Pagar Diri - Febri Antoni

 


Nova Riyanti datang ke suatu pameran, mencoba menangkap suasana batin pelukis dengan intuisinya sendiri. Ketika asyik mengagumi, seseorang membuat Nova terkelu, dengan fakta bahwa pelukis yang sedang ia amati karyanya itu meninggal bunuh diri.

 

Bunuh diri adalah sesuatu yang kompleks, yang sangat personal. Dari pengalaman di pameran itu, Nova pun menulis buku “Jelajah Jiwa; Hapus Stigma: Autopsi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis”. Objek penelitian buku itu adalah dua pelukis yang memilih mati dengan cara sama, inisialnya AS dan FA.

 

Sejak tahun 2020, topik bunuh diri sudah menjadi salah satu yang menagih rasa penasaran besar di dada saya. Pemicunya, kejadian yang menimpa seorang junior dekat di organisasi, pada pertengahan 2020. Ia teman dekat kedua yang bundir. Yang pertama adalah seorang kakak kelas SMP. Mereka berdua, terlihat baik-baik saja, ramah-ramah saja kalau ketemu. Bahkan junior yang wafat dua tahun lalu, masih sempat ketemu dan memperkenalkan pacarnya ke saya beberapa minggu sebelum bundir.

 

Kala itu pagbeluk sedang memerangkap kita dengan kuncitara. Berita bundir, dan kesepian, dan kesedihan karena isolasi, dan mimpi buruk, membuat saya bertanya-tanya tentang motif dasar seseorang bunuh diri. Apalagi sepanjang pageblug, jumlah korban bundir meningkat drastis. Sampai Korea saja angkanya bisa melampaui Jepang. Jepang bahkan bikin kementerian khusus namanya Menteri Kesepian.

 

Bundir adalah salah satu topik yang mengusik dan membuat saya gemes sudah dua tahun lebih ini. Karena itu saya tertarik dengan buku Nova Riyanti Yusuf, mencoba menggali pemahaman lebih jauh.

 

Alasan lain mungkin karena salah satu sosiolog klasik favoritku adalah Emilie Durkheim. Dalam Le Suicide, tindakan individual berupa bunuh diri tidak terlepas dari pengaruh eksternal atau pengaruh sosial oleh Durkheim. Ia membagi empat jenis bundir:
1. Bundir egoistic: terjadi karena kurang kuatnya integrasi sosial. Isolasi radikal apalagi. Kejadian ini sering kejadian di kota di mana integrasi sosial antara individu kurang hangat dan karib.

2. Bundir altruistic: bundir demii masyarakat. Semisal bom bunuh diri atau kamikaze di Jepang di tengah medan perang.

3. Bundir anomik: terjadi di masyarakat yang tak mengenal norma.

4. Bundir fatalistic: bundir yang terjadi karena aturan suatu negara atau masyarakat terlalu ketat dan membelenggu.

 

Dulu saya pernah mencuit di Twitter, kelak, setidaknya satu orang akan punya satu teman yang menjadi korban bunuh diri. Saya juga pernah mencuit kalau kelak bakal ada ilmu khusus yang mempelajari bunuh diri. Cuitan pertama masih terlalu dini untuk dibuktikan, sedangkan cuitan kedua, ternyata sudah bisa dikonfirmasi. Sudah ada disiplin ilmu khusus buat ini, ykani Suicidology.

 

Dari Suicidology ini, kita bisa mempelajari data-data bundir seperti berdasarkan gender bahkan sampai status seseorang. Berdasarkan gender, jumlah bundir lebih banyak terjadi di kalangan pria ketimbang perempuan. Untuk perempuan sendiri, yang lebih sering terjadi adalah percobaan bunuh diri, sehingga kerap disebut sebagai appeal to help (sebuah upaya untuk memohon pertolongan) alih-alih mengakhiri kehidupan.

 

Secara metode, ada perbedaan yang sangat mencolok dalam bundir kedua gender ini. Laki-laki cenderung keras seperti menembak pistol, gantung diri, dan loncat dari lantai tinggi. Sedangkan perempuan bisa berupa menenggelamkan diri atau sekadar minum racun seperti yang Romeo kira dilakukan oleh Juliet. Di titik ini, aku penasaran, kalau Lucinta Luna bunuh diri, metode apa yang akan dipakai? Mungkin loncat dari Burj Kalifa sambil menegak arsenic.

 

Selain itu data juga menunjukkan kalau orang jomlo punya risiko bunuh diri dua kali lipat ketimbang orang yang sudah menikah. Sedangkan seorang duda atua janda punya risiko bunuh diri empat sampai lima kali lipat bundir ketimbang yang masih menikah. Ini artinya kalau mau selamat dari diri sendiri, menikahlah, kalau mau lebih selamat lagi, usahakan jangan cerai. Lebih baik dibunuh istri sendiri ketimbang bunuh diri.

 

Kembali ke awal sekali. Nova meneliti, atau pakailah istilahnya, mengotoposi psikobiosiosial dari pelukis AS dan FA sehingga memutuskan bunuh diri. Buku Nova begitu ketat secara ilmiah, dan barangkali mencoba merangkum semua wawancara dengan metode life history agar pendapat-pendapat subjektif dari wawancara bisa memperoleh legitimasi yang lebih ilmiah. Upaya yang penuh jerih, dan tentu saja, banyak memunculkan fakta menarik.

