Hopper. chop-suey-1929.jpg!PinterestSmall

 


Cara kita mencintai dibentuk oleh masyarakat, budaya, dan sejarah. Dalam suatu episode sejarah, muncul suatu paradigma Romantisisme tepat pada Abad Pertengahan di Eropa. Doktrin yang dipelihara Romantisime adalah bahwa kita semua punya belahan jiwa di luar sana, yang ditakdirkan sebagai jodoh atau cinta terakhir kita, yang memberikan perasaan istimewa yang lebih manis dari seribu madu.

 

Sebagian besar sejarah manusia selama puluhan ribu tahun perjalanan pupu kita, seorang pria dan seorang wanita menikah karena banyak faktor, dan faktor tersebut bukan “cinta” yang kita definisikan sehari-hari, tapi pernikahan karena suatu alasan rasional. Entah karena kuasa, dijodohkan, atau kepentingan ekonomi. Kriteria pernikahan yang rasional ini berunsur saling menguntungkan secara ekonomi atau politik semisal pernikahan karena kepentingan kerajaan.

 

Romantisime pun datang kemudian menampik konsep cinta seperti itu, dan berkata bahwa kita hanya akan menikah karena doroangan instingtual ini. Dan dorongan insting ini adalah upaya terus menerus mencari perasaan istimewa yang kita alami ketika ketemu seseorang, yang disebut belahan jiwa.

 

Romantisisme mengajarkan sekali kamu ketemu belahan jiwa, kamu tidak akan pernah dirajam kesepian lagi, segala hal tentangmu akan dipahami dan dipenuhi oleh orang lain. Segala perasaan, harapan, dan keinginan-keinginan akan dikonfirmasi oleh pujaan hati. Segala aib dan kerentanan yang tak kau perlihatkan ke semua orang akan ia konfirmasi dan kau tak lagi merasa asing dari dirimu sendiri.

 

Sebagaimana hewan digerakkan oleh naluri, Romantisisme berpendapat bahwa cinta bisa kita ketahui lewat insting. Banyak yang tanpa sadar menyebut insting ini sebagai “cinta pada pandangan pertama”.

 

Dongeng-dongeng Romantisime membuat kita dininabobokan dengan harapan, bahwa kita akan bahagia sampai akhir dengan cinta sejati. Ironisnya, banyak praktisi cinta romantis semacam ini yang mati muda. Di Barat kita mengenal tragedi Romeo dan Juliet, dan Timur kita kenal ironi Layla dan Majnun.

 

Seks sendiri dinilai sebagai ekspresi tertinggi dari cinta. Hubungan seksual dijadikan abstinensi terutama ketika era Victoria. Segala hal yang mengundang birahi tanpa cinta adalah nafsu menjijikan penuh ancaman dosa. Seks diglorifikasi sebagai sesuatu yang suci dan penuh hasrat, tidak lagi dilihat sebagai sarana reproduksi semata.

 

Barulah pada abad ke-19 tema-tema perselingkuhan mewarnai karya-karya sastra mengenai cinta. Tengoklah ksaih Madame Bovary, Anna Karenina, dan seterusnya dan seterusnya. Romantisisme membenci perselingkuhan, menyebutnya sebagia tragedi paling katastrofik, sebagai kekerasan terhadpa keyakinan Romantisime.

 

Segala glorifikasi cinta itu tidak disepakati Allain de Botton. Ia justru melihat Romantisisme sebagai satu-satunya musuh terbesar dari konsep cinta.

 

Allain de Botton mengingatkan bahwa kita semua punya kegilaan personal, karena itu memeriksa latar belakang calon pasangan dalam kencan pertama menjadi amatlah penting. Semua orang yang melakukan kencan pertama harusnya mempertanyakan kesetiaan terhadap lawan kencannya dan bertanya bagaimana cara lawan kencan marah dalam hubungan-hubungan sebelumnya. Ini seharusnya menjadi pertanyaan paling fundamental, tapi karena sisa-sisa cara berpikir Romantisisme, pertanyaan sepenting ini justru menjadi tidak sopan, yang hanya membuat kita menjadi lebih tidak awas terhadap dinamika psikologis diri sendiri.

 

Kenapa pertanyaan yang terkesan agresif itu penting? Karena ketika kita menikah, kita akan berhadapan dengan orang yang sama seumur hidup. Segala hal-hal baik yang kita lihat pada awal kencan akan mulai terkubur dengan hal-hal tidak menyenangkan yang mungkin akan kita hadapi seumur hidup.

