Rain Steam and Speed the Great Western Railway (1844) - Joseph Turner

 


Dari Lempuyangan ke Kiaracondong, kereta membawa seluruh waktu, ingatan, dan tubuh. Di dalam sini, aku melihat dunia begitu cepat berlalu. Nyaris seperti pergerakan kertas dalam proses pembuatan kartun konvensional. Aku menyadari ketika kita sedang maju segala sesuatu di sekitar kita terlihat seperti sedang mundur. Tidak. Hal-hal itu tidak mundur, mereka hanya tidak bergerak saja.

 

Keningku bersandar di kaca kereta. Kaca itu begitu tebal, barangkali kalau ada seseorang asing iseng menembak satu butir peluru, aku yakin tembakan itu tidak akan tembus dengan mudah. Tapi karena itulah barangkali kaca ini tampak transparan: aku bisa melihat dunia luar dan dunia di dalam kereta sekaligus, tergantung di sudut seperti mana aku mau memfokuskan sepasang bola mataku. Dengan situasi seperti itu aku kadang-kadang suka mencuri lirik tanpa perlu khawatir ketahuan kepada seseorang lewat perantara cermin itu.

 

Di kereta, keterampilan memposisikan kaki merupakan hal vital yang harus dipelajari. Karena tempat duduk penumpang saling berhadapan dengan jarak sekitar 10-20 cm saja, akan sangat tinggi probabilitas kaki kalian dengan kaki penumpang tak dikenal bersentuhan secara tak sengaja yang bisa-bisa membikin suasana menjadi canggung dan aneh. Biasanya bila aku terperosok ke situasi begitu, aku akan berpura-pura masa bodoh meskipun dalam hatiku diam-diam membatin dan bertanya-tanya kepada diriku apakah aku melakukan sesuatu yang keliru atau tidak ya? Persoalan keterampilan mengelola kaki ini benar-benar penting bagi saya mengingat saya pria dengan kaki yang cukup panjang. Cara yang sudah menjadi umum bagi penghuni kereta dengan jam terbang tinggi adalah membuka kaki sehingga membentuk sudut siku-siku yang di mana di tengah sudut itu satu kaki penumpang di kursi depan kita akan masuk, dan begitu pula sebaliknya. Metode demikian tidaklah membingungkan, cukup mudah dilakukan bahkan tanpa perlu mencari tutorialnya di youtube.

 

Untuk membunuh kejenuhan saya memilih baca buku. Tadi saya membaca buku puisi Norman Erickson Pasaribu, Sergius Mencari Bacchus, buku berisi tiga puluh tiga puisi padat makna serta kritik lembut tapi mengiris sesungguhnya. Saya ingat buku ini pernah dipuji Bernard Batubara sebagai buku puisi yang bagus sekali. Saya akhirnya benar-benar paham baru-baru ini. Puisi Norman benar-benar bagus, sublime, dan menohok. Di dalamnya terdapat pledoi atau gugatan atau keluhan kepada Tuhan, kepada ayahnya yang meneriaki ia banci di tengah keramaian, kepada sorot mata orang-orang yang telah bekerja sebagai palu hakim. Norman memang homoseksual, dan puisinya, membuat kita memahami bagaimana manusia bisa semenderita itu sampai tidak sedikit kawannya yang bunuh diri karena disalahkan oleh kesalahan yang tak pernah mereka pilih.

 

Saya mau menambahkan buku itu sebagai buku terbaik yang say abaca tahun ini, tapi bagaimana ya, itu kan buku yang pernah say abaca sebelumnya? Lebih baik saya berburu buku lain saja. Setelah itu saya mengambil buku Haruki Murakami, Kota Kucing. Seperti biasa, saya melihat tokoh murung yang seolah-olah emosinya tumpul sebagai pemeran utama. Kejadian-kejadian ganjil? Jangan ditanya: bukan Murakami kalau plot ceritanya normal.

 

 

Catatan Random ~ 26 Februari 2020