Abbey-In-The-Oakwood Caspar Friedrich


 

Freud tidak terlalu mengeri apa makna perasaan “kesamuderaan” yang dialami oleh sahabatnya. Itu ia utarakan dalam Civilization and Discontent, pada bagian awal sekali.

 

Distingsi antara ego dan realitas memang penting sekali buat perkembangan psikologis, agar ego mulai menyadari realitas yang terpisah dari dirinya. Ini dapat dipahami dengan upaya balita untuk mengamuk yang tidak lain hanya untuk mengemis asi. Saat itu, kesadaran kalau balita adalah subjek dan payudara ibu adalah objek; saat itu terjadi objektivikasi pertama seorang manusia yang sebelumnya sebenarnya menyadari dirinya sebagai satu kesatuan dengan dunia luar.

 

Kemudian figure bapak muncul. Lalu relasi kesalingan itu lantas kian berkecamuk. Bisa kita jelajahi dari sisa-sisa jejak penelusurannya soal Oedipus Complex, Freud lantas menuding kalau figure bapak sebagai figure otoritas adalah asal muasal dari evolusi tuhan yang maskulin dalam sejarah teologi: Zeus, ke Yahweh yang tegas, ke Bapa yang pengasih, lantas ke Allah yang bisa sepenyayang makrifat pun bisa setegas syariat tergantung selera kita kalau kita mau ingat-ingat Feurbach—semuanya maskulin meski mau sok-sokan pakai tuhan bercitra feminis pun, yang kemudian, gagasan ini diadopsi oleh Erich Fromm dalam Mahzab Frankrut.

 

Dalam teks Freud, mereinterpretasi injil, terdapat kekecewaan terhadap peradaban. Peradaban oleh Freud, dibangun demi menekan agresi, menekan insting kematian (thanos) yang sebenarnya jangan disangkal (sebagaimana nanti bakal bergema di Ernest Becker dan Kubler-Ros). Freud barangkali hendak berkata bahwa sejarah peradaban tiada lain adalah sejarah peperangan eros melawan thanatos atau cinta lawan benci yang banyak kita adaptasi dalam budaya pop kiwari.

 

Freud mengutarakan dua sumber rasa bersalah: karena takut pada otoritas (eksternal) dan karena takut pada super ego (internal).

 

Baginya, peradaban adalah titik kulminasi soal gagasan manusia soal estetika, kebaikan, dan keteraturan. Maka, secara hipotetis, peradaban mestinya berbanding lurus dengan kebahagiaan dong ya. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Peradaban memang umur panjang tapi tidak dengan kebahagiaan—yang ini bakal mempengaruhi Steven Pinker (Enlightentment Now), Harari (Homo Deus), Jonathan Haidt (dan Mark Manson (Everything is Fucked).

 

Menurut Freud, peradaban merupakan akumulasi pencapaian yang mendiferensiasi kita dari nenek moyang kita. Lantas, katakanlah skenario terbaik dari yang terbaik yang diutarakan Harari dalam Homo Deus: kita bisa saja bahagia dengan organ bionic, kepala yang ditanami mikro-prosesor yang dapat mengakses google ketika lagi di toilet, pun dapat mereproduksi versi terbaik dari diri kita yang paling kita sukai berkali-kali, tapi apa artinya penjelmaan dari homo sapiens ke homo deus semacam ini bila artinya kita tidak menjadi tuhan yang bahagia di muka bumi ini?

 

Selanjutnya Freud menyoal perihal rasa bersalah kita yang takut melakukan sesuatu bahkan ketika tindakan itu masih berada di alam pra-reflektif sekalipun. Rasa bersalah, olehnya, ialah ekspresi dari ketakutan kehilangan cinta kasih entah secara eksternah (otoritas bapak) maupun internal (super-ego—yang merupakan perluasan dari otoritas eksternal figure bapak yang terkesan paradoks tapi baiknya kita tempatkan di pembahasan lain saja soal ini). Maka kita dapat memaklumi kesengsaraan tokoh Crime & Punishment karya Dostoyevsky, di mana semakin kuat super egonya, semakin kuat pula perasaan ingin dihukum semakin ia tersiksa oleh rasa bersalahnya sendiri dari dalam batinnya yang berduri.

 

Dalam situasi di mana Freud hidup, ia khawatir melihat peradaban berkembang demi menekan dorongan seksual individual masing-masing orang, yang dengan kata lain, Cuma mempromosikan super-ego lewat mekanisme apparatus represif Althuserian(misal Pancasila, komunisme, liberalisme, dll), sehingga super ego kultural mesti berkesesuaian dengan super ego individual agar tidak terjadi sesuatu yang disebut split personality atau hipokrisi atau disonansi kognitif.  Dalam konteks ini, karena manusioa senantiasa memiliki sociometer dalam kepala mereka, maka super-ego kultural kerap mendeterminasi super ego individual.

 

Nah, dalam hal ini, Freud menyarankan kalau pendidikan anak-anak kita harus memahami dorongan seksual dan agresivitas, agar mereka bisa berhadapan dengannya secara sehat kelak ketika berada di depan mata.