 

Pada abad ke-20, terjadi pergeseran lagi mengenai konsep cinta lewat kelahiran psikoloanalisa. Ketika jatuh cinta, secara esensial kita hanya merekonstruksi pola masa kanak kita. Perkenalan pertama dengan orang yang dicintai tentu saja adalah keluarga. Ketika beranjak dewasa, kita bercermin pada ingatan masa kanak tentang bagaimana harusnya cinta dipraktikkan. Kita tidak tertarik kepada seseorang yang membikin kita bahagia, kita tertarik kepada orang yang familiar dengan masa kanak kita.

 

Psikoanalisa yang dimulai oleh Freud memandang cinta sebagai akses untuk merekonstruksi narasi masa kanak-kanak yang selama ini selalu semayam dalam alam bawah sadar kita.

 

Pada abad ke-20, konsep seks sebagai ekspresi tertinggi cinta yang suci dan bermoral, mulai bergeser. Fantasi seksual pun berkembang karena menolak direpresi oleh psikoanalisa. Justru ketika kita bicara dengan orang lain soal seks dan fantasi paling privat, maka kita memperoleh intimitas terbesar yang didasarkan pada kelegaan karena kita tidak lagi perlu malu di depan satu orang. Ini adalah penemukan paling ekskatis, yakni ketika rahasia tergelap kita diterima oleh orang lain.

 

Romantisisme mendikte kamu harus jadi diri sendiri dalam suatu hubungan. Sayang sekali, ini ktukan, karena semakin hari kita akan menyadari menjadi diri sendiri justru bikin tersandung ke masalah-masalah yang bakal menggunduk.

 

Romantisisme juga memberi kutukan lain yakni keharusan seseorang mesti selalu saling berterus terang. Sayang sekali, kejujuran dan kebenaran justru bisa lebih berbahaya daripada ketidakterusterangan atau sekadar tidak berkata kebenaran tanpa perlu berdusta. Atas nama konsep cinta yang diusung Allain de Botton, kita harus menerima adanya permainan peran. Karena keterbukaan total satu sama lain, dalam setiap peristiwa, hanya akan menjadi bom waktu untuk dua orang.

 

Pada abad ke-18 itu, hampir tidak ada satu pun yang menyinggung soal cuci baju. Akan tetapi kaum Romantik hari ini justru bertindak paradoks, sebab seorang istri sering berdebat kenapa suami suka membiarkan handuk tergeletak begitu saja di kasur atau lantai. Abad ke-19, lewat sosok Madame Bovary dalam suatu sastra klasik, Madame Bovary menyadari kalau tugasnya hanya seputar sumur, dapur, dan tilam—pokoknya segala hal yang berkaitan dengan domestic. Ia pun bertanya-tanya apa yang salah dalam hidupnya? Apa yang terjadi? Apakah ia menikah karena cinta? Ia ternyata bukan seorang tuan puteri yang tinggal di suatu puri.

 

Doktrin berbahaya lain dari Romantisisme adalah, dua orang yang saling mencintai, bisa saling memahami tanpa perlu bicara satu sama lain. Dalam jangka waktu pendek, ini permainan tebak-tebakan yang seru, manis, dan magis. Tapi dalam jangka panjang, percayalah hanya akan memupuk bencana.

 

Romantisisme bertanggung jawab atas peningkatan besar-besaran kebiasaan merajuk dalam hubugan romantis, gegara keyakinan bahwa dalam cinta, adalah hal yang alamiah untuk memahami tanpa perantara kata-kata. Romantisime mendikte, merajuk adalah keterlukaan karena orang lain, adalah luka yang orang lain berikan kepadamu. Bahwa kau tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadanya, karena suatu alasan sederhana, bahwa ia pasti akan mencintai kamu, dan kalau ia mencintai kamu, maka ia harusnya tahu apa yang kamu mau tanpa perlu bicara. “Ini sangat, sangat, sangat berbahaya,” tegas Botton.

 

Bagi orang yang kerap menjadi korban dari kata “terserah”, mari lawan Romantisime yang mengutuk kita untuk menjadi seorang pembaca pikiran.

