Pengalaman beragama pertama
saya tumbuh di Sinindian, kelurahan kecil yang terselip di tengah-tengah kota
Kotamobagu. Masjid kami sederhana tapi penuh dengan orang-orang ramah. Motivasi
saya ke langgar untuk bermain-main dengan teman-teman sebaya. Teman-teman
sekelas sering berkumpul di belakang shaf masjid. Kami suka memperhatikan
orang-orang dewasa yang menunduk selepas takbir bergema dari depan. Kami,
barisan anak-anak di belakang, tidak seperti mereka yang tampak fokus, kepala
kami geleng-geleng kesana-kemari. Dalam batin saya, orang dewasa sungguh membosankan. Mumpung lagi berkumpul ramai-ramai
begini, kenapa tidak bermain saja?
Kami Cuma ceikikan melihat
orang-orang dewasa terdiam, seperti sedang pura-pura menjadi patung. Ketika
mantera pertama mencapai titik, tiba-tiba seisi ruangan penuh oleh kata “Amin”.
Kami ikut-ikutan dengan semangat empat lima: “Aaaaaaaaaaaammmmmiiiiiiin.”
Ketika rukuk dan sujud, kami
memperhatikan dengan cermat apakah telapak kaki orang-orang di depan kami kotor
atau tidak, atau apakah celana mereka agak melorot atau tidak. Bila kebetulan
melorot, kami akhirnya punya cukup lelucon menertawai belahan pantat orang
asing yang memalukan. Cukup satu kejadian sepele bisa membuat tawa kecil
melepaskan diri dari belakang barisan. Misalnya pernah satu waktu kami
menunjuk-nunjuk orang tua yang diganggu oleh nyamuk. Tangannya kirinya
dilepaskan dari dada, lalu mengusir-ngusir vampire kecil itu. Kami
terbahak-bahak karenanya.
Orang yang sering diusik
nyamuk itu kami juluki Paman Berperut Bulat. Paman itu juga mengetahui kami
sering melihat tingkahnya. Kadang biarpun taka da nyamuk, tangannya tetap
kebas-kebasan di udara. Kadang-kadang, di jeda antara satu tarawih dan tarawih
lain, ia pura-pura tertidur dan kaget dengan teriakan para makmum. Kami
tertawa. Paman Beperut Bulat melirik kami, lalu tersenyum tipis.
Sayangnya tidak semua orang
yang seramah Paman Berperut Bulat. Suatu ketika, saya pernah ketawa tak
terkendali di rakaat akhir salat Isya. Mungkin Karena merasa sangat terganggu,
bapak-bapak yang kebetulan salat di samping saya memukul pundak saya, ia
menatap saya dengan mata nyalang seperti saya melakukan hal yang tak senonoh.
Saya langsung terdiam. Seisi masjid menengok kea rah saya. Saya merasa
ditelanjangi saat itu. Saya ketakutan, dan sangat malu. Saya takut teman-teman
saya menjauhi saya karena masalah ini. Lalu sampai doa terakhir dirapalkan
imam, saya hanya diam seribu bahasa.
Besok harinya, saya tidak
pergi tarawih. Saya bolos tarawih beberapa kali, sampai saya pusing bagaimana
menjiplak tanda tangan ustad di buku Ramadan saya. Saya baru berani ke masjid
lagi sekitar seminggu kemudian. Itu pun saya sembunyi-sembunyi. Saya lebih
hati-hati bermain dengan teman-teman saya. Setiap kali mau ketawa, saya merasa
punggung saya mau dihantam oleh seseorang. Saya tidak lagi terlalu menyukai
bercanda di masjid. Belakangan ini saya menyadari, sejak insiden itu, saya
mulai lebih jarang ke masjid. Biasanya saya ke masjid tiap ada salat.
Sampai-sampai saya sering diomongkan tetangga karena katanya sering ke masjid.
Saya senang ibu saya membicarakn itu dengan bangga kepada saya. Namun setelah
kejadian naas tersebut, saya lebih jarang ke masjid. Kalaupun ke masjid paling
hanya salat Jumat.
Beberapa tahun kemudian,
saya tidak ingat persis usia ke berapa, mungkin saat itu saya sudah SMA. Saya
mulai rutin kembali salat di masjid. Tapi biasanya salat Magrib atau Isya atau
dua-duanya. Saya sering berjlaan bersama kedua sepupu saya ke sana. Kedua
sepupu saya itu kaka beradik. Setelah salat magrib, biasanya mereka berdua
menetap untuk ikut belajar mengaji Quran dengan ustad yang berjaga. Pada
mulanya, semua baik-baik saja. Sampai suatu ketika, sepupu saya yang masih
kecil itu, ia bahkan belum SD, bermain-main dengan megapon masjid. Kalau saya
tidak salah ingat, dia menyanyi lagu Peterpan saat itu. Spontan ustad merenggut
megapon, memarahi anak itu dengan sangat garang. Sekilas, saya ingat mata
nyalang serigala orang yang pernah memarahi saya di tarawih silam. Ingatan itu
membuat saya ciut, lidah saya kecut.
Seusai insiden itu, sepupu
saya tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di masjid Sinindian, sehingat saya.
Ketika memasuki SD, ia minta dipindahkan ke kampung halaman mereka di Bolaang
Mongondow Timur. Barulah ketika SMA ia berani pindah lagi ke Sinindian.
TIRANI
MASA LALU
Manusia adalah makhluk yang
dibentuk oleh waktu. Perangai kita hari ini adalah hasil kalkulasi penolakaan
dan penerimaan kita atas diri kita di masa lalu. Setiap peristiwa paling
emosional dalam hidup kita adalah momentum merevisi kembali narasi kehidupan
kita, mencari bagian yang harus dibuang, dan mencari celah untuk menambahkan
satu nilai hidup baru.
Kedewaasaan kita adalah
produk pengalaman masa kanak-kanak. Rasa keberhasilan dan akumulasi kesedihan
menentukan bagaimana kita mau merespon suatu kejadian di masa depan. Bagi
beberapa orang, merasa diasingkan atau dipermalukan di masjid ketika
kanak-kanak membuat mereka bukan hanya menyimpan ingatan buruk soal perilaku
mereka, tapi juga ingatan buruk di mana perilaku mereka itu terjadi. Orang akan
menghindari tempat yang membuat mereka ingat bahwa mereka pernah sedih di masa
lalu.
Kita memang tidak sepenuhnya
bebas oleh karenaya. Kita disantroni oleh tirani yang disebut dengan tirani
masa lalu, tirani sejarah. Beberapa orang barangkali akan mengangkat pengalaman
traumatis mereka di masjid sebagai pembelajaran, tapi bagaimana dengan yang
tidak mampu melakukan itu atau lingkungan sosialnya tidak mendukung mereka
untuk mengambil pelajaran dari kejadian memalukan dan merevisi kembali cara
berlaku di kemudian hari? Sungguh hal yang tak mengenakan bukan.
0 Komentar