Cara kita mencintai dibentuk oleh
masyarakat, budaya, dan sejarah. Dalam suatu episode sejarah, muncul suatu
paradigma Romantisisme tepat pada Abad Pertengahan di Eropa. Doktrin yang
dipelihara Romantisime adalah bahwa kita semua punya belahan jiwa di luar sana,
yang ditakdirkan sebagai jodoh atau cinta terakhir kita, yang memberikan
perasaan istimewa yang lebih manis dari seribu madu.
Sebagian besar sejarah manusia
selama puluhan ribu tahun perjalanan pupu kita, seorang pria dan seorang wanita
menikah karena banyak faktor, dan faktor tersebut bukan “cinta” yang kita
definisikan sehari-hari, tapi pernikahan karena suatu alasan rasional. Entah
karena kuasa, dijodohkan, atau kepentingan ekonomi. Kriteria pernikahan yang
rasional ini berunsur saling menguntungkan secara ekonomi atau politik semisal
pernikahan karena kepentingan kerajaan.
Romantisime pun datang kemudian
menampik konsep cinta seperti itu, dan berkata bahwa kita hanya akan menikah
karena doroangan instingtual ini. Dan dorongan insting ini adalah upaya terus
menerus mencari perasaan istimewa yang kita alami ketika ketemu seseorang, yang
disebut belahan jiwa.
Romantisisme mengajarkan sekali
kamu ketemu belahan jiwa, kamu tidak akan pernah dirajam kesepian lagi, segala
hal tentangmu akan dipahami dan dipenuhi oleh orang lain. Segala perasaan,
harapan, dan keinginan-keinginan akan dikonfirmasi oleh pujaan hati. Segala aib
dan kerentanan yang tak kau perlihatkan ke semua orang akan ia konfirmasi dan
kau tak lagi merasa asing dari dirimu sendiri.
Sebagaimana hewan digerakkan oleh
naluri, Romantisisme berpendapat bahwa cinta bisa kita ketahui lewat insting.
Banyak yang tanpa sadar menyebut insting ini sebagai “cinta pada pandangan
pertama”.
Dongeng-dongeng Romantisime membuat
kita dininabobokan dengan harapan, bahwa kita akan bahagia sampai akhir dengan
cinta sejati. Ironisnya, banyak praktisi cinta romantis semacam ini yang mati
muda. Di Barat kita mengenal tragedi Romeo dan Juliet, dan Timur kita kenal
ironi Layla dan Majnun.
Seks sendiri dinilai sebagai
ekspresi tertinggi dari cinta. Hubungan seksual dijadikan abstinensi terutama
ketika era Victoria. Segala hal yang mengundang birahi tanpa cinta adalah nafsu
menjijikan penuh ancaman dosa. Seks diglorifikasi sebagai sesuatu yang suci dan
penuh hasrat, tidak lagi dilihat sebagai sarana reproduksi semata.
Barulah pada abad ke-19 tema-tema
perselingkuhan mewarnai karya-karya sastra mengenai cinta. Tengoklah ksaih
Madame Bovary, Anna Karenina, dan seterusnya dan seterusnya. Romantisisme
membenci perselingkuhan, menyebutnya sebagia tragedi paling katastrofik,
sebagai kekerasan terhadpa keyakinan Romantisime.
Segala glorifikasi cinta itu tidak
disepakati Allain de Botton. Ia justru melihat Romantisisme sebagai
satu-satunya musuh terbesar dari konsep cinta.
Allain de Botton mengingatkan bahwa
kita semua punya kegilaan personal, karena itu memeriksa latar belakang calon
pasangan dalam kencan pertama menjadi amatlah penting. Semua orang yang
melakukan kencan pertama harusnya mempertanyakan kesetiaan terhadap lawan
kencannya dan bertanya bagaimana cara lawan kencan marah dalam
hubungan-hubungan sebelumnya. Ini seharusnya menjadi pertanyaan paling
fundamental, tapi karena sisa-sisa cara berpikir Romantisisme, pertanyaan
sepenting ini justru menjadi tidak sopan, yang hanya membuat kita menjadi lebih
tidak awas terhadap dinamika psikologis diri sendiri.
Kenapa pertanyaan yang terkesan
agresif itu penting? Karena ketika kita menikah, kita akan berhadapan dengan
orang yang sama seumur hidup. Segala hal-hal baik yang kita lihat pada awal
kencan akan mulai terkubur dengan hal-hal tidak menyenangkan yang mungkin akan
kita hadapi seumur hidup.
