antaeus-setting-down-dante-and-virgil-in-the-last-circle-of-hell-1827  By William Blake

 


“Apakah tuhan ingin mencegah kjahatan, tetapi dia tak mampu? Kalau begitu dia impoten. Apakah dia mampu tapi tak bersedia? Kalau begitu dia jahat. Apakah dia mampu dan bersedia? Jadi, darimana datangnya kejahatan itu?” Kutipan itu saya ambil di sebuah buku filsafat yang say abaca ketika SMA. Barangkali itu salah satu pertanyaan yang mengguncang benak saya. Sejak itu saya tambah penasaran dengan yang namanya filsafat.

 

Barulah ketika saya duduk di bangku perkuliahan, saya tahu problem itu dibahas di bawah tema teodise. Salah satu argument yang saya peroleh dari logika adalah, bahwa gelap merupakan ketiadaan dari cahaya. Kegelapan itu tidak ada. Saat kita menutup mata di ruangan gelap total, apa yang dicerap mata bukanlah warna kegelapan, melainkan warna hitam. Gelap adalah ketiadaan total. Kita tidak bisa membayangkan kegelapan, karena kegelapan adalah ketiadaan cahaya. Sedangkan kita hanya mampu membayangkan sesuatu yang memiliki warna, dan warna adalah efek dari tersentuhnya cahaya. Kejahatan kemudian didefinisikan sebagai ketiadaan kebaikan.

 

Argumentasi itu lemah menurut saya. Karena kebaikan dianalogikan dengan cahaya dan kejahatan diibaratkan dengan kegelapan. Pada dasarnya, orang baik pun bisa berbuat jahat. Misalnya seorang Jerman yang diarestasi karena bertanggung jawab atas tragedy holocaust, dibela mati-matian oleh Hannah Arrendt, karena orang itu tidak tahu kalau yang dia lakukan adalah jahat. Kejahatan bagi dia justru adlaah membiarkan Yahudi hidup. Meski Arrendt adalah Yahudi, ia membela orang tersebut. Contoh terbaik dari orang baik yang berbuat jahat adalah terorisme. Di mata para pembom mereka adalah orang baik yang haus surge. Seperti kata seorang fisikawan: “Ketika orang baik berbuat jahat, itu karena agama.” Dalam logika, cara bernalar analogi keliru karena kesesatan berpikir. Karena itu pula penafsiran hukum analogi dilarang dalam hukum pidana.

 

Persoalan kejahatan ini membuat saya ingat Candide tokoh novel Voltaire dari Perancis. Candide seorang yang diajari moralitas dari seorang bernama Pangloss yang terus-menerus mengulang “Kita hidup di dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin ada.” Dalam dunia terbaik dari dunia yang mungkin ada, Candide justru alami kemalangan berturut-turut yang membuat nasibnya komedik.

 

Pada perjumpaan aneh, Candide ketemu Martin, seorang cendekiawan yang dirampok istrinya, dipukuli putranya, dan ditelantarkan putrinya. Di Suriname, para padri menghukumnya karena menganut keyakinan berbeda. Kemalangan nasib kemudian mengakrabkan mereka berdua sebagai teman seperjalanan. Sesaat sebelum sampai di Bordeaux, Perancis, mereka berdua terlibat perdebatan soal kejahatan dan kehendak bebas.

 

Perdebatan terasa sengit dari sudut Martin tapi ditanggapi luwes oleh Candide. Sebab Candide pernah ketemu seorang anabaptis bijaksana yang membantah adagium homo homini lupus Hobbesian, bahwa Tuhan tidak memberi manusia bayonet dan meriam, tapi manusialah yang membuat benda-benda tersebut demi menghancurkan sesame mereka; kita terlahir sebagai manusia, bukan serigala, namun dalam perjalanan hidup, kita menjelma jadi serigala karena situasi. Saya kira ini selaras dengan surat Yunus ayat 44: “Sejatinya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitipun, tapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada dirinya sendiri.”