Kucing punya kemampuan memahami kondisi
jiwa seseorang. Semakin lembut dan halus perasaan jiwa seseorang, semakin ia
akan mendekat. Saya tidak tahu dari mana teori ini berasal. Tapi, saya hanya
mengamatinya. Saya menyaksikan kucing putih yang bermain dari satu pintu ke
pintu lain dari seantero indekos saya. Lalu menjadi tantangan tersendiri untuk
saya, untuk membongkar misteri rahasia ini.
Lalu suasana melembap. Kesepian menebal
beriringan dengan intonasi suara yang serak, tipis, dan meredam ruang melesak
ke arah telinga saya. Teman saya, namanya, F, sedang tidak baik-baik saja saat
itu.
Dia datang dengan kedua bahu yang nyaris
jatuh ke lantai. Kulitnya masih sepucat dulu. Dengan suara serak seolah sudah
bertahun-tahun tidak bicara, dia angkat suara. Teman saya, adalah anak sulung
dari tiga bersaudara. Sejak SD, dia selalu memburu validasi dari orangtuanya.
Terutama dari sang ayah. F adalah salah satu anak paling jenius yang saya
kenal, cara melihatya sederhana, mereka punya ambisi yang kuat tapi pemalas. Semua
telah dia bikin. Menjadi juara umum di kelas berkali-kali. Tapi satu pun
sanjungan dari orangtua tidak hadir di telinganya.
F tidak tahu bagaimana menjadi anak sulung
yang baik. Itu pengalaman seumur hidup dia yang akan terus dia pelajari sampai
akhir waktu. Kedua orangtuanya tidak pernah memberi pujian atau memuja namanya
sebagai seorang anak. Itu yang dia rasa. Satu-satunya pujian dan kasih sayang
yang dia mengerti dari orangtua, hanya lewat kehangatan yang justru diberikan
kepada adik-adiknya.
F tidak tahu apakah dia tengah dididik
sebagai anak sulung yang merupakan penyanggah keluarga? Tapi F pengin, walau
sekali saja, pencapaian dan keinginannya sebagai anak ayah dan ibu dihitung dan
didukung. Itu saja. Dia tidak mau ibunya terus-terusan membandingkan dia dengan
anak tetangga. Dia tidak mau dicap sebagai manusia yang gagal total. Hanya
butuh sedikit saja kebanggaan. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Pernah suatu ketika, ketika lagi
nangkring, seseorang kawan berkata bahwa F punya peluang besar untuk mencapai
sesuatu. Adik kandungnya sendiri, dengan sorot mata tajam dan bibir tersunggi
meremehkan kakak sulungnya. “Cih, dia? Mana bisa?” Tidak ada yang lebih sakit
daripada kejadian itu. Dia bisa saja diremehkan orangtua kandung, tapi oleh
adik perempuannya sendiri? Itu hal yang terlalu berat untuk ditanggung. Saya
akhirnya tahu dari mana asal muasal bahunya bisa semurung itu ketika datang.
Teman saya, kini kelegaannya mulai mereda.
Selama ini dia merasa asam lambung seperti mencemooh kehidupan jiwanya yang
selalu murung. Kini, pelan-pelan psikosomatik itu raib. Kuncinya sederhana:
kejujuran untuk berbagi.
F memang anak yang kerap menarik diri dari
kehidupan sosial. Dan saya merasa tersanjung dan terhormat untuk menjadi alamat
kisah pribadinya. Minggu lalu dia akhirnya terbang pulang. Sudah saatnya kedua
orangtuanya tahu apa yang dia rasakan. Bila rasa sakit dan kesedihan rela dia
tanggung sebagai anak pertama, maka fungsi keluarga adalah menguranginya.
Karena itu yang menggenapi makna hidup kita dari bumi yang tak pernah sia-sia
ini.
~ 14 Juli 2020
0 Komentar