Anthem of Joy in Glass, 1977

 


Teologi Islam kita, terutama yang berkembang pesat di Persia—justru bukan di Arab—, bisa dibilang bersifat top-down, proses penciptaan berasal dari Tuhan ke Makhluk. Dan semua, secara linguistik, itu bisa dijelaskan dengan huruf “mim”, yang artinya materi.

 

Pertama-tama adalah Nur Muhammad, yang bahkant tercipta sebelum Adam. Segala sesuatu yang hadir dalam realitas materi hari ini, tak lebih dari manifestasi Tuhan yang diperantarai Nur Muhammad itu. Nur Muhammad itu kemudian disebut sebagai Ahmad dalam alkitabiah. Dan dalam Islam, kata Ahmad hanya tinggal ditambah dengan huruf “mim” maka ia menjadi Muhammad. Dengan kata lain, proses perubahan dari Nur yang immateri ke Muhammad yang materi hanya terhubung dengan kata “mim”: materialisasi.

 

Ini juga menjelaskan kenapa Nur Muhammad sebagai sumber dari penciptaan makhluk berhubungan dengan Allah sebagai sumber dari segala sumber. Tuhan atau Khaliq kita tahu berasal dari susunan kata: kaf, lam, dan la. Hanya butuh huruf “mim”, sehingga ia menjadi mahluk: mim, kaf, lam, dan la. Nur Muhammad, adalah materialisasi dari Dzat yang paling murni, Tuhan sejati itu.

 

Dalam teori Suhrawardi, ini disebut dengan emanasi. Dalam teori Mulla Shadra, ini disebut dengan gradasi eksistensial, atau gerak trans-substansial. Proses top-down ini tak lebih dari cahaya yang melakukan gerak dari sumber ke ujung cahaya. Pada mulanya adalah sumber cahaya yaitu khaliq, lalu ke cahaya itu sendiri yakni makhluk. Dan antara sumber dan cahaya itu terdapat proses materialisasi yang disebut “mim” tadi.

 

Semakin jauh cahaya dari sumber cahaya, kita tahu, semakin cahaya itu membias dan lenyap ditelan kegelapan atau ketiadaan. Materi adalah titik cahaya paling jauh dari sumber cahaya. Ketiadaan cahaya, ketiadaan materi, adalah kehampaan absolut, dan barangkali itulah neraka sesungguhnya.

 

Bila proses penciptaan adalah top-down, maka usaha ibadat manusia bersifat bottom-up, yakni upaya memanjat kembali eksistensi makhluk menuju sumber cahaya. Ini digambarkan dengan Innailahi wa innailahi rajiun, semua berasal dari sumber cahaya, dan akan kembali ke sumber cahaya. Maka proses bottom-up ini harusnya diusahakan dengan menanggalkan “mim” kita, identifikasi materialitas makhluk. Makanya rukun Islam tak lebih daripada proses dematerialisasi.

 

Puasa bertujuan untuk mendematerialisasi hawa nafsu dengan mengendalikan otak reptile manusia demi kendali diri. Salat adalah upaya mendirikan takbir yang harus diakhiri dengan “salam” yakni habluminannas dan hablu min bi’ah. Zakat adalah dematerialisasi dengan mendistribusikan property agar tak terjadi monopoli kekayaan seperti sistem merkantilisme. Haji upaya dematerialisasi agar manusia tak hanya memikirkan individu dan melakukan gerakan kolektif dengan mengingat sejarah pengorbanan Ibrahim.

 

Mereka yang melakukan dematerialisasi lalu akan mengalami regenerasi untuk membuktikan innailahi itu. Mereka yang tak melakukan dematerialisasi akan mengalami degenerasi lantas menjadi bagian kegelapan yang jauh dari Tuhan dan justru menyengsarakan Nur Muhammad yang menjadi bagian dari entitas kita.

 

Regenerasi akan menjadikan manusia sebagai cahaya yang mendekati sumber cahaya, yang ekstasenya bisa disebut surge. Degenerasi akan menjadikan manusia “turun kasta” menjadi babi dank era (sebagaimana ujar ayat Quran) lantas tersiksa karena turun pangkat sebagai siksaan neraka.