Nova Riyanti datang ke suatu pameran, mencoba menangkap suasana batin pelukis dengan intuisinya sendiri. Ketika asyik mengagumi, seseorang membuat Nova terkelu, dengan fakta bahwa pelukis yang sedang ia amati karyanya itu meninggal bunuh diri.
Bunuh diri adalah
sesuatu yang kompleks, yang sangat personal. Dari pengalaman di pameran itu,
Nova pun menulis buku “Jelajah Jiwa; Hapus Stigma: Autopsi Psikologis Bunuh
Diri Dua Pelukis”. Objek penelitian buku itu adalah dua pelukis yang memilih
mati dengan cara sama, inisialnya AS dan FA.
Sejak tahun 2020, topik
bunuh diri sudah menjadi salah satu yang menagih rasa penasaran besar di dada
saya. Pemicunya, kejadian yang menimpa seorang junior dekat di organisasi, pada
pertengahan 2020. Ia teman dekat kedua yang bundir. Yang pertama adalah seorang
kakak kelas SMP. Mereka berdua, terlihat baik-baik saja, ramah-ramah saja kalau
ketemu. Bahkan junior yang wafat dua tahun lalu, masih sempat ketemu dan
memperkenalkan pacarnya ke saya beberapa minggu sebelum bundir.
Kala itu pagbeluk
sedang memerangkap kita dengan kuncitara. Berita bundir, dan kesepian, dan
kesedihan karena isolasi, dan mimpi buruk, membuat saya bertanya-tanya tentang
motif dasar seseorang bunuh diri. Apalagi sepanjang pageblug, jumlah korban bundir
meningkat drastis. Sampai Korea saja angkanya bisa melampaui Jepang. Jepang
bahkan bikin kementerian khusus namanya Menteri Kesepian.
Bundir adalah salah
satu topik yang mengusik dan membuat saya gemes sudah dua tahun lebih ini.
Karena itu saya tertarik dengan buku Nova Riyanti Yusuf, mencoba menggali
pemahaman lebih jauh.
Alasan lain mungkin
karena salah satu sosiolog klasik favoritku adalah Emilie Durkheim. Dalam Le Suicide, tindakan individual berupa
bunuh diri tidak terlepas dari pengaruh eksternal atau pengaruh sosial oleh
Durkheim. Ia membagi empat jenis bundir:
1. Bundir egoistic: terjadi karena kurang kuatnya integrasi sosial. Isolasi
radikal apalagi. Kejadian ini sering kejadian di kota di mana integrasi sosial
antara individu kurang hangat dan karib.
2. Bundir altruistic:
bundir demii masyarakat. Semisal bom bunuh diri atau kamikaze di Jepang di
tengah medan perang.
3. Bundir anomik:
terjadi di masyarakat yang tak mengenal norma.
4. Bundir fatalistic:
bundir yang terjadi karena aturan suatu negara atau masyarakat terlalu ketat
dan membelenggu.
Dulu saya pernah
mencuit di Twitter, kelak, setidaknya satu orang akan punya satu teman yang
menjadi korban bunuh diri. Saya juga pernah mencuit kalau kelak bakal ada ilmu
khusus yang mempelajari bunuh diri. Cuitan pertama masih terlalu dini untuk
dibuktikan, sedangkan cuitan kedua, ternyata sudah bisa dikonfirmasi. Sudah ada
disiplin ilmu khusus buat ini, ykani Suicidology.
Dari Suicidology ini,
kita bisa mempelajari data-data bundir seperti berdasarkan gender bahkan sampai
status seseorang. Berdasarkan gender, jumlah bundir lebih banyak terjadi di
kalangan pria ketimbang perempuan. Untuk perempuan sendiri, yang lebih sering
terjadi adalah percobaan bunuh diri, sehingga kerap disebut sebagai appeal to help (sebuah upaya untuk
memohon pertolongan) alih-alih mengakhiri kehidupan.
Secara metode, ada
perbedaan yang sangat mencolok dalam bundir kedua gender ini. Laki-laki
cenderung keras seperti menembak pistol, gantung diri, dan loncat dari lantai
tinggi. Sedangkan perempuan bisa berupa menenggelamkan diri atau sekadar minum
racun seperti yang Romeo kira dilakukan oleh Juliet. Di titik ini, aku
penasaran, kalau Lucinta Luna bunuh diri, metode apa yang akan dipakai? Mungkin
loncat dari Burj Kalifa sambil menegak arsenic.
Selain itu data juga
menunjukkan kalau orang jomlo punya risiko bunuh diri dua kali lipat ketimbang
orang yang sudah menikah. Sedangkan seorang duda atua janda punya risiko bunuh
diri empat sampai lima kali lipat bundir ketimbang yang masih menikah. Ini
artinya kalau mau selamat dari diri sendiri, menikahlah, kalau mau lebih
selamat lagi, usahakan jangan cerai. Lebih baik dibunuh istri sendiri ketimbang
bunuh diri.
Kembali ke awal sekali.
Nova meneliti, atau pakailah istilahnya, mengotoposi psikobiosiosial dari
pelukis AS dan FA sehingga memutuskan bunuh diri. Buku Nova begitu ketat secara
ilmiah, dan barangkali mencoba merangkum semua wawancara dengan metode life history agar pendapat-pendapat
subjektif dari wawancara bisa memperoleh legitimasi yang lebih ilmiah. Upaya
yang penuh jerih, dan tentu saja, banyak memunculkan fakta menarik.
