Pagi ini saya luangkan waktu untuk jogging
setelah berabad-abad lamanya saya menunda. Selama jogging, saya teringat
beberapa mantra dari memoir Haruki Murakami tentang berlari. Saya merasa jauh
lebih terkoneksi dengan buku itu ketika berlari ketimbang saat lagi membacanya
di perjalanan pesawat atau bus yang kecepatannya jauh lebih unggul ketimbang
kecepatan saya berlari sekarang.
Seketika, pikiran saya mengalir; seolah
ada bendungan yang bocor. Sepanjang perjalanan, saya kemudian menimbang kembali
petualangan membaca saya: apa-apa saja pencapaian saya, apa rintangan saya, apa
manfaat yang berhasil saya serap darinya, dan apa yang perlu saya koreksi dan
telaah kembali? Lalu setelah saya timbang-timbang lagi, ternyata saya tidak
punya motivasi cukup jelas dan terorganisir soal membaca. Saya bahkan lupa
tujuan awal saya apa.
Awal petualangan membaca saya berangkat
dari rasa malu. Ketika SMP, saya dikritik habis-habisan oleh seorang senior di
depan kader yang saya rekrut. Saat itu, pikiran kekanak-kanakan saya yang belum
siap dengan diskusi terbuka dan setara membuat saya merasa dipermalukan. Lalu
saya berkomitmen untuk baca buku banyak-banyak, supaya saya punya segudang
argumentasi untuk mematahkan pendapat orang-orang seperti senior saya itu. Awal
mula saya membaca adalah takut dipermalukan untuk kedua kalinya.
Lama kelamaan, motif saya membaca mulai
bergeser. Semakin banyak buku yang saya baca, semakin saya bersyukur karena
stimulus berpikir dan berefleksi yang manfaatnya berlimpah untuk saya, dan
semakin motif dendam untuk mempermalukan senior saya di kemudian hari raib.
Namun ketika satu masalah selesai, masalah
lain tiba. Tumpukan buku yang saya baca rupanya lebih banyak saya jadikan
sebagai tameng ketika berada di hadapan seseorang maupun di tengah lingkaran
sosial. Saya tidak ada bedanya dengan seseorang yang memanfaatkan perhiasan
atau aksesoris atau gincu atau pupur atau pakaian atau make up demi validasi
orang lain. Saya sering menggunakan daftar buku yang dibaca demi mempersingkat
argumentasi karena banyak yang sudah saya lupa. Menyadari itu, saya merasa
terdesak untuk merombak kembali motif dan tujuan saya. Karena saya tidak mau
menyandarkan tujuan kepada sesuatu di eksternal diri saya (validasi orang
lain), karena itu tidak pasti (risiko terjerumus dalam sef-serving biases), tidak dapat dikendalikan, dan menyia-nyiakan
kemampuan independen saya untuk bahagia di atas kaki sendiri.
Alasan utama saya terpicu untuk merombak
kembali tujuan membaca saya adalah karena saya merasa sudah terlalu banyak membaca
tapi outcome dari hasil bacaan saya
terasa sangat kurang dan jauh dari ekspektasi awal saya. Saya pikir, untuk apa
banyak membaca tapi sedikit berpikir, sedikit merenung, sedikit memperkaya
imajinasi, sedikit sharing, dan
sedikit dalam mengintegrasikan isi kepala dan isi hati dan ucapan dan tindakan.
Padahal menurut saya, banyak membaca adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal
yang saya sebutkan tadi. Artinya, saya perlu mengamplifikasi kesempatan itu
yang menurut saya tidak maksimal selama ini. Lalu saya mengevaluasi kembali
petualangan membaca saya.
Setelah saya pikir-pikir, lebih baik Cuma
baca 1 buku tapi membuat kita 10x lebih berkembang (entah secara kognitif,
afektif, atau bahkan psikomotorik) daripada 10 buku tapi tidak menambah benefit
apa-apa terhadap diri saya maupun lingkungan sosial saya. Seperti kata Korsch,
lebih baik memaksimalkan yang minimal daripada hidup dengan prinsip
maksimalisme tapi keuntungannya bahkan jauh di bawah minimal. Saya kemudian
bertanya pada diri sendiri: Bagaimana memaksimalkan bacaan saya? Apakah arti
membaca? Bagaimana metode membaca yang lebih efektif dan efisien?
