Kita ini makhluk yang senang mengejar
sesuatu. Kita akan kejar sesuatu yang kita anggap bernilai istimewa di mata
kita. Katakanlah itu kecantikan, karir, kekayaan, popularitas, dan sebagainya.
Kita, sebagaimana kata Alain de Botton, memang senang diperhatikan sesuai
dengan posisi kita dalam stratifikasi sosial. Karena itulah kita akan kejar
impian kita meski sampai ke ujung dunia sekalipun.
Kita semua tinggal dalam dunia yang
mendewakan kebaikan material (material
goods). Saat-saat seperti ini, uang berada di pucuk hierarki nilai yang
hendak dituju. Kita semua tampak seperti materialistis yang serakah, tapi kata
Alain de Bottom, sebenarnya kita tidak gila materi, hanya saja masyarakat kita
mengaitkan kepuasan emosional dengan kepemilikan material. Singkatnya: bukan
materi yang kita kejar, tetapi ganjaran kepuasaan ketika memiliki materi itu.
Dengan jenaka Alain de Botton berkata:
bila kita melihat seseorang membawa Ferrari, jangan lihat orang tersebut
sebagai serakah. Berpikirlah bahwa dia seorang yang sangat rapuh dan sangat
memerlukan kasih sayang L; berempatilah kepada mereka, bukan
justru muak atau jijik. Hal yang sama harus kita lakukan kepada mereka yang
memamerkan barang-barang mewah atau pucuk prestasi khas materialistik di gerai
raksasa bernama media sosial.
Namun di samping persoalan usaha mendaki
pucuk karir dan pameran ketelanjangan di media sosial, persoalan lain umat
manusia modern ini adalah rasa iri yang destruktif dari dalam. Iri atau cemburu
atau dengki merupakan emosi dominan di zaman kiwari ini. Ini membingungkan
mengingat kita tidak iri kepada ratu Inggris atau pada presiden Jokowi tetapi
justru iri kepada teman dekat kita atau tetangga seumur hidup kita.
Di titik ini, saya teringat lelucon Boris
dan Igor. Kedua itu adalah petani Rusia miskin yang bertetangga dalam waktu
yang lama. Suatu hari, Boris memperoleh rezeki berupa satu ekor keledai. Karena
Igor tak memiliki keledai seperti Boris, Igor pun dengki lantas berdoa kepada
Tuhan: “Ya Tuhan, semoga keledai Boris raib!” Aneh sekali betapa Igor lebih
ingin tetangganya kehilangan rezeki ketimbang berdoa semoga dia punya keledai
yang sama dengan Boris. Orang memang pengen jadi setara meski itu artinya nasib
mereka sama-sama tidak beruntung (dalam Enlightenment
Now Pinker: kita lebih baik jadi komunis tak setara daripada kemungkinan
sama-sama kaya dalam atmosfer kapitalisme).
Kuncinya adalah kedekatan. Semakin kita
merasa akrab dan dekat dengan seseorang, semakin besar kemungkinan kita
terjerumus dalam kedengkian hati. Ini juga yang menyebabkan kita tidak iri
kepada ratu Inggris yang hidup mewah mentereng disertai dengan
otoritas-otoritas setinggi langit—bisa kita pahami dari istilah God save the queen.

0 Komentar