god-judging-adam William Blake


 

Bagaimanakah relasi antara seni dan agama? Di Indonesia pernah ada sebuah babak di mana pelaku industri film kesal habis-habisan kepada lembaga sensor yang dituduh mematikan kreatifitas seniman layar kaca. Paradoksnya, menurut Remotivi, lembaga sensor seperti ini justru tak berkutik dengan tayangan televisi yang kerap melanggar batas-batas etis layar kaca.

 

Alasan terbaik yang bisa kita temukan, barangkali, karena lembaga sensor kita masih terjerat oleh paradigm agama yang konvensional. Konten perfilman seperti seks akhirnya sering dipotong membabibuta.

 

Zaman renaisains silam, seni berkembang bersamaan dengan pemberontakan kepada doktrin agama yang mengharamkan nikmat tubuh sebagai symbol neraka. Muncul kemudian lukisan-lukisan Michael Angelo yang menampilkan sosok-sosok transenden yang penuh dengan ketelanjangan di sana-sini.

 

Dalam beberapa hal ketelanjangan bisa dijadikan metode protes, cara memberontak yang kerap terpakai. Kelompok feminisme radikal pernah membuat aksi topless (telanjang dada) di jalanan Amerika demi menuntut kesamaan hak mereka dengan laki-laki di dalam ruang public. Seorang kawan pernah menyampaikan, bahkan terdapat gerakan feminis yang menolak pakai softex dengan argumentasi bahwa tubuhnya adalah milik dia dan tidak ada siapapun yang boleh melarang hak itu. Meskipun saya sanggah juga, tapi kan kalau darah mentruasi itu jatuh ke trotoar, bukannya itu mengganggu property public? Dan mengganggu property public artinya mengganggu kenyamanan hak public.

 

Cara paling provokatif dan paling mengundang perhatian dalam agenda pemberontakan terhadap moralitas tradisi atau agama, memang adalah ketelanjangan. Dalam budaya Islam yang lebih protektif terhadap perempuan, telah banyak kita lihat negara, semisal Iran, yang perempuan-perempuannya berontak dengan melepas jilbab yang mereka kenakan. Bagi standarisasi Islam yang konservatif, laku demikian sudah cocok dianggap telanjang.

 

Dalam sebuah lirik lagu Ebiet G Ade, “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih …” kita tidak tahu sebenarnya, seberapa jelas batas antara ketelanjangan dan bersih itu? Bersih di sini sudah barang tentu tentang kesucian yang berkonotasi moralitas. Namun dalam lapangan konotasi yang sama, yakni moralitas, ketelanjangan juga bermakna negatif.

 

Barangkali yang perlu ktia lakukan sekarang adalah benar-benar membagi mana yang disebut dengan ketelenjangan yang bersih dan yang kotor. Untuk yang pertama, hal yang paling cepat terbetik dalam pikiran saya adalah ketelanjangan anak bayi yang baru saja terbit dari Rahim ibunda. Kesucian itu telah melekat dengan imajinasi atas kemurnian manusia baru yang baru saja lepas dari restu Tuhan.