Pada abad ke-20, terjadi pergeseran
lagi mengenai konsep cinta lewat kelahiran psikoloanalisa. Ketika jatuh cinta,
secara esensial kita hanya merekonstruksi pola masa kanak kita. Perkenalan
pertama dengan orang yang dicintai tentu saja adalah keluarga. Ketika beranjak
dewasa, kita bercermin pada ingatan masa kanak tentang bagaimana harusnya cinta
dipraktikkan. Kita tidak tertarik kepada seseorang yang membikin kita bahagia,
kita tertarik kepada orang yang familiar dengan masa kanak kita.
Psikoanalisa yang dimulai oleh
Freud memandang cinta sebagai akses untuk merekonstruksi narasi masa
kanak-kanak yang selama ini selalu semayam dalam alam bawah sadar kita.
Pada abad ke-20, konsep seks
sebagai ekspresi tertinggi cinta yang suci dan bermoral, mulai bergeser.
Fantasi seksual pun berkembang karena menolak direpresi oleh psikoanalisa.
Justru ketika kita bicara dengan orang lain soal seks dan fantasi paling
privat, maka kita memperoleh intimitas terbesar yang didasarkan pada kelegaan
karena kita tidak lagi perlu malu di depan satu orang. Ini adalah penemukan
paling ekskatis, yakni ketika rahasia tergelap kita diterima oleh orang lain.
Romantisisme mendikte kamu harus
jadi diri sendiri dalam suatu hubungan. Sayang sekali, ini ktukan, karena
semakin hari kita akan menyadari menjadi diri sendiri justru bikin tersandung
ke masalah-masalah yang bakal menggunduk.
Romantisisme juga memberi kutukan
lain yakni keharusan seseorang mesti selalu saling berterus terang. Sayang
sekali, kejujuran dan kebenaran justru bisa lebih berbahaya daripada
ketidakterusterangan atau sekadar tidak berkata kebenaran tanpa perlu berdusta.
Atas nama konsep cinta yang diusung Allain de Botton, kita harus menerima
adanya permainan peran. Karena keterbukaan total satu sama lain, dalam setiap
peristiwa, hanya akan menjadi bom waktu untuk dua orang.
Pada abad ke-18 itu, hampir tidak
ada satu pun yang menyinggung soal cuci baju. Akan tetapi kaum Romantik hari
ini justru bertindak paradoks, sebab seorang istri sering berdebat kenapa suami
suka membiarkan handuk tergeletak begitu saja di kasur atau lantai. Abad ke-19,
lewat sosok Madame Bovary dalam suatu sastra klasik, Madame Bovary menyadari
kalau tugasnya hanya seputar sumur, dapur, dan tilam—pokoknya segala hal yang
berkaitan dengan domestic. Ia pun bertanya-tanya apa yang salah dalam hidupnya?
Apa yang terjadi? Apakah ia menikah karena cinta? Ia ternyata bukan seorang
tuan puteri yang tinggal di suatu puri.
Doktrin berbahaya lain dari
Romantisisme adalah, dua orang yang saling mencintai, bisa saling memahami
tanpa perlu bicara satu sama lain. Dalam jangka waktu pendek, ini permainan
tebak-tebakan yang seru, manis, dan magis. Tapi dalam jangka panjang,
percayalah hanya akan memupuk bencana.
Romantisisme bertanggung jawab atas
peningkatan besar-besaran kebiasaan merajuk dalam hubugan romantis, gegara
keyakinan bahwa dalam cinta, adalah hal yang alamiah untuk memahami tanpa
perantara kata-kata. Romantisime mendikte, merajuk adalah keterlukaan karena
orang lain, adalah luka yang orang lain berikan kepadamu. Bahwa kau tidak perlu
menjelaskan apa-apa kepadanya, karena suatu alasan sederhana, bahwa ia pasti
akan mencintai kamu, dan kalau ia mencintai kamu, maka ia harusnya tahu apa
yang kamu mau tanpa perlu bicara. “Ini sangat, sangat, sangat berbahaya,” tegas
Botton.
Bagi orang yang kerap menjadi
korban dari kata “terserah”, mari lawan Romantisime yang mengutuk kita untuk
menjadi seorang pembaca pikiran.
