Gerimis di luar semakin tipis. Kau ingin
keluar melihat-lihat dunia di sekitar tempatmu tinggal. Kau urung meminjam
motor dari kawan, pikirmu, keluar dengan memikul payung sepertinya bisa menjadi
pengalaman menarik. Kau ingin melihat seseorang berjalan dengan payung, dank au
ingin kau terlihat seperti itu. Kita memang ingin tampak seperti seseorang yang
ingin kita lihat keberadaannya.
Yogyakarta basah sebasahnya. Angin kadang
melawan arah ke mana kaki melangkah sampai payung pun ikut tertiup sehingga perlu
energi ekstra untuk menahannya tidak ikut terbang. Kau menahan payung dengan
perasaan dan keinginan yang sama untuk menahan bara dalam dadamu yang tak mau
kamu lepas.
Jalanan terlalu licin dan basah sehingga
dapat dengan mudah memantulkan dirimu yang menggenggam payung. Wajahmu buram
oleh warna hitam trotoar. Tapi dari pantulan itu, kau melihat angkasa yang
lapang dan merdeka meski masih berwarna kelabu. Sedikit dalam dirimu bersuara:
apakah langit merasa dirinya Narcissus ketika menatap dirinya sendiri terpantul
oleh laut, yang meliputi tujuh puluh persen planet ini?
Sudut-sudut Yogyakarta telah berkali-kali
melihat manusia di dalamnya menjadikan mereka sebagai cermin kenangan
masing-masing. Sudut-sudut Yogyakarta sudah hapal betul tatapan mata
orang-orang semacam ini: mata yang menatap ke arah depan, terkadang memaku mata
di satu landmark sembari
menggali-gali ingatan di balik mata mereka.
0 Komentar