Ini pertama kalinya saya membaca buku
Zizek sampai selesai dan kesan yang tertinggal adalah kesan bagus, penuh gairah
penasaran, rasa ingin tahu yang menuntut dari dalam mendesak saya untuk
mengikuti pikiran-pikirannya lebih jauh. Buku yang saya baca berjudul On Belief, terbitan tahun 2001 namun
baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia belum lama ini oleh penerbit Basa-Basi
dengan judul “Tentang Kepercayaan Agama”.
Penuh dengan tafsir-tafsir mengejutkan dan
liar. Pembalikan-pembalikan radikal Zizek tidak tanggung-tanggung, membacanya,
seperti menghasut saya untuk lebih berani mempertanyakan hal-hal yang saya
terima apa adanya selama ini. Zizek membuat saya yakin kalau filsafat butuh
nyali. Terutama di bab Eli-Eli Lama Sabakhtani, justru katanya, bukti cinta
kepada manusia adlaah dengan meninggalkan manusia, sebagaimana yang dialami
Yesus dan Ayub. Tuhan seperti itu, tidak akan lagi dipandang sebagai Tuhan yang
penyayang sebagaimana yang di-branding oleh
umat Kristiani selama ini.
Ketika membaca tafsir-tafsir liarnya,
terkadang saya merasa nurani saya dipukul benda tumpul. Tapi jangan-jangan, ini
juga sensasi yang dialami penganut pagan yang dikritik secara radikal oleh
Ibrahim, Musa, dan Muhammad dulu sekali itu? Memang sepertinya membingungkan,
kita seperti diejek karena selalu meyakini poci teh yang melayang di luar
angkasa seperti olok-olokan Richard Dawkins di buku God Delusion.
Saya merasa agak tersesat, tapi kan memang
itu efek berfilsafat, kalau merasa tidak tersesat, jangan-jangan kita masih tidak
bernyali untuk berfilsafat secara seradikal-radikalnya. Justru dalam
ketersesatan, kebenaran ditemukan secara spontan dan tak direncana, di luar
kategori-kategori yang dibikin oleh manusia untuk memahami dunia. Saya pun
membayangkan, jangan-jangan penemuan-penemuan dunia seperti Spanyol menemukan
emas Aztec atau penemuan dari Amerigo Vespucci atau Vasco de Gamma sebenarnya
adalah penemuan yang tak disengaja, yang mereka tahu, mereka hanya lagi
mengambang di atas ganas gelombang, sengaja tersesat ke wilayah tak terjamah,
ke terra incognita, tanpa tahu apa yang menghadang di seberang sana, dengan
demikian, untuk menemukan sesuatu yang sama sekali baru, kita mesti berani
tersesat. Demikian pula dalam wilayah pemikiran, demi menemukan sesuatu yang
sama sekali baru, kita mesti merasa tersesat di atas gelombang filsafat yang
ganas.
…
Selain soal penderitaan Kristiani tadi, ada
beberapa poin yang mencuri perhatian saya. Salah satunya soal azimat [fetish].
“… azimat adalah penjelmaan dari Kebohongan itu sendiri dan membuat kita bisa
menanggung kebenaran yang tak bisa dipikul.” Semisal meninggalnya seorang yang
kita sayangi, kita pun “mengubur” kematian itu dengan menggunakan azimat
sebagai perlambang kekuatan seolah-olah kita kuat menanggung beban kematian orang
tersayang yang hendak kita sangkal. Azimat membantu kita dengan kenyataan yang
buruk. Orang lain menggunakan uang sebagai azimat, yang lain menggunakan
kekuasaan, dan banyak lagi azimat jenis lain. Teman saya, demi menanggulangi
kesedihan terhadap mendiang ayah yang sudah mangkat, ia membawa pulang salah
satu kerikil yang terbaring di pusara bapaknya, seolah-olah itu adalah azimat
yang mampu menjadi secercah remedi bagi rindu yang tak akan pernah ditebus oleh
perjumpaan itu. Dalam psikologi, azimat barangkali merujuk ke fenomena bias
kognitif yang disebut dengan illusion of
kontrol (ilusi kendali).
Zizek juga membahas soal Holokaust. Apakah
ada yang dapat direhabilitasi dari permintaan ganti rugi masyarakat Yahudi atas
penderitaan yang mereka alami dalam tragedi Auzchwitz? Masyarakat yang dimaksud
tidak sudi menerima ganti rugi murah, meskipun kita juga tahu, ganti rugi yang
tinggi pula tidak membuat kedamaian mereka terbeli atau memutar kembali roda
waktu ke belakang. Zizek mengingatkan soal Lacan yang pernah mengatakan kalau
kegunaan awal uang adalah menjadi harga setara yang mustahil dari apa yang
TIDAK MEMILIKI HARGA, yaitu keinginan itu sendiri. Paradoks memang, ujar Zizek,
sebab dengan membayar ganti rugi para korban Holokaust kita tidak dibebaskan dari
rasa bersalah—malahan kita menjadi tahu benar kalau rasa bersalah itu tidak
mungkin dihapus.
Kembali lagi ke topik soal Kristianitas,
kita tahu, para arkeolog pernah menemukan kain kafan yang diduga menutupi wajah
Yesus yang mangkat, kafan itu disebut dengan Kafan Turin. Dari kafan Turin
tersebut, apabila memang itu kain yang sama yang mengatupi sang Kristus, kita
barangkali bisa melakukan rekonstruksi wajah lewat teknik cetak fotografis dari
kain tersebut, atau kita bisa meminta tolong para ahli bio-kimia untuk meneliti
DNA darah yang tersisa dari kain Turin, untuk mengetahui apa yang dikatakn DNA
tentang sang anak Tuhan? Di masa depan yang jauh, bisa saja ada kemungkinan
untuk mengkloning Kristus itu sendiri.
Yang paling merasa diserang dari fakta soal
kain Turin tersebut tentu saja institusi Gereja, mereka takut otoritas politik
keagamaan bakal guyah, sebagaimana Gereja sempat bersikeras untuk melawan
permintaan teknologi cloning. Kita yang tinggal di dunia global di mana
kekuatan agama bangkit sebagai salah satu pusaran kekuasaan sayap kanan bakal
kesulitan mewujudkan rekonstruksi genetik Yesus Kristus, apalagi mengkloning
Yesus sendiri. Kita dituduh tidak menghormati kepercayaan orang lain. Namun
oleh Zizek, kembali ia mengutip Lacan, tuduhan orang lain tidak menghormati
diri kita hanyalah eufemisme terselubung atau bahkan pengakuan secara langsung
di hadapan psikoanalisa bahwa diri kita penuh dengan kelemahan. Menghormati,
adalah tindakan performatif untuk mengakui kelemahan kaum Kristiani. Kelemahan
itu adalah kelemahan iman mereka: mereka takut mengakui kalau anak Tuhan bisa
dibangkitkan di luar kehendak Ilahiyah, mereka takut manusia yang mengkloning
Yesus Kristus bakal menjadi Tuhan Bapak yang baru, laboratorium menjadi Gereja
baru, dan Sains bakal didaulat sebagai agama baru.
0 Komentar