Rui Sasaki - Self-Container No. 2

 

“Lidah hanya untuk menyampaikan kata-kata. Sedangkan kebenaran bisa disampaikan dengan banyak cara…” (9)

 

Kemaluan Mapata dihimpit dengan buku catatan lalu dijepit dengan kaki kursi. Tak mempan. Tubuhnya dihajar sedemikian rupa oleh Ali Baba dan komplotannya. Taka da yang mempan. Satu-satunya yang mampu melumpuhkan ilmu kebal Mapata adalah tebu yang dibaluri jeruk nipis yang asam. Dengan itu, mereka potong lidah Mapata.

 

Satu-satunya cara Mapata berkomunikasi dengan penculiknya adalah dengan tulisan. Kata-kata telah lenyap dari mulut Mapata. Tapi, jauh dari dalam diri Mapata, ia tahu bahwa lidah bisa dipenggal tapi tidak dengan kebenaran. Sebab “…kebenaran tidak terbatas pada kata-kata.”

 

Penyekapan Mapata berjalan selama berbulan-bulan lamanya. Di antara setiap penyiksaan yang ia terima, sesungguhnya yang paling kejam adalah kesunyian. Dalam ruang sempit dan pengap Mapata habiskan hari demi hari dengan bau tahi serta pesing kencing, sebab taka da lobang atau kloset untuk ia buang hajat. Sela-sela itu selalu ingatan hangat akan istri dan anaknya mengalir dalam kepala. Rasa rindu, jijik dengan ruang sempit, serta was-was bila disiksa Alibaba silih berganti dalam benaknya.

 

Ali Baba adalah seorang penjahat yang sudah lama diincar polisi. Ia terkenal di pasar gelap sebagai pelaku jual-beli organ illegal. Yang sering dijadikan korban Ali Baba adalah orang-orang yang disinyalir mengancam negara serta melanggar titah agama. Benda-benda yang tak dijual Ali Baba hanyalah otak, hati, dan lidah. Sebab organ semacam itu dianggap tidak pantas diterima kliennya.

 

Surat terakhir Mapata pada Ali Baba ia meminta otak, hati, dan lidahnya jangan dibakar. Ia minta otaknya dikirim pada sang istri, hatinya pada anak semata wayang, lidahnya pada organisasi Tidak Ada Yang Suci Di Bawah Matahari Ini. Namun dengan satu cara yang tak terduga, lidah Mapata justru dikirim ke istrinya, Batari.

 

Barangkali itu sedikit dari novel fiksi sejarah Tiba Sebelum Berangkat oleh Faisal Oddang. Namun jangan terlalu cepat berprasangka dengan judul yang terkesan teduh dan romantic itu, apa yang akan Anda temui di dalamnya justru bertentangan. Yang ada adalah kisah-kisah tragis, ironic, serta beberapa pasase yang dapat menyihir dahi kita mengerut serta memualkan perut. Meski sebenarnya itulaH cara terbaik menyampaikan “kebenaran” dalam cerita.

 

Faisal Oddang, meskipun lahir di tahun yang sama dengan saya tapi dengan bulan berbeda, mampu membuat saya terpancing dengan segudang prestati yang dia babat. Pada tahun 2014 bukunya didaulat sebagai karya terbaik majalan kenamaan nasional. Sedangkan tahun begitu, saya masih—dan mungkin sampai sekarang—seorang anak ingusan yang tidak tahu menahu takaran nilai yang baik dalam kebenaran. Tulisan saya masih bau kencur.

 

Lalu hari ini, ketika membaca tulisannya, saya seolah menatap orang sebaya yang bercerita jauh lebih banyak daripada apa yang selama ini saya mengerti. Saya seolah takluk. Dia dapat memberi wahana yang agung bagi kebenaran yang ingin ia suarakan. Dan sekali lagi, kebenaran yang tak terbatas pada sejulur benda bernama lidah.