Pada mimpi ke berapa kita bisa menepati
janji? Hari telah gelap sempurna, hantu dari hujan asam dan basah hutan telah
tiba di kota. Hanya warna hijau kini cahaya yang tersisa. Kau dapati empat
lapis dinding di sekitarmu meleleh seperti cair kandil dari makan malam yang
tak dapat kau ingat. Lalu bintang menjelma taburan konfeti, seolah ada pesta
menuju perayaan panjang rahasia malam. Cemasmu mengeras dalam cengkeraman jarak
menuju pagi. Lalu waktu membisu. Ruang menggigil. Cemas memanggil. Kau dengar
keloneng lonceng dari dongeng yang jauh: dari Utara—seperti suara yang
memanggil. Derap-derap langkah kuda berdebar dari dinding jantungmu, seperti
melepas gerak dalam ritme yang ganjil.
Apakah decak cicak dan kerik jangkrik
memang berkerja sama dalam satu orkestrasi yang terencana? Kau tidak tahu. Yang
kau mengerti, galaksi punya bahasanya sendiri. Bahasa yang selalu menyusup
dalam algoritma nasib, dan takdir seperti mata dadu yang kau lempar ke rolet
Rusia yang selalu paham arti pesta dan kejutan. Di atas buih bir kau dapati
takdir memekarkan getir. Ada pahit yang mengalir ke seluruh pembuluh darahmu.
Warna demi warna menari di matamu. Matamu
adalah panggung teater paling terang di muka bumi. Matahari dan kebenaran
sejati manusia pernah singgah di sana sebagai air mata yang tak mau kau ingat
asalnya. Pernah matamu jadi tempat sembunyi dari kekisruhan dunia yang kian
sinting dari waktu ke waktu. Matamu sembunyi dari perang dan jerit senjata
selepas dingin nyawa melayang. Matamu tak mau mengingat tragedi yang dimulai
dari Kain dan Abel itu, awal mula sejarah dosa manusia.
Lalu waktu menjadi acak, kehilangan
hitungannya sendiri, ruang berderak. Galaksi tiba-tiba menyala sebagai sinaps
dalam otakmu dan debu-debu udara menyesaki paru-parumu. Segalanya menjadi bersih
sempurna. Kau dapati kebenaran adalah kebisuan absolut. Tak terkata, tak
terjamah. Kata-kata, tak seberat apa yang berusaha diupayakannya.
0 Komentar