 

Dari banyak wawancara (keluarga, teman kuliah, sampai mantan pacar), ternyata AS adalah seseorang yang sering sholat lima waktu bahkan suka puasa Senin-Kamis. Bentrok sekali dengan asumsi kalau agama bisa menjauhkan seseorang dari bunuh diri. Kalau ada orang yang ingin bunuh diri lalu dinasihati mufti atau seorang padri, tolong suruh mereka baca buku Nova. Lagipula menyuruh orang depresi untuk sholat, tidak menjamin korban bunuh diri masuk surga.

 

Masalah utama yang membuat mental saya ikut terbentur adalah, kenyataan bahwa bunuh diri bukan hanya masalah individual, tapi masalah bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada survivalitas yang tak gampang bagi keluarga yang ditinggalkan. Bunuh diri mewariskan penyesalan tak berkesudahan bagi keluarga, yang tak rasa penasaran terhadap motif bunuh dirinya bahkan tak diketahui, dan dengan penuh sesal mereka ada yang menghukum diri sendiri secara berlebihan karena tidak mengenal anggota keluarganya sendiri. Bunuh diir bukan sekadar masalah individual, tapi masalah komunal.

 

Ketika jasad AS ditemukan bundir, keluarga butuh waktu lama untuk memberitakan fakta kematian anak mereka. Dalam keluarga normal, sudah barang tentu malu untuk memberitahu kematian anggota keluarganya dengan cara tak normal. Tapi ayah AS berusaha lebih berbesar hati, dan meminta orang-orang mengabarkan anaknya meninggal dengan cara bunuh diri.

 

Tentu ada pergulatan yang tak mudah. Ayah AS butuh waktu satu tahun untuk benar-benar merasa sedikit lebih stabil dari hari di mana ia menemukan anaknya bunuh diri. Sedangkan ibu AS satu tahun lebih tidak keluar kemana-mana, bahkan ke pasar sekalipun ia takut.

 

Keluarga FS menjalani hidup yang serupa. Bahkan lebih sulit. Ibu FA bahkan sampai sekerang masih menyangkal bahwa anaknya mati akibat bunuh diri. Hingga detik ini, ibu FA sama sekali tidak pernah mengunjungi kedua anaknya yang kuliah di Yogyakarta, karena itu daerah di mana anaknya bunuh diri memilih mati dengan cara yang tak pernah ia ingini.

 

Pencegahan bundir bukan sekadar melindungi calon korban bundir untuk mengakhiri hidupnya, tapi jug amelindungi keluarga yang ditinggalkan dari rasa bersalah yang radikal dan suram. Atas dasar itu, Nova mengecap novel yang diadaptasi menjadi film bertajuk 13 Reasons Why yang tanpa sadar telah mensosialisasikan buunuh diri di klangan remaja dengan meromantisasi metode bunuh diri secara gamblang. Sbuah data mengungkap pada tahun 2017, ada korelasi di mana film ini ditayang dan peningkatan jumlah bunuh diri sebanyak 28,9% di kalangan remaja usia 10-17 tahun di AS.

 

Kritik dan evaluasi lain dari Nova adalah masih banyak negara dengan sistem pencatatan bunuh diri yang kurang akurat, yang barangkali, menurutku, karena ini masih kasus tabu di masyarakat kita. Ketika mencari data bunuh diri di provinsi saya, Sulawesi Utara, betapa susah untuk emncari data yang akurat tentang berapa jumlah bunuh diri dalam setahun. Ada data yang tumpang tindih, serta informasi yang tidak jelas.

 

Yang membuat saya terkejut pisan, ternyata penulis buku ini selain pengagum tulisan dan penggemar Ernerst Hemmingway, juga adalah mantan anggota DPR RI. Tepatnya Komisi IX DPR RI, ia mengeksekusi bahan pikirannya bukan sekadar sebagai rekomendasi akademik melainkan dalam paket kebijakan politik di mana ia mendorong Kementerian Kesehatan untuk membuat Hotline Servive untuk pengaduan bundir.

 

Pesan terakhir Nova dalam buku ini, bahwa bunh diri adalah sesuatu yang amat kompleks dan personal. Yang tak boleh direduksi dalam dikotomi dosa atau tidak dosa oleh orang yang sok tahu serta sok lebih bermoral. Saya sepakat. Bundir harus dihapus stigmanya. Korban harus dilihat sebagai korban, bukan pelaku.

 

Setelah baca buku ini, aku baru sadar bahwa UU Kesehatan Jiwa belum banyak di-breakdown menjadi Perda. Sejauh ini, daerah dengan Perda bundir baru ada di Bandung, sejauh yang aku tahu. Di daerahku, BMR, atau lebih luas lagi provinsi Sulawesi Utara, belum punya perda yang berkaitan dengan kesehatan mental. Dan ini bisa jadi rekomendasi politik yang baik sebagai aspirasi buat pemerintah daerah kita masing-masing.