Stained Glass Red - Katherine Gray

 


Manusia pada dasarnya egois, karena itu kebaikan hati harus diajarkan sejak dini. Meski mengenakan kata “egois” di judul bukunya, Dawkins pada akhirnya menekankan betapa penting kebaikan hati. Ia bukan hal yang alamiah memang, seperti halnya konsep negara dan bendera, altruisme harus diciptakan. Dan barangkali inilah keunikan manusia, kitalah satu-satunya spesies yang bisa memberontak dari program dasar kita.

 

Dalam buku Selfish Gene, Dawkin hendak menghantam argumentasi Lorentz dan Robert Trivers yang mendukung seleksi kelompok. Argumentasi kedua tokoh itu menyiratkan bahwa organisme pada dasarnya altruis, dan bertindak serta membuat keputusan berdasarkan pertimbangan kepentingan spesies. Hal ini bisa dilihat misalnya dari sengatan lebah kepada pengusik sarang mereka yang berisiko membuat perut lebah robek sehingga membahayakan nyawa. Dalam contoh kasus seperti itu, seolah-olah tersirat laku pengorbanan di sana.

 

Dawkins terang-terangan khawatir kalau argumentasi seleksi kelompok bakal dikonfirmasi secara buta oleh gerakan moral politik tertentu. Hal ini pernah menjadi soal pada pertengahan abad kemarin, yang oleh Steven Pinker, disebut dengan “eksibisionisme moral”. Di ruang-ruang kampus dan universitas, mereka yang menganut ideologi moral tertentu bersikap tebang pilih terhadap sains, hanya mengambil beberapa fakta yang mendukung keyakinan mereka seraya membuang bagian yang tak mendukung keyakinan itu. Yang paling parah dalam skandal ini barangkali adalah Lykanisme di Uni Soviet. Sains memang tidak pernah berdusta, kitalah yang suka menyembilnya setengah-setengah demi membenarkan dusta kita.

 

Ada banyak argumentasi yang Dawkins paparkan dalam buku ini. Dawkins juga menyertakan banyak contoh dan bukti bahwa organisme tidak lebih dari makhluk egois yang kerap kejam dan berlaku curang. Dalam tema kekerabatan dan kekeluargaan, oleh Dawkins dikatakan bahwa anak-anak yang berpikir culas punya peluang bertahan hidup lebih tinggi daripada anak-anak yang jujur. Argumentasi yang sama masih bergema ketika Dawkins menyoal dilema narapidana yang menghasilkan peluang kemenangan paling tinggi untuk mereka yang berbuat curang.

 

Salah satu contoh paling menarik bagi saya adalah seorang anak yang menangis sekencang-kencangnya. Tabiat alamiah ini sungguh merugikan bukan hanya untuk orangtuanya yang panik bukan main, tapi juga kepada nyawa anak itu sendiri. Anak itu seolah-oleh menjerit, “hei hewan buas di mana kalian? Ke sinilah! Aku adalah daging yang enak.” Fenomena itu oleh Dawkins disebut seperti seorang pemeras kejam. Analoginya seperti seorang yang menyandera penumpang pesawat dengan puluhan dinamit melingkar di dadanya. Baik anak dan penyandera itu punya kesamaan, mereka rela membahayakan nyawa demi kepentingannya diakomodir.

 

Namun anehnya, seorang ibu masih saja mengikuti kemauan anak tanpa syarat. Itu memang instruksi yang terprogram dalam diri seorang ibu dan orang tua lain. Kita bisa merasa bahagia bila melihat balita (terlebih itu anak kita) tertawa dan sedih atau kesakitan melihat balita menangis. Oleh seleksi alam, kita ditakdirkan untuk disandera oleh anak kita. Sang ibu, korban penyanderaan itu, tetap saja jatuh cinta dan merawat anaknya. Bahkan bila anaknya cacat sekalipun (dalam beberapa spesies hewan, banyak kejadian di mana anak yang cacat dimakan oleh ibunya). Dengan kata lain, setiap ibu sesungguhnya mengidap Stockholm syndrome, sindrom jatuh hati pada penculiknya.


dari Selfish Gene, Dawkins