Allain de Botton lebih tertarik
dengan visi Yunani mengenai konsep cinta yang bijaksana. Bagi masyarakat
Yaunani, cinta adalah ketertarikan terhadap kesempurnaan dan kebajikan dan
penerimaan; setiap kali kita melihat kebajikan dan penerimaan, kita merasakan
sensasi cinta, kita bakal lebih bertoleransi terhadap ketidaksempurnaan,
kerentanan, kerapuhan, kerangupan, dan hal-hal buruk lain. Yunani
mengenmbangkan visi bahwa senasi paling nyata dari cinta adalah fokus pada
kesempurnaan dan penerimaan.
Kebijaksanaan Yunani itu pun
melihat cinta sebagia proses pendidikan dua arah. Seorang kekasih harus
mendidik kekasihnya dan vice versa, demi
menjadi versi terbaik dari diri mereka. Dan mereka tidak boleh kejam, tidak
boleh membuat salah satu jatuh, tapi karena mereka memiliki ketertarikan
terbaik atas kualitas orang yang mereka kasihi.
Cinta kemudian dilihat sebagai
proses dinamis antara guru dan murid yang saling bertukar peran. Dan ini adalah
satu-satunya cara cinta bisa bekerja. Sayang seribu sayang, kita semua adalah
guru yan gpayah. Hampir setiap argument ada sesuatu yang kamu ungkap, tapi
justru meledak dengan gegabah sebagai semburan kata-kata. Kita guru yang payah
karena ktia tidak punya legitimasi untuk menggurui, dan kita kita kalem, dan
kita tidak relaks.
Gagasan permainan peran sebagai
guru-murid dari Yunani, membuat kita merasa bahwa pasangan kita adalah idot.
Merasa seumur hidup menikah dengan orang yang tidak paham hal yang paling
fundamental, yang paling penting, dan orang tersebut tidak mendengarmu, dan
kamu hanya akan meningkatkan tekanan darah dan tensi, dan kamu akan semakin
tidak sopan, dan mulai untuk mengkritik, dan potensi-potensi penghinaan atau
sekadar satire akan tiba.
Masalah terbesarnya memang, tidak
ada satu pun yang mampu menggurui orang lain dengan mengkritisi mereka—apalagi
mengungkit karakter.
Fakta bahwa konsep cinta bisa
bergeser, bisa berubah, dinamis, bisa didekonstruksi dan direkonstruksi
berulang-ulang membuat Allain de Botton menawarkan suatu ajakan: kita harus
merekonstruksi ulang cara kita mencintai.
Kita tidak perlu mengurangi
ekspektasi soal konsep mencintai. Kita justru harus memasang ekspektasi tinggi.
Masalah Romantisisme adalah ekspektasi yang ditawarkan sudah terlalu mentereng.
Kita perlu mengakui bahwa cinta bukanlah sesuatu yang sedang kau rasakan dalam
dada, cinta bukanlah intuisi, tapi keterampilan yang dipelajari. Salah satu
keterampilan terpenting ini adalah membayangkan bahwa pasangan kamu adalah anak
berusia 2 atau 3 tahun.
Hal terwahid yang mesti kita
pahami, mari berhenti memperlakukan pasangan kita sebagai orang dewasa, mari
melihat dan memperlakukan mereka sebagaimana anak kecil. Dengan melihat
pasangan sebagai anak berumur 2 atau 3 tahun, maka kita bisa lebih tolerir.
Kita adalah makhluk yang sangat baik ketika berkomunikasi dengan anak kecil.
Botton juga menegaskan pentingnya
membangun selera humor dalam suatu hubungan. Dengan selera humor yang terasah,
kamu bisa melihat orang lain sebagai idiot kesayangan dan itu adalah tanda dari
cinta. Kita bsia mengubah perspektif bahwa pasangan kita yang awalnya idiot,
menjadi idiot yang paling kita sayangi. Ketika perspektif ini tertanam dan
terkonversi dalam kebiasaan sehari-hari, maka kita sudah khatam pelajaran
terpenting mengenai cinta.
Pada awalnya, kita semua berharap
ketemu dengan orang yang sempurna. Tapi pada akhirnya, kita harus memilih
variasi penderitaan apa yang bisa kita jalani sepenuh hati. Cara mencintai yang
ditawarkan Allain de Botton ini bukan dengan dingin, bukan dengan sinisme atau
pesimisme, tapi dengan keyakinan sehat bahwa semua orang bisa merakit hubungan
yang baik, yakni dengan membuang semua ilusi Romantisisme dalam otak kita.
0 Komentar