Manusia
adalah makhluk percaya. Makhluk yang tak dapat hidup tanpa merengkuh
seperangkat nilai tertentu. Dan juga sebagai homo symbolicum, manusia membutuhkan symbol untuk mengutarakan
makna. Maka kita selalu menggunakan perantara symbol itu untuk mengungkapkan
nilai-nilai tersebut. Agar dapat dieksternalisasi oleh individu, dan dapat
diinternalisasi oleh masyarakat.
Setiap
masyarakat budaya selalu punya kehendak untuk mengutarakan gagasan mereka dalam
seperangkat proposisi. Kebutuhan untuk menjabarkan perangkat nilai tersebut
merupakan kebutuhan eksistensial. Dalam telaah antropologi, setiap masyarakat
berusaha memberi jawaban atas bentuk hubungan antara individu dan masyarakat
dan alam. Di Bolaang Mongondow, penelusuran eksistensial itu berujung sebagai Mototompiaan, Mototabian, bo Mototanoban.
Motto
daerah itu berada dalam dua alam sekaligus. Ia digali dari realitas social yang
dinamis, dan dibekukan sebagai pedoman untuk saling memanusiakan manusia dengan
cara-cara saling baku jaga, baku inga, dan baku sayang.
Motto
tersebut bukan sekadar kewajiban individual belaka. Sebab dalam kata-kata itu
tersirat sebuah hubungan resiprokal, sebuah makna yang mengarah pada kata kerja
yang melibatkan lebih dari satu orang. Dengan demikian, motto tersebut mesti
bekerja secara kolektif agar nilai tersebut bisa terungkap dari tataran
semantic menjadi tataran realitas.
Lalu
untuk mentransformasikan nilai tersebut, otomatis seseorang harus meninggalkan
dirinya sebagai individu dan merasakan arti penting eksistensinya dalam
kerumunan orang. Masyarakat Bolaang Mongondow adalah masyarakat yang
mengedepankan kepentingan social daripada kepentingan individu. Di mana di
tengah kepentingan social tersebut, diri sebagai individu melebur karena laku
altruistik. Dengan kata lain, masyarakat Bolaang Mongondow bukanlah individu
yang egoistik.
Tiga
hubungan yang dimaksud tadi bersifat timbal balik secara direksionalitas. Juga
bersifat cinta kasih secara normative. Cinta kasih, yakni saling mengingatkan,
melindungi, dan menyayangi, adalah nilai-nilai luhur yang mencirikan manusia
Bolaang Mongondow. Maka mereka yang justru mempraktikkan cara yang
berkebalikan, yakni saling melupakan, saling menjahati, dan saling menyakiti,
bukanlah manusia Bolaang Mongondow.
Cinta
kasih Bolaang Mongondow bukan sekadar cinta kasih yang feminism. Sebab maskulinitas
punya cara pandang cinta kasih yang ideal juga. Cinta bukan monopoli satu jenis
kelamin, atau satu ras, atau satu suku, atau satu bahasa. Cinta kasih adalah
perkara universal. Ketika dia dikooptasi oleh satu golongan, maka cinta
tersebut menjadi cinta tertutup, cinta yang totaliter.
Maka
etika Bolaang Mongondow bukan hanya berlaku secara particular, yakni tidak
hanya diterapkan oleh individu Bolaang Mongondow pada individu Bolaang Mongondow,
tidak hanya diterapkan pada satu wilayah geografis atau kelomok social
tertentu, tapi perlu digalakan kepada seluruh umat manusia.
Kendati
visi etis ini lahir dari Rahim budaya yang particular, tapi dimensi
aksiologisnya berkonsekuensi secara universal. Inilah perangkat nilai yang
bersifat perennial. Di manapun kita pergi, bisa saya kita menemukan masyarakat
Bolaang Mongondow kendati ia tak lahir dari geografi kita atau dari silsilah
raja-raja Mongondow. Bahkan sangat mungkin orang yang lahir dari geografi serta
silsilah raja-raja Mongondow bahkan tak mempraktikkan etika kasih sayang ini.
Dan saat itu status ontologis sebagai manusia Mongondow terbatalkan secara
internal.
Etika
Mongondow adalah dimensi esoteric, yakni dimensi nilai dan makna yang universal.
Ketika ia dilembagakan dalam sebuah ritus, ia lalu menjadi dimensi eksoteris
yang particular. Secara keseluruhan, bisa kita lihat ritus tiap masyarakat
budaya untuk mengaplikasikan perangkat nilai mereka amat beragam. Setiap budaya
memiliki falsafah dasarnya masing-masing, sebuah pandangan dunia yang
terlegitimasi oleh kehendak purwa. Tapi secara substansi, semuanya berkehendak
kea rah yang sama, yakni mewujudkan kebaikan. Yang berbeda hanyalah metode dan
cara untuk mewujudkan kebaikan sesuai dengan kebiasaan masing-masing budaya.
Di
sini kita mendapati bahwa perangkat nilai Bolaang MOngondow adalah aksioma
universal. Bila kita ingin melindungi, merawat ingatan, serta menyayangi
Bolaang Mongondow, cara yang sama harus berlaku pada sikap kita di hadapan
budaya di luar Bolaang Mongondow.

0 Komentar