“Lidah
hanya untuk menyampaikan kata-kata. Sedangkan kebenaran bisa disampaikan dengan
banyak cara…” (9)
Kemaluan
Mapata dihimpit dengan buku catatan lalu dijepit dengan kaki kursi. Tak mempan.
Tubuhnya dihajar sedemikian rupa oleh Ali Baba dan komplotannya. Taka da yang
mempan. Satu-satunya yang mampu melumpuhkan ilmu kebal Mapata adalah tebu yang
dibaluri jeruk nipis yang asam. Dengan itu, mereka potong lidah Mapata.
Satu-satunya
cara Mapata berkomunikasi dengan penculiknya adalah dengan tulisan. Kata-kata
telah lenyap dari mulut Mapata. Tapi, jauh dari dalam diri Mapata, ia tahu
bahwa lidah bisa dipenggal tapi tidak dengan kebenaran. Sebab “…kebenaran tidak
terbatas pada kata-kata.”
Penyekapan
Mapata berjalan selama berbulan-bulan lamanya. Di antara setiap penyiksaan yang
ia terima, sesungguhnya yang paling kejam adalah kesunyian. Dalam ruang sempit
dan pengap Mapata habiskan hari demi hari dengan bau tahi serta pesing kencing,
sebab taka da lobang atau kloset untuk ia buang hajat. Sela-sela itu selalu
ingatan hangat akan istri dan anaknya mengalir dalam kepala. Rasa rindu, jijik
dengan ruang sempit, serta was-was bila disiksa Alibaba silih berganti dalam
benaknya.
Ali
Baba adalah seorang penjahat yang sudah lama diincar polisi. Ia terkenal di
pasar gelap sebagai pelaku jual-beli organ illegal. Yang sering dijadikan
korban Ali Baba adalah orang-orang yang disinyalir mengancam negara serta
melanggar titah agama. Benda-benda yang tak dijual Ali Baba hanyalah otak,
hati, dan lidah. Sebab organ semacam itu dianggap tidak pantas diterima
kliennya.
Surat
terakhir Mapata pada Ali Baba ia meminta otak, hati, dan lidahnya jangan
dibakar. Ia minta otaknya dikirim pada sang istri, hatinya pada anak semata
wayang, lidahnya pada organisasi Tidak Ada Yang Suci Di Bawah Matahari Ini.
Namun dengan satu cara yang tak terduga, lidah Mapata justru dikirim ke
istrinya, Batari.
Barangkali
itu sedikit dari novel fiksi sejarah Tiba
Sebelum Berangkat oleh Faisal Oddang. Namun jangan terlalu cepat
berprasangka dengan judul yang terkesan teduh dan romantic itu, apa yang akan
Anda temui di dalamnya justru bertentangan. Yang ada adalah kisah-kisah tragis,
ironic, serta beberapa pasase yang dapat menyihir dahi kita mengerut serta
memualkan perut. Meski sebenarnya itulaH cara terbaik menyampaikan “kebenaran”
dalam cerita.
Faisal
Oddang, meskipun lahir di tahun yang sama dengan saya tapi dengan bulan
berbeda, mampu membuat saya terpancing dengan segudang prestati yang dia babat.
Pada tahun 2014 bukunya didaulat sebagai karya terbaik majalan kenamaan
nasional. Sedangkan tahun begitu, saya masih—dan mungkin sampai
sekarang—seorang anak ingusan yang tidak tahu menahu takaran nilai yang baik
dalam kebenaran. Tulisan saya masih bau kencur.
Lalu
hari ini, ketika membaca tulisannya, saya seolah menatap orang sebaya yang
bercerita jauh lebih banyak daripada apa yang selama ini saya mengerti. Saya
seolah takluk. Dia dapat memberi wahana yang agung bagi kebenaran yang ingin ia
suarakan. Dan sekali lagi, kebenaran yang tak terbatas pada sejulur benda
bernama lidah.


0 Komentar