Cause and Effect - Katherine Gray

 


Pagi ini saya luangkan waktu untuk jogging setelah berabad-abad lamanya saya menunda. Selama jogging, saya teringat beberapa mantra dari memoir Haruki Murakami tentang berlari. Saya merasa jauh lebih terkoneksi dengan buku itu ketika berlari ketimbang saat lagi membacanya di perjalanan pesawat atau bus yang kecepatannya jauh lebih unggul ketimbang kecepatan saya berlari sekarang.

 

Seketika, pikiran saya mengalir; seolah ada bendungan yang bocor. Sepanjang perjalanan, saya kemudian menimbang kembali petualangan membaca saya: apa-apa saja pencapaian saya, apa rintangan saya, apa manfaat yang berhasil saya serap darinya, dan apa yang perlu saya koreksi dan telaah kembali? Lalu setelah saya timbang-timbang lagi, ternyata saya tidak punya motivasi cukup jelas dan terorganisir soal membaca. Saya bahkan lupa tujuan awal saya apa.

 

Awal petualangan membaca saya berangkat dari rasa malu. Ketika SMP, saya dikritik habis-habisan oleh seorang senior di depan kader yang saya rekrut. Saat itu, pikiran kekanak-kanakan saya yang belum siap dengan diskusi terbuka dan setara membuat saya merasa dipermalukan. Lalu saya berkomitmen untuk baca buku banyak-banyak, supaya saya punya segudang argumentasi untuk mematahkan pendapat orang-orang seperti senior saya itu. Awal mula saya membaca adalah takut dipermalukan untuk kedua kalinya.

 

Lama kelamaan, motif saya membaca mulai bergeser. Semakin banyak buku yang saya baca, semakin saya bersyukur karena stimulus berpikir dan berefleksi yang manfaatnya berlimpah untuk saya, dan semakin motif dendam untuk mempermalukan senior saya di kemudian hari raib.

 

Namun ketika satu masalah selesai, masalah lain tiba. Tumpukan buku yang saya baca rupanya lebih banyak saya jadikan sebagai tameng ketika berada di hadapan seseorang maupun di tengah lingkaran sosial. Saya tidak ada bedanya dengan seseorang yang memanfaatkan perhiasan atau aksesoris atau gincu atau pupur atau pakaian atau make up demi validasi orang lain. Saya sering menggunakan daftar buku yang dibaca demi mempersingkat argumentasi karena banyak yang sudah saya lupa. Menyadari itu, saya merasa terdesak untuk merombak kembali motif dan tujuan saya. Karena saya tidak mau menyandarkan tujuan kepada sesuatu di eksternal diri saya (validasi orang lain), karena itu tidak pasti (risiko terjerumus dalam sef-serving biases), tidak dapat dikendalikan, dan menyia-nyiakan kemampuan independen saya untuk bahagia di atas kaki sendiri.

 

Alasan utama saya terpicu untuk merombak kembali tujuan membaca saya adalah karena saya merasa sudah terlalu banyak membaca tapi outcome dari hasil bacaan saya terasa sangat kurang dan jauh dari ekspektasi awal saya. Saya pikir, untuk apa banyak membaca tapi sedikit berpikir, sedikit merenung, sedikit memperkaya imajinasi, sedikit sharing, dan sedikit dalam mengintegrasikan isi kepala dan isi hati dan ucapan dan tindakan. Padahal menurut saya, banyak membaca adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi. Artinya, saya perlu mengamplifikasi kesempatan itu yang menurut saya tidak maksimal selama ini. Lalu saya mengevaluasi kembali petualangan membaca saya.

 

Setelah saya pikir-pikir, lebih baik Cuma baca 1 buku tapi membuat kita 10x lebih berkembang (entah secara kognitif, afektif, atau bahkan psikomotorik) daripada 10 buku tapi tidak menambah benefit apa-apa terhadap diri saya maupun lingkungan sosial saya. Seperti kata Korsch, lebih baik memaksimalkan yang minimal daripada hidup dengan prinsip maksimalisme tapi keuntungannya bahkan jauh di bawah minimal. Saya kemudian bertanya pada diri sendiri: Bagaimana memaksimalkan bacaan saya? Apakah arti membaca? Bagaimana metode membaca yang lebih efektif dan efisien?

