newton-williamblake



Kant yang mengagumi Newton menghendaki metafisika bisa sejajar dengan ilmu eksak lain. Zaman itu, positivisme memang bergaung bebas dan luas di ranah ilmu pengetahuan. Kant pun memulai penyelidikannya atas akal budi murni lewat filsafat transendental. Filsafat transendental sendiri berbeda dengan epistemologi yang meneliti relasi pengetahuan dan objek. Transendentalisme sendiri hanya menyelidiki pengetahuan saja. Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana pengetahuan itu mungkin, bagaimana pengetahuan yang niscaya dan umum, bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin.

 

Sebelum menjawab itu, kita perlu tahu apa jenis-jenis putusan. Pertama, putusan analitis, yakni putusan yang tak menambahkan apa pun pada subjek. Semisal, "bujang adalah laki-laki yang tak menikah", "jomlo merupakan seseorang yang tak berpasangan", "manusia ialah makhkuk hidup", "ikan bisa berenang", dan semacamnya. Kedua, putusan sintesis, yakni putusan yang menambahkan predikat berupa pengalaman empiris, contohnya "ruang ini dingin", "air itu panas", "warna kuning itu terang sekali", "kopi ini manis", dan semacamnya. Putusan sintesis tak bisa menjadi landasan pengetahuan yang niscaya dan universal karena sifatnya empiris, partikular, dan bisa relatif untuk semua orang; sesuatu yang universal tak mungkin diturunkan dari sesuatu yang partikular.

 

Putusan ketiga ialah putusan sintesis apriori, yakni putusan yang menambahkan predikat yang bersifat apriori (tidak berdasarkan pengalaman) serta niscaya dan universal sifatnya. Contoh putusan sintesis apriori, "semua kejadian ada sebabnya", "benda kalau jatuh pasti ke bawah", "air mendidih kalau dipanaskan 100 derajat celcius", "manusia pasti akan mati", "satu tambah satu sama dengan dua", dan semacamnya. Putusan itu berlaku universal dan kita bisa menyimpulkannya tanpa perlu mengamati semua kejadian empiris di muka bumi.

 

Kant pun menduga bahwa terdapat struktur apriori yang memungkinkan terjadinya putusan sintesis apriori. Ini merupakan tugas akal budi murni untuk menjawabnya. Syahdan, struktur akal budi murni itu pun dijawab Kant, bahwa ia terdiri dari ruang dan waktu, 12 kategori, dan aku transendental. Dengan demikian, lokus penyelidikan Kant ialah struktur pikiran bukanlah objek pengetahuan seperti domain epistemologi. Soal selanjutnya ialah, bagaimana cara kerja pikiran hingga menghasilkan pengetahuan akan objek tertentu. Kant berkata, "harus ada kategori ini atau itu, sebab kalau tidak, pengetahuan tidak mungkin ada."

 

Keterberian objek empiris lalu diresepsi subjek penahu, proses resepsi itu melalui kategori apriori keindrawian (ruang dan waktu), lalu diproses instrumen pikiran (12 kategori), dsn semua itu disintesiskan oleh aku transendental. Setelahnya, sesuatu bisa disebut pengetahuan. Tanpa mekanisme dari struktur pikiran si subjek penahu, suatu objek indrawi tak dapat menjadi pengetahuan. Dari argumen Kant inilah, banyak orang berkata kalau Kant mendamaikan empirisme dan rasionalisme, meski intensi sesungguhnya Kant ialah menjadikan metafisika sejajar dengan ilmu pasti lain.

 

Pengetahuan transendental tentang struktur pengetahuan itulah yang disebut metafisika oleh Kant. Metafisika kemudian diredefinisi sebagai ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum akal budi murni. Metafisika hanya berkisar soal hukum-hukum pikiran subjek, bukan tentang objek. Metafisika tak diartikan secara etimologi sebagai ilmu yang melampaui fisika atau empirisme, melainkan ilmu yang memungkinkan pengetahuan tentang fisika. Apa yang memungkinkan pengetahuan tentang fisika itu tak berada dalam fisika, tapi di seberang (meta) yang fisika, yakni struktur pikiran manusia.