“Cinta tak selamanya
indah, Fajar,” ujar seseorang pada Fajar.
“Biar tidak selamanya
indah tapi setidaknya saya punya perjuangan dihargai,” sahut Fajar langsung
merengut dan menutup muka karena mata sudah berkaca-kaca.
Apa yang dialami Fajar
Sadboy, adalah menanggung luka penolakan. Dalam buku Pertolongan Pertama Patah
Hati, penolakan adalah luka pertama yang paling menyakitkan. Sesederhana kau
memanggil orang tapi orang itu tak menyahut, atau ketika mengulurkan tangan untuk
berjabat tapi diabaikan, atau ketika mengirim pesan kepada seseorang dan hanya
dua centang biru sampai seminggu.
Luka penolakan adalah
luka yang serius, dan genetika kita sudah menyimpan memori penolakan sebagai
tanda bahaya. Nenek moyang kita adalah makhluk sosial, yang tak bisa hidup
tanpa suku atau kelompok. Dengan bergabung bersama kelompok, maka leluhur bakal
mendapat akses ke makanan, perlindungan, pasangan, dan rasa aman. Terhubung
secara sosial dengan orang lain membuat kita merasa aman dalam upaya bertahan
hidup di hutan rimba. Terlebih kehidupan berkelompok membuat leluhur kita bisa
lebih mungkin selamat bahkan bisa melawan balik serangan predator.
Sedangkan diasingkan
dan ditolak dari kelompok pada zaman dulu sudah setara dengan hukuman mati.
Diasingkan artinya hidup sendiri, sehingga lebih mungkin mati diterkam
predator.
Hukum alam benar-benar
berlaku pada masa lalu: yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati. Semakin
banyak anggota suku kamu, semakin kamu kuat bertahan hidup. Semakin sendirian
kamu, semakin mungkin kamu mati. Sepuluh orang berhadapan dengan seekor singa,
cukup bilang allahumma bariklana, selesai
itu, singanya dimakan. Kalo satu orang, berhadapan dengan seekor singa,
singanya yang allahuma bariklana itu, singanya
yang makan.
Memori genetik itu
tersimpan dalam tubuhku dan tubuhmu. Sejak dari DNA, kita adalah makhluk yang
ingin diterima oleh masyarakat dan selalu berusaha menolak penolakan. Meskipun
hutan rimba sudah berganti dengan gedung-gedung besi mentereng, predator bisa diburu
oleh satu orang dengan satu senapan, keberlangsungan hidup lebih terjamin, tapi
luka penolakan masih bekerja karena langsung menginfeksi keberlangsungan
psikologis dan kejiwaan kita.
Luka penolakan
mempengaruhi dimensi mental, ia bisa membuat IQ seseorang turun, gangguan pada
ingatan jangka pendek, serta gangguan pada sistem pengambilan keputusan kita.
Lebih buruk lagi, penolakan bisa membimbing seseorang lebih agresif. Seorang
pria akan memecahkan piring atau memukul tembok atau merongseng secara sporadic
ketika diberi silent treatment dari
pacar atau istrinya. Kalaupun kekerasan itu tidak bersifat fisik, ia akan
menjelma jadi kekerasan verbal.
Ini kisah nyata, dari
temanku. Ia jadi korban silent treatment istrinya
selama 2 bulan. Sebutlah Bambang. Bambang ini hidupnya penuh perjuangan. Dia
pernah dikejar debt collector selama satu tahun 6 bulan gara-gara Binomo. Tapi
didiemin sama istri selama 2 bulan jauh lebih sakit ketimbang dikejar lintah
darat setahun 6 bulan. Sumpah kejadian nyata ini. Istri Bambang masih melakukan
kewajiban sebagai istri, pagi-pagi diberi secangkir kopi dan sepiring sarapan.