Dari banyak wawancara
(keluarga, teman kuliah, sampai mantan pacar), ternyata AS adalah seseorang
yang sering sholat lima waktu bahkan suka puasa Senin-Kamis. Bentrok sekali
dengan asumsi kalau agama bisa menjauhkan seseorang dari bunuh diri. Kalau ada
orang yang ingin bunuh diri lalu dinasihati mufti atau seorang padri, tolong
suruh mereka baca buku Nova. Lagipula menyuruh orang depresi untuk sholat,
tidak menjamin korban bunuh diri masuk surga.
Masalah utama yang
membuat mental saya ikut terbentur adalah, kenyataan bahwa bunuh diri bukan
hanya masalah individual, tapi masalah bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada
survivalitas yang tak gampang bagi keluarga yang ditinggalkan. Bunuh diri
mewariskan penyesalan tak berkesudahan bagi keluarga, yang tak rasa penasaran
terhadap motif bunuh dirinya bahkan tak diketahui, dan dengan penuh sesal
mereka ada yang menghukum diri sendiri secara berlebihan karena tidak mengenal
anggota keluarganya sendiri. Bunuh diir bukan sekadar masalah individual, tapi
masalah komunal.
Ketika jasad AS
ditemukan bundir, keluarga butuh waktu lama untuk memberitakan fakta kematian
anak mereka. Dalam keluarga normal, sudah barang tentu malu untuk memberitahu
kematian anggota keluarganya dengan cara tak normal. Tapi ayah AS berusaha
lebih berbesar hati, dan meminta orang-orang mengabarkan anaknya meninggal
dengan cara bunuh diri.
Tentu ada pergulatan
yang tak mudah. Ayah AS butuh waktu satu tahun untuk benar-benar merasa sedikit
lebih stabil dari hari di mana ia menemukan anaknya bunuh diri. Sedangkan ibu
AS satu tahun lebih tidak keluar kemana-mana, bahkan ke pasar sekalipun ia
takut.
Keluarga FS menjalani
hidup yang serupa. Bahkan lebih sulit. Ibu FA bahkan sampai sekerang masih
menyangkal bahwa anaknya mati akibat bunuh diri. Hingga detik ini, ibu FA sama
sekali tidak pernah mengunjungi kedua anaknya yang kuliah di Yogyakarta, karena
itu daerah di mana anaknya bunuh diri memilih mati dengan cara yang tak pernah
ia ingini.
Pencegahan bundir bukan
sekadar melindungi calon korban bundir untuk mengakhiri hidupnya, tapi jug
amelindungi keluarga yang ditinggalkan dari rasa bersalah yang radikal dan
suram. Atas dasar itu, Nova mengecap novel yang diadaptasi menjadi film
bertajuk 13 Reasons Why yang tanpa sadar telah mensosialisasikan buunuh diri di
klangan remaja dengan meromantisasi metode bunuh diri secara gamblang. Sbuah
data mengungkap pada tahun 2017, ada korelasi di mana film ini ditayang dan
peningkatan jumlah bunuh diri sebanyak 28,9% di kalangan remaja usia 10-17
tahun di AS.
Kritik dan evaluasi
lain dari Nova adalah masih banyak negara dengan sistem pencatatan bunuh diri
yang kurang akurat, yang barangkali, menurutku, karena ini masih kasus tabu di
masyarakat kita. Ketika mencari data bunuh diri di provinsi saya, Sulawesi
Utara, betapa susah untuk emncari data yang akurat tentang berapa jumlah bunuh
diri dalam setahun. Ada data yang tumpang tindih, serta informasi yang tidak
jelas.
Yang membuat saya
terkejut pisan, ternyata penulis buku ini selain pengagum tulisan dan penggemar
Ernerst Hemmingway, juga adalah mantan anggota DPR RI. Tepatnya Komisi IX DPR
RI, ia mengeksekusi bahan pikirannya bukan sekadar sebagai rekomendasi akademik
melainkan dalam paket kebijakan politik di mana ia mendorong Kementerian
Kesehatan untuk membuat Hotline Servive untuk
pengaduan bundir.
Pesan terakhir Nova
dalam buku ini, bahwa bunh diri adalah sesuatu yang amat kompleks dan personal.
Yang tak boleh direduksi dalam dikotomi dosa atau tidak dosa oleh orang yang
sok tahu serta sok lebih bermoral. Saya sepakat. Bundir harus dihapus
stigmanya. Korban harus dilihat sebagai korban, bukan pelaku.
Setelah baca buku ini,
aku baru sadar bahwa UU Kesehatan Jiwa belum banyak di-breakdown menjadi Perda. Sejauh ini, daerah dengan Perda bundir
baru ada di Bandung, sejauh yang aku tahu. Di daerahku, BMR, atau lebih luas
lagi provinsi Sulawesi Utara, belum punya perda yang berkaitan dengan kesehatan
mental. Dan ini bisa jadi rekomendasi politik yang baik sebagai aspirasi buat
pemerintah daerah kita masing-masing.
0 Komentar