Baru saja saya melahap novel
Haruki Murakami, Tsuzuru Tazaki… novel
ketiga Murakami yang saya baca. Meski diam-diam saya agak terusik membaca buku
pria Jepang yang beberapa kali nyaris menyabet penghargaan nobel ini. Saya
percaya kata-katanya, bahwa dia tidak ingin membaca buku yang banyak orang baca
karena dia tak mau cara berpikirnya akan seragam dengan banyak orang. Sedangkan
buku-buku Murakami hari ini adalah salah satu buku yang paling banyak diburu.
Saya salah seorang yang penuh nafsu memburunya. Dan saya tampaknya punya cara
pikir yang seragam dengan banyak orang.
Bagaimanapun, membaca
Murakami adalah proses menyenangkan. Dia penuh dengan kesunyian yang tenang,
bukan kesunyian yang menggigil, meski terkadang diliputi aura hantu yang
mencekam kecil. Selalu ada nuansa magis yang ganjil dalam tulisannya. Pada buku
ketiga ini, saya mendapati satu hal yang sangat penting bila ingin membuat
novel: mimpi.
Buku ini memuat satu bab
khusus untuk mimpi sang tokoh utama. Di sana ia mimpi basah ditemani dua perempuan
yang merupakan karib dekatnya dari masa lalu yang jauh. Kedua perempuan itu
bersetubuh dengan tokoh utama. Yang ganjil adalah, bagian terakhir dari
persetubuhan itu terdapat seorang anak laki-laki (teman baru tokoh utama) yang
mengisap kemaluan sang tokoh hingga air mazinya tak tersisa.
Setidaknya karena saya sudah
dibekali buku Interpretation of Dream Sigmund
Freud, saya bisa sedikit menganilisis mimpi tokoh fiksi ini: bahwa dia punya
impuls seksual yang terpendam pada dua sahabat perempuannya dan dia punya
kecenderungan homoseksual yang terkubur dalam-dalam di alam bawah sadar.
Freud berkata, bahwa
setidaknya ada tiga jenis mimpi. Mimpi pertama berkisar tentang keinginan yang
tak tercapai di dunia nyata, maka mimpi akan mengamodir hal tersebut di alam
tak nyata. Kedua, karena tubuh kita terhimpit sesuatu, atau dengan kata lain,
terjadi stimulus eksternal dari luar tubuh saat kita tidur yang berpengaruh
dalam mimpi. Ketiga, mimpi adalah analogi bagi kondisi jiwa kita yang tak kita
sadari ketika dalam keadaan sadar. Cara ketiga inilah yang membuat
psikoanalisis merasa bisa mengatasi kondisi neurotik dengan melakukan tafsir
mimpi. Sebab mimpi merupakan perpanjangan tangan dari rahasia yang kita tutup
rapat-rapat dari celah jiwa kita yang tersembunyi, yang tak ingin kita biarkan
mengambang di laut kesadaran yang beku dan keras.
Mimpi sebagai cara
mengungkapkan karakter sang tokoh bukan hanya saya dapati di buku Harukami yang
satu ini, tapi juga di Dunia Kafka, buku
pertama Harukami yang saya lahap. Juga saya dapati di buku-buku Milan Kundera.
Tampaknya mimpi sangat dekat dengan karya-karya surealis, yang notabene dibilang-bilang
sebagai genre kedua novelis ini. (meskipun kita bisa berdebat, apakah Harukami
dan Kundera benar-benar seorang surrealis ataukah penganut realism magis. Dan
sepengalaman saya dalam diskusi semacam itu, seringkali kita tidak dapat
menemukan titik cerah yang pasti.)
Sehingga psikoanalisis tak
henti-hentinya menjadi alamat terima kasih dan rasa syukur para seniman dan
sastrawan atas kontribusinya memberikan ruang garapan atas mahakarya-mahakarya
baru. Sebuah dunia fantasi yang seperti lukisan Salvador Dali. Yang mana
jam-jam penunjuk waktu mencair di tanah yang kering dan tandus. Sebuah makna
memang mengalir dari karya-karya surealis, mengalir dengan sublime dan subtil,
dengan cara magis—benar-benar suatu cara penyampaian makna yang sama sekali
baru, yang telah berkembang sejak awal abad yang baru lewat.

0 Komentar