Setelah dipikir-pikir lagi, membaca itu
bukan sekadar melahap semua huruf di buku tanpa ada satu tanda baca yang
tersisa dari santapan mata kita. Saya telah berkali-kali membaca buku dari
tanda baca pertama sampai tanda baca terakhir, dan melihat kebiasaan membaca
saya yang surplus bacaan tapi defisit refleksi,
membantu saya untuk menyimpulkan bahwa buku yang selesai dibaca bukan
berarti buku itu sudah selesai direfleksikan atau bahasa teman-teman saya bukan
berarti sudah khattam. Lebih baik
bagi saya, membaca bagian paling penting, atau sedikit mengingat pelajaran
bahasa Indonesia SMP dulu, lebih fokus pada gagasan utama teks yang benar-benar
bermanfaat bagi saya secara personal daripada sesuatu yang memang tidak memberi
keuntungan apa-apa.
Belakangan ini, seusai menamatkan satu
buku, saya suka mencari tiga ulasan dari sumber berlainan dari buku terkait
yang say abaca. Itu membantu saya untuk lebih memahami bagian-bagian yang tidak
saya paham betul atau bahkan membantu saya menyadari bagian penting yang saya
lewatkan. Lalu saya sadar, saya bisa saja membaca ulasan (summary) tanpa baca buku yang dirujuk oleh ulasan itu, sebab bila
tujuannya adalah memahami intisari makna buku, bukankah sudah berhasil lewat
membaca ulasan? Tapi kalau begitu, saya berarti tidak punya integritas
intelektual. Konklusinya, kedepan saya akan membaca semampu saya ditambah
dengan penelusuran lebih lanjut lewat summary
orang-orang kemudian mencocokkan pengalaman di teks primer dan sekunder
satu sama lain. Pengecualian terjadi, apabila saya membaca demi tujuan
presentasi, ekspertasi, membuat buku, membuat ulasan, atau kepentingan pribadi
lain yang memang menuntut pemahaman komprehensif.
Evaluasi kedua saya, saya perlu meluangkan
lebih banyak waktu memetakan, menganalisis, dan mensintetis bacaan. Ini menjadi
proyeksi personal untuk saya, sebab saya punya kebiasaan melanjutkan satu buku
ke buku lain tepat seusai buku sebelumnya selesai. Tidak ada jeda, membaca
akhirnya terasa seperti marathon panjang kehidupan; Tidak ada kesempatan
mengendapkan informasi dan pengetahuan dari bacaan sebelumnya.
Merombak kembali kebiasaan membaca ini
menjadi hal penting bagi saya. Mengingat waktu saya terasa jauh lebih berharga
sekarang dan karena saya mulai menyadari bahwa lima tahun dan sepuluh tahun
kedepan saya akan menjadi apa yang saya tanam hari ini. Saya mulai merasakan
apa yang say abaca lima tahun lalu, dan saya pikir, saya akan mengalami apa
yang say abaca hari ini lima tahun depan. Waku kemudian terasa seperti
kompetisi lari. Tapi saya harus cari rute lari yang lebih cepat, sesuai dengan
tujuan hidup saya sendiri.
Jadi sekarang, apa tujuan saya dalam
membaca? Tujuan saya membaca sepertinya masih sama dengan kemarin-kemarin,
yakni agar lebih bisa memahami dunia. Membaca buku, bagi saya, adalah latihan
kecil atau sekadar simulasi dalam membaca realitas entah realitas internal
(pemahaman eksistensial atau interpersonal) dan realitas eksternal (pemahaman
fisika dan sosial). Dan kalau membaca tidak membuat saya bisa lebih memahami
realitas, lantas untuk apa saya membaca?
0 Komentar