Dari Lempuyangan ke Kiaracondong, kereta
membawa seluruh waktu, ingatan, dan tubuh. Di dalam sini, aku melihat dunia
begitu cepat berlalu. Nyaris seperti pergerakan kertas dalam proses pembuatan
kartun konvensional. Aku menyadari ketika kita sedang maju segala sesuatu di
sekitar kita terlihat seperti sedang mundur. Tidak. Hal-hal itu tidak mundur,
mereka hanya tidak bergerak saja.
Keningku bersandar di kaca kereta. Kaca
itu begitu tebal, barangkali kalau ada seseorang asing iseng menembak satu
butir peluru, aku yakin tembakan itu tidak akan tembus dengan mudah. Tapi
karena itulah barangkali kaca ini tampak transparan: aku bisa melihat dunia
luar dan dunia di dalam kereta sekaligus, tergantung di sudut seperti mana aku
mau memfokuskan sepasang bola mataku. Dengan situasi seperti itu aku
kadang-kadang suka mencuri lirik tanpa perlu khawatir ketahuan kepada seseorang
lewat perantara cermin itu.
Di kereta, keterampilan memposisikan kaki
merupakan hal vital yang harus dipelajari. Karena tempat duduk penumpang saling
berhadapan dengan jarak sekitar 10-20 cm saja, akan sangat tinggi probabilitas
kaki kalian dengan kaki penumpang tak dikenal bersentuhan secara tak sengaja
yang bisa-bisa membikin suasana menjadi canggung dan aneh. Biasanya bila aku
terperosok ke situasi begitu, aku akan berpura-pura masa bodoh meskipun dalam
hatiku diam-diam membatin dan bertanya-tanya kepada diriku apakah aku melakukan
sesuatu yang keliru atau tidak ya? Persoalan keterampilan mengelola kaki ini
benar-benar penting bagi saya mengingat saya pria dengan kaki yang cukup
panjang. Cara yang sudah menjadi umum bagi penghuni kereta dengan jam terbang
tinggi adalah membuka kaki sehingga membentuk sudut siku-siku yang di mana di
tengah sudut itu satu kaki penumpang di kursi depan kita akan masuk, dan begitu
pula sebaliknya. Metode demikian tidaklah membingungkan, cukup mudah dilakukan
bahkan tanpa perlu mencari tutorialnya di youtube.
Untuk membunuh kejenuhan saya memilih baca
buku. Tadi saya membaca buku puisi Norman Erickson Pasaribu, Sergius Mencari Bacchus, buku berisi
tiga puluh tiga puisi padat makna serta kritik lembut tapi mengiris
sesungguhnya. Saya ingat buku ini pernah dipuji Bernard Batubara sebagai buku
puisi yang bagus sekali. Saya akhirnya benar-benar paham baru-baru ini. Puisi Norman
benar-benar bagus, sublime, dan menohok. Di dalamnya terdapat pledoi atau
gugatan atau keluhan kepada Tuhan, kepada ayahnya yang meneriaki ia banci di
tengah keramaian, kepada sorot mata orang-orang yang telah bekerja sebagai palu
hakim. Norman memang homoseksual, dan puisinya, membuat kita memahami bagaimana
manusia bisa semenderita itu sampai tidak sedikit kawannya yang bunuh diri
karena disalahkan oleh kesalahan yang tak pernah mereka pilih.
Saya mau menambahkan buku itu sebagai buku
terbaik yang say abaca tahun ini, tapi bagaimana ya, itu kan buku yang pernah
say abaca sebelumnya? Lebih baik saya berburu buku lain saja. Setelah itu saya
mengambil buku Haruki Murakami, Kota
Kucing. Seperti biasa, saya melihat tokoh murung yang seolah-olah emosinya
tumpul sebagai pemeran utama. Kejadian-kejadian ganjil? Jangan ditanya: bukan
Murakami kalau plot ceritanya normal.
Catatan Random ~ 26 Februari 2020
0 Komentar