Kant yang mengagumi Newton menghendaki metafisika bisa
sejajar dengan ilmu eksak lain. Zaman itu, positivisme memang bergaung bebas
dan luas di ranah ilmu pengetahuan. Kant pun memulai penyelidikannya atas akal
budi murni lewat filsafat transendental. Filsafat transendental sendiri berbeda
dengan epistemologi yang meneliti relasi pengetahuan dan objek.
Transendentalisme sendiri hanya menyelidiki pengetahuan saja.
Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana pengetahuan
itu mungkin, bagaimana pengetahuan yang niscaya dan umum, bagaimana putusan
sintesis apriori itu mungkin.
Sebelum menjawab itu, kita perlu tahu apa jenis-jenis
putusan. Pertama, putusan analitis, yakni putusan yang tak menambahkan apa pun
pada subjek. Semisal, "bujang adalah laki-laki yang tak menikah",
"jomlo merupakan seseorang yang tak berpasangan", "manusia ialah
makhkuk hidup", "ikan bisa berenang", dan semacamnya. Kedua,
putusan sintesis, yakni putusan yang menambahkan predikat berupa pengalaman
empiris, contohnya "ruang ini dingin", "air itu panas",
"warna kuning itu terang sekali", "kopi ini manis", dan
semacamnya. Putusan sintesis tak bisa menjadi landasan pengetahuan yang niscaya
dan universal karena sifatnya empiris, partikular, dan bisa relatif untuk semua
orang; sesuatu yang universal tak mungkin diturunkan dari sesuatu yang
partikular.
Putusan ketiga ialah putusan sintesis apriori, yakni putusan
yang menambahkan predikat yang bersifat apriori (tidak berdasarkan pengalaman)
serta niscaya dan universal sifatnya. Contoh putusan sintesis apriori,
"semua kejadian ada sebabnya", "benda kalau jatuh pasti ke
bawah", "air mendidih kalau dipanaskan 100 derajat celcius",
"manusia pasti akan mati", "satu tambah satu sama dengan
dua", dan semacamnya. Putusan itu berlaku universal dan kita bisa
menyimpulkannya tanpa perlu mengamati semua kejadian empiris di muka bumi.
Kant pun menduga bahwa terdapat struktur apriori yang
memungkinkan terjadinya putusan sintesis apriori. Ini merupakan tugas akal budi
murni untuk menjawabnya. Syahdan, struktur akal budi murni itu pun dijawab
Kant, bahwa ia terdiri dari ruang dan waktu, 12 kategori, dan aku
transendental. Dengan demikian, lokus penyelidikan Kant ialah struktur pikiran
bukanlah objek pengetahuan seperti domain epistemologi. Soal selanjutnya ialah,
bagaimana cara kerja pikiran hingga menghasilkan pengetahuan akan objek
tertentu. Kant berkata, "harus ada kategori ini atau itu, sebab kalau
tidak, pengetahuan tidak mungkin ada."
Keterberian objek empiris lalu diresepsi subjek penahu,
proses resepsi itu melalui kategori apriori keindrawian (ruang dan waktu), lalu
diproses instrumen pikiran (12 kategori), dsn semua itu disintesiskan oleh aku
transendental. Setelahnya, sesuatu bisa disebut pengetahuan. Tanpa mekanisme
dari struktur pikiran si subjek penahu, suatu objek indrawi tak dapat menjadi
pengetahuan. Dari argumen Kant inilah, banyak orang berkata kalau Kant
mendamaikan empirisme dan rasionalisme, meski intensi sesungguhnya Kant ialah
menjadikan metafisika sejajar dengan ilmu pasti lain.
Pengetahuan transendental tentang struktur pengetahuan itulah
yang disebut metafisika oleh Kant. Metafisika kemudian diredefinisi sebagai
ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum akal budi murni. Metafisika hanya berkisar
soal hukum-hukum pikiran subjek, bukan tentang objek. Metafisika tak diartikan
secara etimologi sebagai ilmu yang melampaui fisika atau empirisme, melainkan
ilmu yang memungkinkan pengetahuan tentang fisika. Apa yang memungkinkan
pengetahuan tentang fisika itu tak berada dalam fisika, tapi di seberang (meta)
yang fisika, yakni struktur pikiran manusia.
0 Komentar