Study after Velazquez's Potrait of Pope Innocent X (1953) - Francis Bacon

 


Ini pertama kalinya saya membaca buku Zizek sampai selesai dan kesan yang tertinggal adalah kesan bagus, penuh gairah penasaran, rasa ingin tahu yang menuntut dari dalam mendesak saya untuk mengikuti pikiran-pikirannya lebih jauh. Buku yang saya baca berjudul On Belief, terbitan tahun 2001 namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia belum lama ini oleh penerbit Basa-Basi dengan judul “Tentang Kepercayaan Agama”.

 

Penuh dengan tafsir-tafsir mengejutkan dan liar. Pembalikan-pembalikan radikal Zizek tidak tanggung-tanggung, membacanya, seperti menghasut saya untuk lebih berani mempertanyakan hal-hal yang saya terima apa adanya selama ini. Zizek membuat saya yakin kalau filsafat butuh nyali. Terutama di bab Eli-Eli Lama Sabakhtani, justru katanya, bukti cinta kepada manusia adlaah dengan meninggalkan manusia, sebagaimana yang dialami Yesus dan Ayub. Tuhan seperti itu, tidak akan lagi dipandang sebagai Tuhan yang penyayang sebagaimana yang di-branding oleh umat Kristiani selama ini.

 

Ketika membaca tafsir-tafsir liarnya, terkadang saya merasa nurani saya dipukul benda tumpul. Tapi jangan-jangan, ini juga sensasi yang dialami penganut pagan yang dikritik secara radikal oleh Ibrahim, Musa, dan Muhammad dulu sekali itu? Memang sepertinya membingungkan, kita seperti diejek karena selalu meyakini poci teh yang melayang di luar angkasa seperti olok-olokan Richard Dawkins di buku God Delusion.

 

Saya merasa agak tersesat, tapi kan memang itu efek berfilsafat, kalau merasa tidak tersesat, jangan-jangan kita masih tidak bernyali untuk berfilsafat secara seradikal-radikalnya. Justru dalam ketersesatan, kebenaran ditemukan secara spontan dan tak direncana, di luar kategori-kategori yang dibikin oleh manusia untuk memahami dunia. Saya pun membayangkan, jangan-jangan penemuan-penemuan dunia seperti Spanyol menemukan emas Aztec atau penemuan dari Amerigo Vespucci atau Vasco de Gamma sebenarnya adalah penemuan yang tak disengaja, yang mereka tahu, mereka hanya lagi mengambang di atas ganas gelombang, sengaja tersesat ke wilayah tak terjamah, ke terra incognita, tanpa tahu apa yang menghadang di seberang sana, dengan demikian, untuk menemukan sesuatu yang sama sekali baru, kita mesti berani tersesat. Demikian pula dalam wilayah pemikiran, demi menemukan sesuatu yang sama sekali baru, kita mesti merasa tersesat di atas gelombang filsafat yang ganas.

 

 

Selain soal penderitaan Kristiani tadi, ada beberapa poin yang mencuri perhatian saya. Salah satunya soal azimat [fetish]. “… azimat adalah penjelmaan dari Kebohongan itu sendiri dan membuat kita bisa menanggung kebenaran yang tak bisa dipikul.” Semisal meninggalnya seorang yang kita sayangi, kita pun “mengubur” kematian itu dengan menggunakan azimat sebagai perlambang kekuatan seolah-olah kita kuat menanggung beban kematian orang tersayang yang hendak kita sangkal. Azimat membantu kita dengan kenyataan yang buruk. Orang lain menggunakan uang sebagai azimat, yang lain menggunakan kekuasaan, dan banyak lagi azimat jenis lain. Teman saya, demi menanggulangi kesedihan terhadap mendiang ayah yang sudah mangkat, ia membawa pulang salah satu kerikil yang terbaring di pusara bapaknya, seolah-olah itu adalah azimat yang mampu menjadi secercah remedi bagi rindu yang tak akan pernah ditebus oleh perjumpaan itu. Dalam psikologi, azimat barangkali merujuk ke fenomena bias kognitif yang disebut dengan illusion of kontrol (ilusi kendali).

 

Zizek juga membahas soal Holokaust. Apakah ada yang dapat direhabilitasi dari permintaan ganti rugi masyarakat Yahudi atas penderitaan yang mereka alami dalam tragedi Auzchwitz? Masyarakat yang dimaksud tidak sudi menerima ganti rugi murah, meskipun kita juga tahu, ganti rugi yang tinggi pula tidak membuat kedamaian mereka terbeli atau memutar kembali roda waktu ke belakang. Zizek mengingatkan soal Lacan yang pernah mengatakan kalau kegunaan awal uang adalah menjadi harga setara yang mustahil dari apa yang TIDAK MEMILIKI HARGA, yaitu keinginan itu sendiri. Paradoks memang, ujar Zizek, sebab dengan membayar ganti rugi para korban Holokaust kita tidak dibebaskan dari rasa bersalah—malahan kita menjadi tahu benar kalau rasa bersalah itu tidak mungkin dihapus.

 

Kembali lagi ke topik soal Kristianitas, kita tahu, para arkeolog pernah menemukan kain kafan yang diduga menutupi wajah Yesus yang mangkat, kafan itu disebut dengan Kafan Turin. Dari kafan Turin tersebut, apabila memang itu kain yang sama yang mengatupi sang Kristus, kita barangkali bisa melakukan rekonstruksi wajah lewat teknik cetak fotografis dari kain tersebut, atau kita bisa meminta tolong para ahli bio-kimia untuk meneliti DNA darah yang tersisa dari kain Turin, untuk mengetahui apa yang dikatakn DNA tentang sang anak Tuhan? Di masa depan yang jauh, bisa saja ada kemungkinan untuk mengkloning Kristus itu sendiri.

 

Yang paling merasa diserang dari fakta soal kain Turin tersebut tentu saja institusi Gereja, mereka takut otoritas politik keagamaan bakal guyah, sebagaimana Gereja sempat bersikeras untuk melawan permintaan teknologi cloning. Kita yang tinggal di dunia global di mana kekuatan agama bangkit sebagai salah satu pusaran kekuasaan sayap kanan bakal kesulitan mewujudkan rekonstruksi genetik Yesus Kristus, apalagi mengkloning Yesus sendiri. Kita dituduh tidak menghormati kepercayaan orang lain. Namun oleh Zizek, kembali ia mengutip Lacan, tuduhan orang lain tidak menghormati diri kita hanyalah eufemisme terselubung atau bahkan pengakuan secara langsung di hadapan psikoanalisa bahwa diri kita penuh dengan kelemahan. Menghormati, adalah tindakan performatif untuk mengakui kelemahan kaum Kristiani. Kelemahan itu adalah kelemahan iman mereka: mereka takut mengakui kalau anak Tuhan bisa dibangkitkan di luar kehendak Ilahiyah, mereka takut manusia yang mengkloning Yesus Kristus bakal menjadi Tuhan Bapak yang baru, laboratorium menjadi Gereja baru, dan Sains bakal didaulat sebagai agama baru.