Pulang kerja pun begitu, secangkir kopi dan sepiring nasi. Mereka duduk satu
meja yang sama, duduk di sofa yang sama, tidur di ranjang yang sama tapi istri
Bambang gak bicara apa-apa, ditanya diam seribu bahasa. Gara-gara silent
treatment ini, si Bambang, tiap minggu mecahin 2 piring 1 gelas, untuk
melampiaskan agresi karena luka penolakan. Sebulan pecah 8 piring 4 gelas.
Bulan kedua, bangun pagi sebelum kerja sudah gak ada secangkir kopi dan
sepiring nasi, pecah semua. Ini bukti bahwa luka penolakan bukan saja membuat
orang lebih agresif, tapi juga lebih goblok.
Sedangkan penolakan
yang terjadi secara terus menerus akan melukai hal paling berharga bagi manusia:
martabat dan rasa percya diri, membuat kamu bahkan menjadi perundung dirimu
sendiri. Kalimat-kalimat seperti “kau tidak layak!”, “tidak ada yang mau
berteman denganmu”, “tak ada yang mencintaimu di dunia”, dan sebagainya lantas
mengacak-acak kepalamu tanpa ampun.
Dalam Pertolongan
Pertama Patah Hati, cara mengurangi luka penolakan. adalah membikin kontra
argument terhadap kalimat-kalimat perundungan itu. Latihan yang bisa kita
lakukan adalah menulis jurnal, serta membuat argument yang mendebat kalimat
negatif terhadap diri sendiri.
Kelaparan sosial pun
tak terhindari. Ada satu film yang sangat baik sebagai ilustrasi, Cast Away.
Ketika Tom Hanks, pemeran utama film itu, terjebak sendiri selama 4 tahun di
suatu pulau, ia mengalami penderitaan hebat karena hidup sendirian. Kelaparan
sosial itu ia atasi dengan menamai satu bola voli dengan nama Wilson. Ilusi
bahwa bola voli itu adalah teman, merupakan cemilan sosial untuk mengisi
kelaparan sosial Tom Hanks.
Riset memberi kita
petunjuk mengenai cemilan sosial terbaik, yakni foto tercinta. Entah foto
keluarga, foto pacar, foto anak, atau foto sahabat dekat. Ada eksperimen soal
ini. Dua responden diberikan dua tugas berbeda. Responden pertama bertugas
menaruh foto istrinya di meja kerja, sedangkan responden ketua tugasnya menaruh
foto artis favoritnya, kebetulan artis favoritnya Aldi Taher, di meja kerja.
Setelah berminggu-minggu, penelitian menunjukkan bahwa orang yang meletakkan
foto artis jauh lebih kesepian dan luka penolakan menjadi lebih kuat.
Dari riset itu kamu
bisa belajar, kapanpun hendak kencan, atau sekadar melamar kerja, bawalah foto
orang tercinta. Kalau tidak ada pacar, tidak ada foto keluarga, tidak ada foto
sahabat, saran terbaik mending bawa bola voli.
Kata kunci penting
mengenai penolakan adalah desensitisasi. Ketika seseorang semakin terpapar
dengan penolakan, seperti SPG, sales, atau punya otot emosi kuat untuk segera
bangkit dari luka penolakan, maka semakin ia tangguh ketika ditolak dunia. “Apa
yang tak bisa membunuhmu akan membuatmu jauh lebih tangguh,” ujar Nietszche,
sebuah penjelasan heroik untuk istilah desensitisasi.
Apa yang terjadi pada
Fajar Sadboy, adalah apa yang pernah terjaid kepada kita semua.
Di samping penolakan,
ada 5 infeksi hati lain yang perlu kita antisipasi: kesepian, trauma, rasa
bersalah, kegagalan, dan rasa rendah diri.
Mari mulai dengan
kesepian, pandemic mental yang tak pandang bulu sama sekali. Kesepian menyerang
tanpa peduli gender, usia, dan profesi. Semakin kesepian seseorang, semakin
tinggi risiko kena serangan jantung. Riset mengatakan seorang yang kesepian
setara dengan merokok 15 batang sehari. Kita akan dapati risiko-risiko penyakti
gegara merokok sama persis dengan kesepian. Kalau kamu bukan perokok tapi suka
memelihara kesepian, kau tak berbeda dengan perokok aktif.
