Sudah lama saya tidak menyentuh teks-teks
Islam yang berpikiran terbuka dan maju alih-alih mundur. Abdullah Ahmed An-Naim
membuat saya bernostalgia, ia salah satu cendekiawan muslim progresif yang kita
miliki hari-hari ini.
Ahmed Naim banyak dipengaruhi Mohammad
Taha yang berkata bahwa Islam dan syariat adalah dua hal yang sama sekali
berbeda. Islam merupakan kepasrahan total pada tauhid sedangkan syariat
merupakan tafsir atas teks (nash).
Dan karena wahyu senantiasa dilekapi dimensi sosial, maka menerapkan syariat
abad ke-7 tidak akan sama dengan syariat abad-21 yang dimensi sosialnya telah
mengalami banyak perubahan.
Abdullah Naim adalah yang menyatakan bahwa
syariat perlu didekonstruksi (dekonstruksi berbeda dengan destruksi). Ikhtiar
dekonstruksi ini diupayakan agar syariat bisa jadi problem solver alih-alih sumber masalah.
Ia sendiri menyebut syariat sebagai historical shariah, bahwa ia adalah
produk historis, ia kolaborasi antara tafsir manusia dengan wahyu. Wahyu adalah
sesuatu yang sakral. Tapi penafsir wahyu tidaklah sakral. Karena para penafsir
wahyu (dengan beragam stratifikasinya) merupakan
Ada banyak tipe pembaharuan hukum yang
diterapkan bangsa-bangsa Muslim. Pertama,
hukum Takhsi al-Qadha, yakni hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan
keputusan pengadilan, digunakan untuk membatasi penerapan syariat pada
persoalan-persoalan perdata bagi umat islam.
Kedua,
disebut
Takhayyur, yakni menyeleksi pelbagai
pendapat dalam mazhab fiqih tertentu dan tidak memilih pendapat dominan dalam
mazab arus utama, melihat mahzab yang dominan adalah mahzab Hanafi yang
merupakan mahzab resmi bagi masalah-masalah berkenaan dengan hukum perdata umat
Islam.
Terakhir,
Siyasah syariah (kebijaksanaan penguasa untuk menerapkan aturan-aturan
administrative yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat juga
digunakan untuk memperkenalkan berbagai bentuk pembaharuan, kemudian
ditafsirkan kembali terhadap hukum perdata, untuk membatasi maraknya
perceraian.
Dengan mengembangkan gagasan gurunya,
Mahmud Thaha, Naim lantas menerapkan penerapan evolusi hukum atau al-risalah al-Tsaniyah, yakni evolusi
dalam legislasi Islam. Dalam hal ini, ayat utama mungkin bisa berlaku di abad
ke-7 M tapi dalam evolusinya tidak akan terpakai pada abad ke-21 M. Maka
teks-teks yang mengemukakan solidaritas umat muslim secara ekslusif di Madinah
harus diganti dengan teks-teks yang menyerukan solidaritas umat manusia
universal dari Mekkah. Dalam teks Madaniyah, solidaritas yang terbangun adalah
solidaritas “ke-kami-an”, sedangkan solidaritas Makkiyah adalah solidaritas
“ke-kita-an”. Barangkali karena itu dalam ayat-ayat Madaniyah selalu dimulai
dengan “wahai orang beriman …” (partikular) sedangkan pembukaan ayat-ayat
Makkiyah adalah “wahai umat manusia …” (universal).
Naim lantas mengembangkan teori Nasikh
Mansukh (lex posterior delogat lex priori) ke wilayah ini. Ia berkata kalau
ayat-ayat Makkiyah yang bertentangan dengan ayat-ayat Madaniyah telah
membatalkan ayat-ayat Madaniyah dengan sendirinya. Dalam ayat-ayat Madaniyah,
kita bisa mendapati hukum-hukum yang bila ditafsirkan sewenang-wenang bisa
menimbulkan makna diskriminasi gender. Dan diskriminasi gender itu bisa
direkonsiliasi dengan hukum Islam secara radikal. Dan ini hanya bisa terwujud
apabila syariah bisa didesakralisasi dari pemujaan tekstual (skriptualis)
berlebihan.
0 Komentar