 

Setelah dipikir-pikir lagi, membaca itu bukan sekadar melahap semua huruf di buku tanpa ada satu tanda baca yang tersisa dari santapan mata kita. Saya telah berkali-kali membaca buku dari tanda baca pertama sampai tanda baca terakhir, dan melihat kebiasaan membaca saya yang surplus bacaan tapi defisit refleksi,  membantu saya untuk menyimpulkan bahwa buku yang selesai dibaca bukan berarti buku itu sudah selesai direfleksikan atau bahasa teman-teman saya bukan berarti sudah khattam. Lebih baik bagi saya, membaca bagian paling penting, atau sedikit mengingat pelajaran bahasa Indonesia SMP dulu, lebih fokus pada gagasan utama teks yang benar-benar bermanfaat bagi saya secara personal daripada sesuatu yang memang tidak memberi keuntungan apa-apa.

 

Belakangan ini, seusai menamatkan satu buku, saya suka mencari tiga ulasan dari sumber berlainan dari buku terkait yang say abaca. Itu membantu saya untuk lebih memahami bagian-bagian yang tidak saya paham betul atau bahkan membantu saya menyadari bagian penting yang saya lewatkan. Lalu saya sadar, saya bisa saja membaca ulasan (summary) tanpa baca buku yang dirujuk oleh ulasan itu, sebab bila tujuannya adalah memahami intisari makna buku, bukankah sudah berhasil lewat membaca ulasan? Tapi kalau begitu, saya berarti tidak punya integritas intelektual. Konklusinya, kedepan saya akan membaca semampu saya ditambah dengan penelusuran lebih lanjut lewat summary orang-orang kemudian mencocokkan pengalaman di teks primer dan sekunder satu sama lain. Pengecualian terjadi, apabila saya membaca demi tujuan presentasi, ekspertasi, membuat buku, membuat ulasan, atau kepentingan pribadi lain yang memang menuntut pemahaman komprehensif.

 

Evaluasi kedua saya, saya perlu meluangkan lebih banyak waktu memetakan, menganalisis, dan mensintetis bacaan. Ini menjadi proyeksi personal untuk saya, sebab saya punya kebiasaan melanjutkan satu buku ke buku lain tepat seusai buku sebelumnya selesai. Tidak ada jeda, membaca akhirnya terasa seperti marathon panjang kehidupan; Tidak ada kesempatan mengendapkan informasi dan pengetahuan dari bacaan sebelumnya.

 

Merombak kembali kebiasaan membaca ini menjadi hal penting bagi saya. Mengingat waktu saya terasa jauh lebih berharga sekarang dan karena saya mulai menyadari bahwa lima tahun dan sepuluh tahun kedepan saya akan menjadi apa yang saya tanam hari ini. Saya mulai merasakan apa yang say abaca lima tahun lalu, dan saya pikir, saya akan mengalami apa yang say abaca hari ini lima tahun depan. Waku kemudian terasa seperti kompetisi lari. Tapi saya harus cari rute lari yang lebih cepat, sesuai dengan tujuan hidup saya sendiri.

 

Jadi sekarang, apa tujuan saya dalam membaca? Tujuan saya membaca sepertinya masih sama dengan kemarin-kemarin, yakni agar lebih bisa memahami dunia. Membaca buku, bagi saya, adalah latihan kecil atau sekadar simulasi dalam membaca realitas entah realitas internal (pemahaman eksistensial atau interpersonal) dan realitas eksternal (pemahaman fisika dan sosial). Dan kalau membaca tidak membuat saya bisa lebih memahami realitas, lantas untuk apa saya membaca?