Regenesis - Katherine Gray

 


Katakanlah alam semesta tercipta minggu lalu. Spesies manusia hadir kemarin. Maka revolusi industri baru saja terjadi dua menit tadi. Periodisasi waktu itu menjadi tamsil bahwa spesies kita meskipun baru datang belakangan, tetapi dalam waktu singkat mampu mengubah nyaris segenap wajah planet biru ini. Pencapaian ini dikarenakan kita diberkati kemampuan mengkreasikan ide dari tatanan narasi ke realitas. Manusia—untuk tidak menyebutnya homo sapiens atau binatang sosial—lebih tepat disebut sebagai binatang kultural.

 

Kesadaran manusia atas waktu dan ruang menstimulus dia untuk memikirkan narasi makna hidup demi mengisi eksistensinya yang tawar. Tanpa kemampuan menyusun narasi dan imajinasi, kita tidak akan berbeda dengan binatang lain. Bahkan istilah “homo sapiens” atau “makhluk yang bijaksana” adalah kreasi imajinasi kita sendiri. Dengan kemampuan mendayagunakan budi, kita menciptakan benda-benda yang tak berharga tapi mengandung nilai instrinsik, katakanlah berliah, uang, dan negara. Benda-benda itu abstrak dan tak berharga sebab tidak bisa dimakan atau diminum seperti air atau oksigen, tetapi hari-hari ini hal-hal itu justru yang lebih kerap diperebutkan.

 

Sebagai binatang kultural, manusia kemudian menyusun dunia di atas narasi makna hidup dan mengelola benda-benda yang berada di sekelilingnya. Budaya kemudian terbangun. Budaya, adalah resultan dari pertanyaan ontologis manusia atas keterlemparannya ke dalam dunia yang asing ini. Kita lantas bertanya apa hakikat hidup manusia, hakikat karya manusia, hakikat manusia dalam ruang dan waktu, hakikat manusia dan relasinya dengan alam raya, dan hakikan manusia dan manusia. Jawaban itu bervariasi tergantung dari di mana mereka tinggal dan menjalani hidup.

 

Jawaban dari lima pertanyaan fundamental itu kemudian menentukan seperti apakah ide dasar, pola aktivitas, serta corak artefak suatu kebudayaan. Ide, aktivitas, dan artefak, merupakan unsur elementer kebudayaan. Dari unsur elementer itulah sistem keyakinan, bahasa, sistem teknologi, kesenian, dan organisasi sosial suatu kebudayaan disusun.

 

Budaya sendiri bukanlah kata lain tradisi. Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang diwariskan turun-temurun sehingga menciptakan kekuatan normatif. Artinya tradisi berorientasi kepada masa silam. Tradisi merupakan budaya dalam artian sempit dan konvensional, karena sifatnya begitu statis-pasif. Budaya sendiri jauh lebih luas, ia bersifat dinamis-aktif, artinya bisa berubah seiring perputaran zaman. Pemujaan buta terhadap tradisi akan membelenggu kreatifitas manusia sehingga menghambat kemajuan. Konsekuensi ekonomi-politiknya adalah regresif. Sedangkan budaya berorientasi ke masa depan. Bila tradisi menyatakan kebudayaan adalah apa yang diwariskan dan tak dapat berkembang, maka budaya dalam arti dinamis berkata berbeda.

 

Dengan demikian: budaya belum berhenti, dan tak pernah final. Budaya adalah proses. Sebagai proses belajar, kebudayaan senantiasa kita internalisasi dan kemudian sosialisasikan di dalam kelompok sosial kita. Sebagai proses migrasi, budaya dapat berdifusi dari satu lingkup geografis ke lingkup geografis lain melalui importasi ide, aktivitas, dan/atau artefak. Sebagai proses interaksi, budaya bisa saja mengalami asimilasi ketika berhadapan dengan budaya asing atau bisa saja mengalami asimilasi tatkala budaya lama punah.

 

Kesadaran bahwa budaya merupakan proses yang tak pernah final harus kita resapi dalam lubuk kesadaran paling inti agar tidak terbelenggu oleh tradisi yang menghambat kemajuan. Pada titik ekstrem, pemujaan atau pemberhalaan tradisi menimbulkan aktivisme politik yang ekslusif yang bisa berupa separatism atau populisme otoriter. Bentuk arogansi dan kenaifan demikian bukan hanya membelenggu mentalitas masyarkat tetapi juga mengancam keutuhan keberagaman hidup umat manusia yang semakin terkoneksi saban harinya. Paradigma statis-pasif itu hanya akan membangkitkan fantasi nostalgik yang merupakan ciri utama politik identitas destruktif yang dalam sekali waktu mengabaikan segala kemajuan umat manusia (yang mencangkup: nalar, humanisme universal, dan sains).

 

Bukan berarti pula kita harus memusnahkan tradisi. Merawat tradisi merupakan suatu kebutuhan psikologis menjaga identitas sebuah entitas sosial, tetapi menganggap bahwa kebudayaan selalu berada di masa lalu juga adalah kejumudan berpikir. Sebab nenek moyang kita—yang mewariskan tradisi kepada kita—pun menciptakan ide, aktivitas, serta aktivitas dengan orientasi masa depan. Tradisi harus kita tempatkan sebagai sesuatu yang masih berpotensi berkembang. Kita harus melakukan desakralisasi atasnya. Untuk itu ktia butuh strategi kebudayaan yang berpinsip: kembali ke masa depan (back to the future), yakni memanfaatkan perangkat budaya lama untuk mendefinisikan masa depan manusia kita.

 

Dengan demikian tugas kita dapat disederhanakan sebagai ikhtiar merawat masa lalu yang baik seraya menegakkan wajah ke masa depan dengan kesiapan mental menerima perubahan modernitas.