Teologi Islam kita, terutama
yang berkembang pesat di Persia—justru bukan di Arab—, bisa dibilang bersifat
top-down, proses penciptaan berasal dari Tuhan ke Makhluk. Dan semua, secara
linguistik, itu bisa dijelaskan dengan huruf “mim”, yang artinya materi.
Pertama-tama adalah Nur
Muhammad, yang bahkant tercipta sebelum Adam. Segala sesuatu yang hadir dalam
realitas materi hari ini, tak lebih dari manifestasi Tuhan yang diperantarai
Nur Muhammad itu. Nur Muhammad itu kemudian disebut sebagai Ahmad dalam alkitabiah.
Dan dalam Islam, kata Ahmad hanya tinggal ditambah dengan huruf “mim” maka ia
menjadi Muhammad. Dengan kata lain, proses perubahan dari Nur yang immateri ke
Muhammad yang materi hanya terhubung dengan kata “mim”: materialisasi.
Ini juga menjelaskan kenapa
Nur Muhammad sebagai sumber dari penciptaan makhluk berhubungan dengan Allah
sebagai sumber dari segala sumber. Tuhan atau Khaliq kita tahu berasal dari
susunan kata: kaf, lam, dan la. Hanya butuh huruf “mim”, sehingga ia menjadi
mahluk: mim, kaf, lam, dan la. Nur Muhammad, adalah materialisasi dari Dzat
yang paling murni, Tuhan sejati itu.
Dalam teori Suhrawardi, ini
disebut dengan emanasi. Dalam teori Mulla Shadra, ini disebut dengan gradasi
eksistensial, atau gerak trans-substansial. Proses top-down ini tak lebih dari cahaya
yang melakukan gerak dari sumber ke ujung cahaya. Pada mulanya adalah sumber
cahaya yaitu khaliq, lalu ke cahaya itu sendiri yakni makhluk. Dan antara
sumber dan cahaya itu terdapat proses materialisasi yang disebut “mim” tadi.
Semakin jauh cahaya dari
sumber cahaya, kita tahu, semakin cahaya itu membias dan lenyap ditelan
kegelapan atau ketiadaan. Materi adalah titik cahaya paling jauh dari sumber
cahaya. Ketiadaan cahaya, ketiadaan materi, adalah kehampaan absolut, dan barangkali
itulah neraka sesungguhnya.
Bila proses penciptaan
adalah top-down, maka usaha ibadat manusia bersifat bottom-up, yakni upaya
memanjat kembali eksistensi makhluk menuju sumber cahaya. Ini digambarkan
dengan Innailahi wa innailahi rajiun, semua berasal dari sumber cahaya, dan
akan kembali ke sumber cahaya. Maka proses bottom-up ini harusnya diusahakan
dengan menanggalkan “mim” kita, identifikasi materialitas makhluk. Makanya
rukun Islam tak lebih daripada proses dematerialisasi.
Puasa bertujuan untuk
mendematerialisasi hawa nafsu dengan mengendalikan otak reptile manusia demi
kendali diri. Salat adalah upaya mendirikan takbir yang harus diakhiri dengan
“salam” yakni habluminannas dan hablu min bi’ah. Zakat adalah dematerialisasi
dengan mendistribusikan property agar tak terjadi monopoli kekayaan seperti
sistem merkantilisme. Haji upaya dematerialisasi agar manusia tak hanya
memikirkan individu dan melakukan gerakan kolektif dengan mengingat sejarah
pengorbanan Ibrahim.
Mereka yang melakukan dematerialisasi
lalu akan mengalami regenerasi untuk membuktikan innailahi itu. Mereka yang tak
melakukan dematerialisasi akan mengalami degenerasi lantas menjadi bagian
kegelapan yang jauh dari Tuhan dan justru menyengsarakan Nur Muhammad yang
menjadi bagian dari entitas kita.
Regenerasi akan menjadikan
manusia sebagai cahaya yang mendekati sumber cahaya, yang ekstasenya bisa
disebut surge. Degenerasi akan menjadikan manusia “turun kasta” menjadi babi
dank era (sebagaimana ujar ayat Quran) lantas tersiksa karena turun pangkat
sebagai siksaan neraka.
0 Komentar