“Apakah tuhan ingin mencegah kjahatan, tetapi dia tak mampu? Kalau begitu dia impoten.
Apakah dia mampu tapi tak bersedia? Kalau begitu dia jahat. Apakah dia mampu dan bersedia? Jadi, darimana datangnya kejahatan itu?” Kutipan
itu saya ambil di sebuah buku filsafat yang say abaca ketika SMA. Barangkali
itu salah satu pertanyaan yang mengguncang benak saya. Sejak itu saya tambah
penasaran dengan yang namanya filsafat.
Barulah ketika saya duduk di bangku perkuliahan, saya tahu problem itu
dibahas di bawah tema teodise. Salah satu argument yang saya peroleh dari
logika adalah, bahwa gelap merupakan ketiadaan dari cahaya. Kegelapan itu tidak
ada. Saat kita menutup mata di ruangan gelap total, apa yang dicerap mata
bukanlah warna kegelapan, melainkan warna hitam. Gelap adalah ketiadaan total.
Kita tidak bisa membayangkan kegelapan, karena kegelapan adalah ketiadaan
cahaya. Sedangkan kita hanya mampu membayangkan sesuatu yang memiliki warna,
dan warna adalah efek dari tersentuhnya cahaya. Kejahatan kemudian didefinisikan
sebagai ketiadaan kebaikan.
Argumentasi itu lemah menurut saya. Karena kebaikan dianalogikan dengan
cahaya dan kejahatan diibaratkan dengan kegelapan. Pada dasarnya, orang baik
pun bisa berbuat jahat. Misalnya seorang Jerman yang diarestasi karena
bertanggung jawab atas tragedy holocaust, dibela mati-matian oleh Hannah
Arrendt, karena orang itu tidak tahu kalau yang dia lakukan adalah jahat.
Kejahatan bagi dia justru adlaah membiarkan Yahudi hidup. Meski Arrendt adalah
Yahudi, ia membela orang tersebut. Contoh terbaik dari orang baik yang berbuat
jahat adalah terorisme. Di mata para pembom mereka adalah orang baik yang haus
surge. Seperti kata seorang fisikawan: “Ketika orang baik berbuat jahat, itu
karena agama.” Dalam logika, cara bernalar analogi keliru karena kesesatan
berpikir. Karena itu pula penafsiran hukum analogi dilarang dalam hukum pidana.
Persoalan kejahatan ini membuat saya ingat Candide tokoh novel Voltaire
dari Perancis. Candide seorang yang diajari moralitas dari seorang bernama
Pangloss yang terus-menerus mengulang “Kita hidup di dunia terbaik dari semua
dunia yang mungkin ada.” Dalam dunia terbaik dari dunia yang mungkin ada,
Candide justru alami kemalangan berturut-turut yang membuat nasibnya komedik.
Pada perjumpaan aneh, Candide ketemu Martin, seorang cendekiawan yang
dirampok istrinya, dipukuli putranya, dan ditelantarkan putrinya. Di Suriname,
para padri menghukumnya karena menganut keyakinan berbeda. Kemalangan nasib
kemudian mengakrabkan mereka berdua sebagai teman seperjalanan. Sesaat sebelum
sampai di Bordeaux, Perancis, mereka berdua terlibat perdebatan soal kejahatan
dan kehendak bebas.
Perdebatan terasa sengit dari sudut Martin tapi ditanggapi luwes oleh
Candide. Sebab Candide pernah ketemu seorang anabaptis bijaksana yang membantah
adagium homo homini lupus Hobbesian,
bahwa Tuhan tidak memberi manusia bayonet dan meriam, tapi manusialah yang
membuat benda-benda tersebut demi menghancurkan sesame mereka; kita terlahir
sebagai manusia, bukan serigala, namun dalam perjalanan hidup, kita menjelma
jadi serigala karena situasi. Saya kira ini selaras dengan surat Yunus ayat 44:
“Sejatinya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitipun, tapi manusia
itulah yang berbuat zalim kepada dirinya sendiri.”
0 Komentar