Karen Dolva menyebut
kesepian sebagai pandemi psikologis. Metafora itu tidak keliru, sebab kesepian
memang bisa menular seperti taun. Bagaimana cara mengatasinya? Sederhana.
Beranikan diri untuk menghubungi teman terdekat, lalu habiskan waktu bersama
meskipun menjemukan. Lalu kamu akan menyadari bahwa semua orang butuh orang
lain, sebagaimana orang lain juga butuh bersandar kepadamu.
Infeksi hati ketiga,
adalah trauma. Ini adalah hama mental yang mesti segera diatasi. Beberapa cara
adalah dengan memberi penghargaan besar terhadap hubungan sosial yang sedang
kamu jalani, menumbuhkan perasaan untuk mencapai suatu tujuan (sense of purpose), serta meningkatkan kepuasan
hidup. Metode ini sangat baik untuk menumbuhkan pertumbuhan pasca trauma (post-traumatic growth).
Selanjutnya rasa
bersalah. Tidak semua rasa bersalah negatif. Ada juga yang konstruktif. Rasa
bersalah bisa membuat kita melunak serta berdamai dengan masalah. Semisal rasa
bersalah karena lupa ulang tahun pacar bisa membuat kita lebih memberi arti
penting untuk tahun-tahun yang akan datang.
Sisi buruk rasa
bersalah adalah membuat kamu melarikan diri dari orang yang kamu sakiti.
Eskapisme ini terjadi karena kesalahanmu tidak kamu tebus, atau tak segera
mereparasi hubungan sosial, atau tidak memberi utang “maaf” kepada orang yang
kamu sakiti.
Dan seperti ular yang
melahap ekornya sendiri, rasa bersalah akan semakin besar ketika kita ketemu
dengan orang yang kita sakiti. Karena itu banyak orang yang memilih melarikan
diri. Sayangnya, lari dari orang yang kita sakiti sama sekali tidak
menyembuhkan hati—justru hanya menambah garam pada luka.
Butuh keberanian untuk
seseorang mengumpulkan maaf dari orang yang ia sakiti. Meskipun sebenarnya,
kata “maaf” saja tidak cukup. Selama ini para psikolog lebih sibuk membicarakan
kapan waktu paling tepat mengucapkan maaf, tapi sedikit sekali penelitian
mengenai cara meminta maaf yang tepat. Rasa bersalah akhirnya tetap bergalur
dalam batin, dan orang yang kita sakiti tidak benar-benar sembuh dari kelukur
yang kita beri.
Agar rasa bersalah bisa
sembuh, pertama, kamu perlu memberi
pernyataan penyesalan yang spesifik atas apa yang terjadi. Dua, ucap kata “saya menyesal” dengan tegas dan sesungguh-sungguh
mungkin. Tiga, memohon untuk
dimaafkan. Empat, memvalidasi
perasaan orang yang kamu sakiti. Terakhir,
mengajukan penebusan.
Memvalidasi perasaan
orang memang lebih mudah dibicarakan, tapi sulit dipraktikkan. Ini adalah
latihan, latihan untuk membiarkan orang yang kamu sakiti menceritakan segalanya
agar kamu tahu fakta yang mungkin tidak kamu tahu. Terlepas dari sepakat atau
tidak sepakat, sampaikan pengertianmu tentang apa yang orang itu alami melalui
perspektifnya. Akuilah bahwa emosi tersebut adalah hal wajar. Kemudian
sampaikan empat dan penyesalan atas apa yang dialami orang yang kamu sakiti.
Setelah itu, ajukan
cara menebus kesalahan. Semisal bila kamu lupa ulang tahun pacar, tebuslah
degan memberi kalung atau kue atau sekadar surat atau candle light dinner.
