Turvy - Katherine Gray


 

Sudah lama saya tidak menyentuh teks-teks Islam yang berpikiran terbuka dan maju alih-alih mundur. Abdullah Ahmed An-Naim membuat saya bernostalgia, ia salah satu cendekiawan muslim progresif yang kita miliki hari-hari ini.

 

Ahmed Naim banyak dipengaruhi Mohammad Taha yang berkata bahwa Islam dan syariat adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Islam merupakan kepasrahan total pada tauhid sedangkan syariat merupakan tafsir atas teks (nash). Dan karena wahyu senantiasa dilekapi dimensi sosial, maka menerapkan syariat abad ke-7 tidak akan sama dengan syariat abad-21 yang dimensi sosialnya telah mengalami banyak perubahan.

 

Abdullah Naim adalah yang menyatakan bahwa syariat perlu didekonstruksi (dekonstruksi berbeda dengan destruksi). Ikhtiar dekonstruksi ini diupayakan agar syariat bisa jadi problem solver alih-alih sumber masalah.

 

Ia sendiri menyebut syariat sebagai historical shariah, bahwa ia adalah produk historis, ia kolaborasi antara tafsir manusia dengan wahyu. Wahyu adalah sesuatu yang sakral. Tapi penafsir wahyu tidaklah sakral. Karena para penafsir wahyu (dengan beragam stratifikasinya) merupakan

 

Ada banyak tipe pembaharuan hukum yang diterapkan bangsa-bangsa Muslim. Pertama, hukum Takhsi al-Qadha, yakni hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan, digunakan untuk membatasi penerapan syariat pada persoalan-persoalan perdata bagi umat islam.

 

Kedua, disebut Takhayyur, yakni menyeleksi pelbagai pendapat dalam mazhab fiqih tertentu dan tidak memilih pendapat dominan dalam mazab arus utama, melihat mahzab yang dominan adalah mahzab Hanafi yang merupakan mahzab resmi bagi masalah-masalah berkenaan dengan hukum perdata umat Islam.

 

Terakhir, Siyasah syariah (kebijaksanaan penguasa untuk menerapkan aturan-aturan administrative yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat juga digunakan untuk memperkenalkan berbagai bentuk pembaharuan, kemudian ditafsirkan kembali terhadap hukum perdata, untuk membatasi maraknya perceraian.

 

Dengan mengembangkan gagasan gurunya, Mahmud Thaha, Naim lantas menerapkan penerapan evolusi hukum atau al-risalah al-Tsaniyah, yakni evolusi dalam legislasi Islam. Dalam hal ini, ayat utama mungkin bisa berlaku di abad ke-7 M tapi dalam evolusinya tidak akan terpakai pada abad ke-21 M. Maka teks-teks yang mengemukakan solidaritas umat muslim secara ekslusif di Madinah harus diganti dengan teks-teks yang menyerukan solidaritas umat manusia universal dari Mekkah. Dalam teks Madaniyah, solidaritas yang terbangun adalah solidaritas “ke-kami-an”, sedangkan solidaritas Makkiyah adalah solidaritas “ke-kita-an”. Barangkali karena itu dalam ayat-ayat Madaniyah selalu dimulai dengan “wahai orang beriman …” (partikular) sedangkan pembukaan ayat-ayat Makkiyah adalah “wahai umat manusia …” (universal).

 

Naim lantas mengembangkan teori Nasikh Mansukh (lex posterior delogat lex priori) ke wilayah ini. Ia berkata kalau ayat-ayat Makkiyah yang bertentangan dengan ayat-ayat Madaniyah telah membatalkan ayat-ayat Madaniyah dengan sendirinya. Dalam ayat-ayat Madaniyah, kita bisa mendapati hukum-hukum yang bila ditafsirkan sewenang-wenang bisa menimbulkan makna diskriminasi gender. Dan diskriminasi gender itu bisa direkonsiliasi dengan hukum Islam secara radikal. Dan ini hanya bisa terwujud apabila syariah bisa didesakralisasi dari pemujaan tekstual (skriptualis) berlebihan.