Knitted Glass Sculpture Cypress - Carol Milne


 

Pada mimpi ke berapa kita bisa menepati janji? Hari telah gelap sempurna, hantu dari hujan asam dan basah hutan telah tiba di kota. Hanya warna hijau kini cahaya yang tersisa. Kau dapati empat lapis dinding di sekitarmu meleleh seperti cair kandil dari makan malam yang tak dapat kau ingat. Lalu bintang menjelma taburan konfeti, seolah ada pesta menuju perayaan panjang rahasia malam. Cemasmu mengeras dalam cengkeraman jarak menuju pagi. Lalu waktu membisu. Ruang menggigil. Cemas memanggil. Kau dengar keloneng lonceng dari dongeng yang jauh: dari Utara—seperti suara yang memanggil. Derap-derap langkah kuda berdebar dari dinding jantungmu, seperti melepas gerak dalam ritme yang ganjil.

 

Apakah decak cicak dan kerik jangkrik memang berkerja sama dalam satu orkestrasi yang terencana? Kau tidak tahu. Yang kau mengerti, galaksi punya bahasanya sendiri. Bahasa yang selalu menyusup dalam algoritma nasib, dan takdir seperti mata dadu yang kau lempar ke rolet Rusia yang selalu paham arti pesta dan kejutan. Di atas buih bir kau dapati takdir memekarkan getir. Ada pahit yang mengalir ke seluruh pembuluh darahmu.

 

Warna demi warna menari di matamu. Matamu adalah panggung teater paling terang di muka bumi. Matahari dan kebenaran sejati manusia pernah singgah di sana sebagai air mata yang tak mau kau ingat asalnya. Pernah matamu jadi tempat sembunyi dari kekisruhan dunia yang kian sinting dari waktu ke waktu. Matamu sembunyi dari perang dan jerit senjata selepas dingin nyawa melayang. Matamu tak mau mengingat tragedi yang dimulai dari Kain dan Abel itu, awal mula sejarah dosa manusia.

 

Lalu waktu menjadi acak, kehilangan hitungannya sendiri, ruang berderak. Galaksi tiba-tiba menyala sebagai sinaps dalam otakmu dan debu-debu udara menyesaki paru-parumu. Segalanya menjadi bersih sempurna. Kau dapati kebenaran adalah kebisuan absolut. Tak terkata, tak terjamah. Kata-kata, tak seberat apa yang berusaha diupayakannya.