Bagaimanakah relasi antara
seni dan agama? Di Indonesia pernah ada sebuah babak di mana pelaku industri
film kesal habis-habisan kepada lembaga sensor yang dituduh mematikan
kreatifitas seniman layar kaca. Paradoksnya, menurut Remotivi, lembaga sensor seperti ini justru tak berkutik dengan
tayangan televisi yang kerap melanggar batas-batas etis layar kaca.
Alasan terbaik yang bisa
kita temukan, barangkali, karena lembaga sensor kita masih terjerat oleh
paradigm agama yang konvensional. Konten perfilman seperti seks akhirnya sering
dipotong membabibuta.
Zaman renaisains silam, seni
berkembang bersamaan dengan pemberontakan kepada doktrin agama yang
mengharamkan nikmat tubuh sebagai symbol neraka. Muncul kemudian
lukisan-lukisan Michael Angelo yang menampilkan sosok-sosok transenden yang
penuh dengan ketelanjangan di sana-sini.
Dalam beberapa hal
ketelanjangan bisa dijadikan metode protes, cara memberontak yang kerap
terpakai. Kelompok feminisme radikal pernah membuat aksi topless (telanjang dada) di jalanan Amerika demi menuntut kesamaan
hak mereka dengan laki-laki di dalam ruang public. Seorang kawan pernah
menyampaikan, bahkan terdapat gerakan feminis yang menolak pakai softex dengan argumentasi bahwa tubuhnya
adalah milik dia dan tidak ada siapapun yang boleh melarang hak itu. Meskipun
saya sanggah juga, tapi kan kalau darah mentruasi itu jatuh ke trotoar,
bukannya itu mengganggu property public? Dan mengganggu property public artinya
mengganggu kenyamanan hak public.
Cara paling provokatif dan
paling mengundang perhatian dalam agenda pemberontakan terhadap moralitas
tradisi atau agama, memang adalah ketelanjangan. Dalam budaya Islam yang lebih
protektif terhadap perempuan, telah banyak kita lihat negara, semisal Iran,
yang perempuan-perempuannya berontak dengan melepas jilbab yang mereka kenakan.
Bagi standarisasi Islam yang konservatif, laku demikian sudah cocok dianggap
telanjang.
Dalam sebuah lirik lagu
Ebiet G Ade, “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih …” kita tidak tahu
sebenarnya, seberapa jelas batas antara ketelanjangan dan bersih itu? Bersih di
sini sudah barang tentu tentang kesucian yang berkonotasi moralitas. Namun
dalam lapangan konotasi yang sama, yakni moralitas, ketelanjangan juga bermakna
negatif.
Barangkali yang perlu ktia
lakukan sekarang adalah benar-benar membagi mana yang disebut dengan
ketelenjangan yang bersih dan yang kotor. Untuk yang pertama, hal yang paling
cepat terbetik dalam pikiran saya adalah ketelanjangan anak bayi yang baru saja
terbit dari Rahim ibunda. Kesucian itu telah melekat dengan imajinasi atas
kemurnian manusia baru yang baru saja lepas dari restu Tuhan.
0 Komentar