when-the-morning-stars-sang-together-1820.jpg William Blake


 

Pengalaman beragama pertama saya tumbuh di Sinindian, kelurahan kecil yang terselip di tengah-tengah kota Kotamobagu. Masjid kami sederhana tapi penuh dengan orang-orang ramah. Motivasi saya ke langgar untuk bermain-main dengan teman-teman sebaya. Teman-teman sekelas sering berkumpul di belakang shaf masjid. Kami suka memperhatikan orang-orang dewasa yang menunduk selepas takbir bergema dari depan. Kami, barisan anak-anak di belakang, tidak seperti mereka yang tampak fokus, kepala kami geleng-geleng kesana-kemari. Dalam batin saya, orang dewasa sungguh membosankan. Mumpung lagi berkumpul ramai-ramai begini, kenapa tidak bermain saja?

 

Kami Cuma ceikikan melihat orang-orang dewasa terdiam, seperti sedang pura-pura menjadi patung. Ketika mantera pertama mencapai titik, tiba-tiba seisi ruangan penuh oleh kata “Amin”. Kami ikut-ikutan dengan semangat empat lima: “Aaaaaaaaaaaammmmmiiiiiiin.”

 

Ketika rukuk dan sujud, kami memperhatikan dengan cermat apakah telapak kaki orang-orang di depan kami kotor atau tidak, atau apakah celana mereka agak melorot atau tidak. Bila kebetulan melorot, kami akhirnya punya cukup lelucon menertawai belahan pantat orang asing yang memalukan. Cukup satu kejadian sepele bisa membuat tawa kecil melepaskan diri dari belakang barisan. Misalnya pernah satu waktu kami menunjuk-nunjuk orang tua yang diganggu oleh nyamuk. Tangannya kirinya dilepaskan dari dada, lalu mengusir-ngusir vampire kecil itu. Kami terbahak-bahak karenanya.

 

Orang yang sering diusik nyamuk itu kami juluki Paman Berperut Bulat. Paman itu juga mengetahui kami sering melihat tingkahnya. Kadang biarpun taka da nyamuk, tangannya tetap kebas-kebasan di udara. Kadang-kadang, di jeda antara satu tarawih dan tarawih lain, ia pura-pura tertidur dan kaget dengan teriakan para makmum. Kami tertawa. Paman Beperut Bulat melirik kami, lalu tersenyum tipis.

 

Sayangnya tidak semua orang yang seramah Paman Berperut Bulat. Suatu ketika, saya pernah ketawa tak terkendali di rakaat akhir salat Isya. Mungkin Karena merasa sangat terganggu, bapak-bapak yang kebetulan salat di samping saya memukul pundak saya, ia menatap saya dengan mata nyalang seperti saya melakukan hal yang tak senonoh. Saya langsung terdiam. Seisi masjid menengok kea rah saya. Saya merasa ditelanjangi saat itu. Saya ketakutan, dan sangat malu. Saya takut teman-teman saya menjauhi saya karena masalah ini. Lalu sampai doa terakhir dirapalkan imam, saya hanya diam seribu bahasa.

 

Besok harinya, saya tidak pergi tarawih. Saya bolos tarawih beberapa kali, sampai saya pusing bagaimana menjiplak tanda tangan ustad di buku Ramadan saya. Saya baru berani ke masjid lagi sekitar seminggu kemudian. Itu pun saya sembunyi-sembunyi. Saya lebih hati-hati bermain dengan teman-teman saya. Setiap kali mau ketawa, saya merasa punggung saya mau dihantam oleh seseorang. Saya tidak lagi terlalu menyukai bercanda di masjid. Belakangan ini saya menyadari, sejak insiden itu, saya mulai lebih jarang ke masjid. Biasanya saya ke masjid tiap ada salat. Sampai-sampai saya sering diomongkan tetangga karena katanya sering ke masjid. Saya senang ibu saya membicarakn itu dengan bangga kepada saya. Namun setelah kejadian naas tersebut, saya lebih jarang ke masjid. Kalaupun ke masjid paling hanya salat Jumat.

 

Beberapa tahun kemudian, saya tidak ingat persis usia ke berapa, mungkin saat itu saya sudah SMA. Saya mulai rutin kembali salat di masjid. Tapi biasanya salat Magrib atau Isya atau dua-duanya. Saya sering berjlaan bersama kedua sepupu saya ke sana. Kedua sepupu saya itu kaka beradik. Setelah salat magrib, biasanya mereka berdua menetap untuk ikut belajar mengaji Quran dengan ustad yang berjaga. Pada mulanya, semua baik-baik saja. Sampai suatu ketika, sepupu saya yang masih kecil itu, ia bahkan belum SD, bermain-main dengan megapon masjid. Kalau saya tidak salah ingat, dia menyanyi lagu Peterpan saat itu. Spontan ustad merenggut megapon, memarahi anak itu dengan sangat garang. Sekilas, saya ingat mata nyalang serigala orang yang pernah memarahi saya di tarawih silam. Ingatan itu membuat saya ciut, lidah saya kecut.

 

Seusai insiden itu, sepupu saya tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di masjid Sinindian, sehingat saya. Ketika memasuki SD, ia minta dipindahkan ke kampung halaman mereka di Bolaang Mongondow Timur. Barulah ketika SMA ia berani pindah lagi ke Sinindian.

 

TIRANI MASA LALU

 

Manusia adalah makhluk yang dibentuk oleh waktu. Perangai kita hari ini adalah hasil kalkulasi penolakaan dan penerimaan kita atas diri kita di masa lalu. Setiap peristiwa paling emosional dalam hidup kita adalah momentum merevisi kembali narasi kehidupan kita, mencari bagian yang harus dibuang, dan mencari celah untuk menambahkan satu nilai hidup baru.

 

Kedewaasaan kita adalah produk pengalaman masa kanak-kanak. Rasa keberhasilan dan akumulasi kesedihan menentukan bagaimana kita mau merespon suatu kejadian di masa depan. Bagi beberapa orang, merasa diasingkan atau dipermalukan di masjid ketika kanak-kanak membuat mereka bukan hanya menyimpan ingatan buruk soal perilaku mereka, tapi juga ingatan buruk di mana perilaku mereka itu terjadi. Orang akan menghindari tempat yang membuat mereka ingat bahwa mereka pernah sedih di masa lalu.

 

Kita memang tidak sepenuhnya bebas oleh karenaya. Kita disantroni oleh tirani yang disebut dengan tirani masa lalu, tirani sejarah. Beberapa orang barangkali akan mengangkat pengalaman traumatis mereka di masjid sebagai pembelajaran, tapi bagaimana dengan yang tidak mampu melakukan itu atau lingkungan sosialnya tidak mendukung mereka untuk mengambil pelajaran dari kejadian memalukan dan merevisi kembali cara berlaku di kemudian hari? Sungguh hal yang tak mengenakan bukan.