Infeksi hati lain
adalah kegagalan. Semua orang pernah dan masih dan akan gagal. Ini infeksi hati
yang lazim. Kita tidak bisa memilih tidak gagal, tapi kita bisa mengontrol cara
merespons kegagalan. Sebab kegagalan yang tidak ditangani dengan baik akan
membuat kita melakukan generalisasi negatif, menganggap bahwa kita tidak becus
melakukan segala hal, menganggap bahwa kita adalah orang yang selalu sial
seumur hidup, dan banyak lagi.
Generalisasi negatif
ini membikin harga diri kita merosot serta rasa malu berskala besar.
Begitupun dengan
ketakutan akan kegagalan, ia akan menyengat mental dengan suatu kondisi yang
disebut keterpakuan. Inilah alasan kenapa seorang penyanyi berbakat bisa tetiba
sumbang pada detik-detik terakhir menyanyi, atau kenapa seorang pemain
lato-lato professional bisa melakukan kesalahan pada detik terakhir sebuah
kompetisi. Mereka terlalu terpaku dengan ketakutan akan gagal. Semakin takut
kita gagal, semakin kita mengalami keterpakuan, dan semakin mungkin kita gagal.
Agar lebih bisa
dimengerti, silakan ambil cangkir kopi lalu seduh dan bawa dari dapur ke ruang
tamu. Perjalanan dari dapur ke ruang tamu akan sangat mulus. Selanjutnya, ambil
cangkir kopi lalu seduh dan bawa dari dapur ke ruang tamu, bedanya, kali ini
cobalah fokus pada isi cangkir agar tak tumpah, sebagian besar yang terpaku
pada isi cangkir justru menumpahkan kopinya.
Baik kegagalan pun
ketakutan akan kegagalan, semua orang butuh support system yang kuat serta
simpati sebagai dukungan paling sehat agar tidak terjeblos pada dampak terburuk
kegagalan. Cara lain mengentaskan kegagalan adalah menemukan sisi komedi dari
tragedi yang menimpa kita. Stand Up Comedian adalah orang-orang yang bisa
dengan mudah berdamai dengan kegagalan. Latihan mengisahkan kegagalan kita
kepada orang lain adalah katarsis yang baik. Meski paradoksnya, kegagalan
seorang comedian justru terjadi ketika ia gagal membuat orang lain tertawa
ketika mendengarkan kegagalannya.
Cara lain untuk
mengatasi kegagalan, keterpakuan, dan kegelisahan adalah dengan bersiul.
Terdengar aneh, tapi silakan dicoba dan cek sendiri efektifitasnya.
Yang terakhir, adalah
rasa rendah diri atau insecurity. Infeksi
ini membuat kita merasa tidak aman, rasa percaya diri melendung, serta merasa
tidak berdaya. Ketidakberdayaan bahkan membuat kita bisa melihat lelucon
sederhana atau kekehan orang lain sebagai penghinaan dan olok-olokan.
Agar rasa rendah diri
ini bisa disembuhkan, cukup ambil 2 kertas kosong. Pada lembaran pertama, catat
minimal 10 pencapaian penting dalam hidup kamu. Sedangkan lembar kedua, tulis
sifat-sifat negatif seperti dimarahi bos, merasa diri sebagai pecundang, dan
sebagainya.
Setelah itu, ambil satu
poin penting yang menurut kamu paling bernilai di lembar pertama, buat esai
singkat minimal satu paragraf soal pencapaian itu. Segera setelah menulis esai,
remas kertas kedua sampai menjadi bola, kemudian buang ke tempat sampah atau
bakar sampai jadi abu. Besok, lakukan hal yang sama.
Beberapa solusi lain
yang disarankan pakar, adalah memperbaiki postur tubuh yang bungkuk. Jordan
Peterson pun dalam 12 Aturan Hidup mengatakan hal yang sama, semakin bungkuk
postur tubuh, semakin rasa rendah diri menjadi tinggi. Hal sepele lain tapi
mujarab adalah meremas handgrip setidaknya dua kali sehari serta belajar pakai
tangan yang tak dominan (seumpama makan pakai tangan kiri atau gosok gigi
dengan tangan kiri kalau tangan dominan kamu tangan kanan).
0 Komentar