Manusia pada dasarnya egois, karena itu
kebaikan hati harus diajarkan sejak dini. Meski mengenakan kata “egois” di
judul bukunya, Dawkins pada akhirnya menekankan betapa penting kebaikan hati.
Ia bukan hal yang alamiah memang, seperti halnya konsep negara dan bendera,
altruisme harus diciptakan. Dan barangkali inilah keunikan manusia, kitalah
satu-satunya spesies yang bisa memberontak dari program dasar kita.
Dalam buku Selfish Gene, Dawkin hendak
menghantam argumentasi Lorentz dan Robert Trivers yang mendukung seleksi
kelompok. Argumentasi kedua tokoh itu menyiratkan bahwa organisme pada dasarnya
altruis, dan bertindak serta membuat keputusan berdasarkan pertimbangan
kepentingan spesies. Hal ini bisa dilihat misalnya dari sengatan lebah kepada
pengusik sarang mereka yang berisiko membuat perut lebah robek sehingga
membahayakan nyawa. Dalam contoh kasus seperti itu, seolah-olah tersirat laku
pengorbanan di sana.
Dawkins terang-terangan khawatir kalau
argumentasi seleksi kelompok bakal dikonfirmasi secara buta oleh gerakan moral
politik tertentu. Hal ini pernah menjadi soal pada pertengahan abad kemarin,
yang oleh Steven Pinker, disebut dengan “eksibisionisme moral”. Di ruang-ruang
kampus dan universitas, mereka yang menganut ideologi moral tertentu bersikap
tebang pilih terhadap sains, hanya mengambil beberapa fakta yang mendukung
keyakinan mereka seraya membuang bagian yang tak mendukung keyakinan itu. Yang
paling parah dalam skandal ini barangkali adalah Lykanisme di Uni Soviet. Sains
memang tidak pernah berdusta, kitalah yang suka menyembilnya setengah-setengah
demi membenarkan dusta kita.
Ada banyak argumentasi yang Dawkins
paparkan dalam buku ini. Dawkins juga menyertakan banyak contoh dan bukti bahwa
organisme tidak lebih dari makhluk egois yang kerap kejam dan berlaku curang.
Dalam tema kekerabatan dan kekeluargaan, oleh Dawkins dikatakan bahwa anak-anak
yang berpikir culas punya peluang bertahan hidup lebih tinggi daripada
anak-anak yang jujur. Argumentasi yang sama masih bergema ketika Dawkins menyoal
dilema narapidana yang menghasilkan peluang kemenangan paling tinggi untuk
mereka yang berbuat curang.
Salah satu contoh paling menarik bagi saya
adalah seorang anak yang menangis sekencang-kencangnya. Tabiat alamiah ini
sungguh merugikan bukan hanya untuk orangtuanya yang panik bukan main, tapi
juga kepada nyawa anak itu sendiri. Anak itu seolah-oleh menjerit, “hei hewan
buas di mana kalian? Ke sinilah! Aku adalah daging yang enak.” Fenomena itu
oleh Dawkins disebut seperti seorang pemeras kejam. Analoginya seperti seorang
yang menyandera penumpang pesawat dengan puluhan dinamit melingkar di dadanya. Baik
anak dan penyandera itu punya kesamaan, mereka rela membahayakan nyawa demi
kepentingannya diakomodir.
Namun anehnya, seorang ibu masih saja
mengikuti kemauan anak tanpa syarat. Itu memang instruksi yang terprogram dalam
diri seorang ibu dan orang tua lain. Kita bisa merasa bahagia bila melihat
balita (terlebih itu anak kita) tertawa dan sedih atau kesakitan melihat balita
menangis. Oleh seleksi alam, kita ditakdirkan untuk disandera oleh anak kita.
Sang ibu, korban penyanderaan itu, tetap saja jatuh cinta dan merawat anaknya.
Bahkan bila anaknya cacat sekalipun (dalam beberapa spesies hewan, banyak
kejadian di mana anak yang cacat dimakan oleh ibunya). Dengan kata lain, setiap
ibu sesungguhnya mengidap Stockholm
syndrome, sindrom jatuh hati pada penculiknya.
dari Selfish Gene, Dawkins
0 Komentar