik saja, apakah fasisme masih diperlukan? Lebih dari itu, apakah fasisme memang perlu ada dalam setiap situasi?