hope-1886 - George Frederick Watts


 

Kucing punya kemampuan memahami kondisi jiwa seseorang. Semakin lembut dan halus perasaan jiwa seseorang, semakin ia akan mendekat. Saya tidak tahu dari mana teori ini berasal. Tapi, saya hanya mengamatinya. Saya menyaksikan kucing putih yang bermain dari satu pintu ke pintu lain dari seantero indekos saya. Lalu menjadi tantangan tersendiri untuk saya, untuk membongkar misteri rahasia ini.

 

Lalu suasana melembap. Kesepian menebal beriringan dengan intonasi suara yang serak, tipis, dan meredam ruang melesak ke arah telinga saya. Teman saya, namanya, F, sedang tidak baik-baik saja saat itu.

 

Dia datang dengan kedua bahu yang nyaris jatuh ke lantai. Kulitnya masih sepucat dulu. Dengan suara serak seolah sudah bertahun-tahun tidak bicara, dia angkat suara. Teman saya, adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak SD, dia selalu memburu validasi dari orangtuanya. Terutama dari sang ayah. F adalah salah satu anak paling jenius yang saya kenal, cara melihatya sederhana, mereka punya ambisi yang kuat tapi pemalas. Semua telah dia bikin. Menjadi juara umum di kelas berkali-kali. Tapi satu pun sanjungan dari orangtua tidak hadir di telinganya.

 

F tidak tahu bagaimana menjadi anak sulung yang baik. Itu pengalaman seumur hidup dia yang akan terus dia pelajari sampai akhir waktu. Kedua orangtuanya tidak pernah memberi pujian atau memuja namanya sebagai seorang anak. Itu yang dia rasa. Satu-satunya pujian dan kasih sayang yang dia mengerti dari orangtua, hanya lewat kehangatan yang justru diberikan kepada adik-adiknya.

 

F tidak tahu apakah dia tengah dididik sebagai anak sulung yang merupakan penyanggah keluarga? Tapi F pengin, walau sekali saja, pencapaian dan keinginannya sebagai anak ayah dan ibu dihitung dan didukung. Itu saja. Dia tidak mau ibunya terus-terusan membandingkan dia dengan anak tetangga. Dia tidak mau dicap sebagai manusia yang gagal total. Hanya butuh sedikit saja kebanggaan. Dan itu sudah lebih dari cukup.

 

Pernah suatu ketika, ketika lagi nangkring, seseorang kawan berkata bahwa F punya peluang besar untuk mencapai sesuatu. Adik kandungnya sendiri, dengan sorot mata tajam dan bibir tersunggi meremehkan kakak sulungnya. “Cih, dia? Mana bisa?” Tidak ada yang lebih sakit daripada kejadian itu. Dia bisa saja diremehkan orangtua kandung, tapi oleh adik perempuannya sendiri? Itu hal yang terlalu berat untuk ditanggung. Saya akhirnya tahu dari mana asal muasal bahunya bisa semurung itu ketika datang.

 

Teman saya, kini kelegaannya mulai mereda. Selama ini dia merasa asam lambung seperti mencemooh kehidupan jiwanya yang selalu murung. Kini, pelan-pelan psikosomatik itu raib. Kuncinya sederhana: kejujuran untuk berbagi.

 

F memang anak yang kerap menarik diri dari kehidupan sosial. Dan saya merasa tersanjung dan terhormat untuk menjadi alamat kisah pribadinya. Minggu lalu dia akhirnya terbang pulang. Sudah saatnya kedua orangtuanya tahu apa yang dia rasakan. Bila rasa sakit dan kesedihan rela dia tanggung sebagai anak pertama, maka fungsi keluarga adalah menguranginya. Karena itu yang menggenapi makna hidup kita dari bumi yang tak pernah sia-sia ini.

 

~ 14 Juli 2020