 

Allain de Botton lebih tertarik dengan visi Yunani mengenai konsep cinta yang bijaksana. Bagi masyarakat Yaunani, cinta adalah ketertarikan terhadap kesempurnaan dan kebajikan dan penerimaan; setiap kali kita melihat kebajikan dan penerimaan, kita merasakan sensasi cinta, kita bakal lebih bertoleransi terhadap ketidaksempurnaan, kerentanan, kerapuhan, kerangupan, dan hal-hal buruk lain. Yunani mengenmbangkan visi bahwa senasi paling nyata dari cinta adalah fokus pada kesempurnaan dan penerimaan.

 

Kebijaksanaan Yunani itu pun melihat cinta sebagia proses pendidikan dua arah. Seorang kekasih harus mendidik kekasihnya dan vice versa, demi menjadi versi terbaik dari diri mereka. Dan mereka tidak boleh kejam, tidak boleh membuat salah satu jatuh, tapi karena mereka memiliki ketertarikan terbaik atas kualitas orang yang mereka kasihi.

 

Cinta kemudian dilihat sebagai proses dinamis antara guru dan murid yang saling bertukar peran. Dan ini adalah satu-satunya cara cinta bisa bekerja. Sayang seribu sayang, kita semua adalah guru yan gpayah. Hampir setiap argument ada sesuatu yang kamu ungkap, tapi justru meledak dengan gegabah sebagai semburan kata-kata. Kita guru yang payah karena ktia tidak punya legitimasi untuk menggurui, dan kita kita kalem, dan kita tidak relaks.

 

Gagasan permainan peran sebagai guru-murid dari Yunani, membuat kita merasa bahwa pasangan kita adalah idot. Merasa seumur hidup menikah dengan orang yang tidak paham hal yang paling fundamental, yang paling penting, dan orang tersebut tidak mendengarmu, dan kamu hanya akan meningkatkan tekanan darah dan tensi, dan kamu akan semakin tidak sopan, dan mulai untuk mengkritik, dan potensi-potensi penghinaan atau sekadar satire akan tiba.

 

Masalah terbesarnya memang, tidak ada satu pun yang mampu menggurui orang lain dengan mengkritisi mereka—apalagi mengungkit karakter.

 

Fakta bahwa konsep cinta bisa bergeser, bisa berubah, dinamis, bisa didekonstruksi dan direkonstruksi berulang-ulang membuat Allain de Botton menawarkan suatu ajakan: kita harus merekonstruksi ulang cara kita mencintai.

 

Kita tidak perlu mengurangi ekspektasi soal konsep mencintai. Kita justru harus memasang ekspektasi tinggi. Masalah Romantisisme adalah ekspektasi yang ditawarkan sudah terlalu mentereng. Kita perlu mengakui bahwa cinta bukanlah sesuatu yang sedang kau rasakan dalam dada, cinta bukanlah intuisi, tapi keterampilan yang dipelajari. Salah satu keterampilan terpenting ini adalah membayangkan bahwa pasangan kamu adalah anak berusia 2 atau 3 tahun.

 

Hal terwahid yang mesti kita pahami, mari berhenti memperlakukan pasangan kita sebagai orang dewasa, mari melihat dan memperlakukan mereka sebagaimana anak kecil. Dengan melihat pasangan sebagai anak berumur 2 atau 3 tahun, maka kita bisa lebih tolerir. Kita adalah makhluk yang sangat baik ketika berkomunikasi dengan anak kecil.

 

Botton juga menegaskan pentingnya membangun selera humor dalam suatu hubungan. Dengan selera humor yang terasah, kamu bisa melihat orang lain sebagai idiot kesayangan dan itu adalah tanda dari cinta. Kita bsia mengubah perspektif bahwa pasangan kita yang awalnya idiot, menjadi idiot yang paling kita sayangi. Ketika perspektif ini tertanam dan terkonversi dalam kebiasaan sehari-hari, maka kita sudah khatam pelajaran terpenting mengenai cinta.

 

Pada awalnya, kita semua berharap ketemu dengan orang yang sempurna. Tapi pada akhirnya, kita harus memilih variasi penderitaan apa yang bisa kita jalani sepenuh hati. Cara mencintai yang ditawarkan Allain de Botton ini bukan dengan dingin, bukan dengan sinisme atau pesimisme, tapi dengan keyakinan sehat bahwa semua orang bisa merakit hubungan yang baik, yakni dengan membuang semua ilusi Romantisisme dalam otak kita.