Katakanlah alam semesta
tercipta minggu lalu. Spesies manusia hadir kemarin. Maka revolusi industri
baru saja terjadi dua menit tadi. Periodisasi waktu itu menjadi tamsil bahwa
spesies kita meskipun baru datang belakangan, tetapi dalam waktu singkat mampu
mengubah nyaris segenap wajah planet biru ini. Pencapaian ini dikarenakan kita
diberkati kemampuan mengkreasikan ide dari tatanan narasi ke realitas.
Manusia—untuk tidak menyebutnya homo sapiens atau binatang sosial—lebih tepat
disebut sebagai binatang kultural.
Kesadaran manusia atas waktu
dan ruang menstimulus dia untuk memikirkan narasi makna hidup demi mengisi
eksistensinya yang tawar. Tanpa kemampuan menyusun narasi dan imajinasi, kita
tidak akan berbeda dengan binatang lain. Bahkan istilah “homo sapiens” atau
“makhluk yang bijaksana” adalah kreasi imajinasi kita sendiri. Dengan kemampuan
mendayagunakan budi, kita menciptakan benda-benda yang tak berharga tapi
mengandung nilai instrinsik, katakanlah berliah, uang, dan negara. Benda-benda
itu abstrak dan tak berharga sebab tidak bisa dimakan atau diminum seperti air
atau oksigen, tetapi hari-hari ini hal-hal itu justru yang lebih kerap
diperebutkan.
Sebagai binatang kultural,
manusia kemudian menyusun dunia di atas narasi makna hidup dan mengelola benda-benda
yang berada di sekelilingnya. Budaya kemudian terbangun. Budaya, adalah
resultan dari pertanyaan ontologis manusia atas keterlemparannya ke dalam dunia
yang asing ini. Kita lantas bertanya apa hakikat hidup manusia, hakikat karya
manusia, hakikat manusia dalam ruang dan waktu, hakikat manusia dan relasinya
dengan alam raya, dan hakikan manusia dan manusia. Jawaban itu bervariasi
tergantung dari di mana mereka tinggal dan menjalani hidup.
Jawaban dari lima pertanyaan
fundamental itu kemudian menentukan seperti apakah ide dasar, pola aktivitas,
serta corak artefak suatu kebudayaan. Ide, aktivitas, dan artefak, merupakan
unsur elementer kebudayaan. Dari unsur elementer itulah sistem keyakinan,
bahasa, sistem teknologi, kesenian, dan organisasi sosial suatu kebudayaan
disusun.
Budaya sendiri bukanlah kata
lain tradisi. Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang diwariskan
turun-temurun sehingga menciptakan kekuatan normatif. Artinya tradisi
berorientasi kepada masa silam. Tradisi merupakan budaya dalam artian sempit
dan konvensional, karena sifatnya begitu statis-pasif. Budaya sendiri jauh
lebih luas, ia bersifat dinamis-aktif, artinya bisa berubah seiring perputaran
zaman. Pemujaan buta terhadap tradisi akan membelenggu kreatifitas manusia
sehingga menghambat kemajuan. Konsekuensi ekonomi-politiknya adalah regresif.
Sedangkan budaya berorientasi ke masa depan. Bila tradisi menyatakan kebudayaan
adalah apa yang diwariskan dan tak dapat berkembang, maka budaya dalam arti
dinamis berkata berbeda.
Dengan demikian: budaya
belum berhenti, dan tak pernah final. Budaya adalah proses. Sebagai proses
belajar, kebudayaan senantiasa kita internalisasi dan kemudian sosialisasikan
di dalam kelompok sosial kita. Sebagai proses migrasi, budaya dapat berdifusi
dari satu lingkup geografis ke lingkup geografis lain melalui importasi ide,
aktivitas, dan/atau artefak. Sebagai proses interaksi, budaya bisa saja
mengalami asimilasi ketika berhadapan dengan budaya asing atau bisa saja
mengalami asimilasi tatkala budaya lama punah.
Kesadaran bahwa budaya
merupakan proses yang tak pernah final harus kita resapi dalam lubuk kesadaran
paling inti agar tidak terbelenggu oleh tradisi yang menghambat kemajuan. Pada
titik ekstrem, pemujaan atau pemberhalaan tradisi menimbulkan aktivisme politik
yang ekslusif yang bisa berupa separatism atau populisme otoriter. Bentuk
arogansi dan kenaifan demikian bukan hanya membelenggu mentalitas masyarkat
tetapi juga mengancam keutuhan keberagaman hidup umat manusia yang semakin
terkoneksi saban harinya. Paradigma statis-pasif itu hanya akan membangkitkan
fantasi nostalgik yang merupakan ciri utama politik identitas destruktif yang
dalam sekali waktu mengabaikan segala kemajuan umat manusia (yang mencangkup:
nalar, humanisme universal, dan sains).
Bukan berarti pula kita
harus memusnahkan tradisi. Merawat tradisi merupakan suatu kebutuhan psikologis
menjaga identitas sebuah entitas sosial, tetapi menganggap bahwa kebudayaan
selalu berada di masa lalu juga adalah kejumudan berpikir. Sebab nenek moyang kita—yang
mewariskan tradisi kepada kita—pun menciptakan ide, aktivitas, serta aktivitas
dengan orientasi masa depan. Tradisi harus kita tempatkan sebagai sesuatu yang
masih berpotensi berkembang. Kita harus melakukan desakralisasi atasnya. Untuk
itu ktia butuh strategi kebudayaan yang berpinsip: kembali ke masa depan (back to the future), yakni memanfaatkan
perangkat budaya lama untuk mendefinisikan masa depan manusia kita.
Dengan demikian tugas kita
dapat disederhanakan sebagai ikhtiar merawat masa lalu yang baik seraya
menegakkan wajah ke masa depan dengan kesiapan mental menerima perubahan
modernitas.
0 Komentar