RATTLE William Morris


Beberapa bulan lalu ada perdebatan mengenai struktur logis dari lirik musik “Asmaralibrasi” Soegi Bornean. Saya sejujurnya tidak menyimak perdebatan itu dengan serius, karena bagi saya ketika Asmaralibrasi meresik di gendang telinga, ia tetap menyenangkan untuk didengar, dan itu sudah cukup disebut musik tanpa perlu memperumit hal-hal yang sederhana. Tapi ketika seseorang bertanya mengenai perdebatan lirik lagu itu, saya mulai bertanya dan menginvestigasi ulang penerimaan saya terhadap musik Asmaralibrasi.

 

Saya bertanya-tanya: bisakah suatu musik tetap disebut musik bila liriknya menyalahi stilistika berbahasa? Apakah dalih “yang penting enak didengar” jauh lebih penting daripada kenyataan kekacauan gramatika teks yang dimuat suatu komposisi? Apakah teks yang tak sesuai dengan selera penikmat logika bahasa tidak layak didengar?

 

Bagi seorang yang bergulat di dunia tulis menulis, di luar konteks musik, penulisan yang logis dan argumentatif penting bagi penulis maupun pembaca tulisan. Seorang penulis butuh kemampuan logika berbahasa agar bisa menerjemahkan pikirannya dengan ketat dan tepat menjadi teks. Sedangkan bagi sisi pembaca, logika tekstual sangat menolong untuk memahami apa yang hendak disampaikan penulis. Tapi ketika suatu teks dimuat di dalam musik, masihkah logika berbahasa tersebut memadai untuk dipertimbangkan produsen maupun konsumen musik? Apakah logika masih penting dalam dunia estetika? Secara aksiologis tentu saja tidak, karena logika bicara soal benar-salah sedangkan estetika bicara soal indah atau tidak indah.

 

Segalanya menjadi lebih terang ketika saya melihat lirik Asmaralibrasi sebagai tulisan kreatif ketimbang tulisan logis.

 

Dari sisi penulis, penulisan kreatif penting untuk membebaskan ekspresi berbahasa tanpa peduli aturan-aturan berlogika—atau logika penulisan kreatif jauh lebih luwes. Dari sisi pembaca tulisan kreatif, teks menjadi sarana menemukan multiplisitas makna yang bahkan mungkin tidak pernah direncanakan oleh seorang penulis kreatif. Menazamkan teks jauh lebih longgar mengenai makna ketimbang menulis karya tulis ilmiah.

 

Kendati tidak menyimak secara serius lirik Asmaralibrasi, tapi mari kita dudukkan teks itu sebagai produk proses kreatif. Cara menikmatinya akhirnya tidak bisa sepadan dengan intensi seseorang yang membaca diktat ilmiah, melainkan dengan posisi seperti seorang pembaca teks puisi atau prosa. Struktur logis teks tidak lagi menjadi penting, di depan tulisan-tulisan kreatif, kita merasa dibebaskan dengan perasaan seorang anak-anak yang bermain tanpa tahu aturan main tapi masih bisa bersenang-senang entah kenapa. Dari sudut pandang ini, lirik Asmaralibrasi bisa disebut estetis.

 

Namun sekiranya kita perluas lagi estetika sampai ke diskursus neuroestetika (tinjauan neurofilosofis mengenai estetika), lirik asmaralibrasi bisa juga tidak estetis. Sesuatu disebut indah atau tidak indah, tidak sekadar secara intuitif, melainkan juga bisa melibatkan hal-hal yang logis. Penelitian Semir Zeki mengungkap satu area otak yang berperan penting terhadap penilaian estetis, yakni medieval orbito frontal-cortex (mOFC). Pengalaman estetis bisa berbeda-beda untuk seseorang. Tidak semua seintutitf mendengar komposisi musik atau luksian tertentu (audio-visual), tapi juga bekerja ketika seseorang melihat suatu rumus matematika dan kebenaran suatu teori atau struktur kalimat. Beberapa orang dengan IQ tinggi dan ketertarikan fisika, akan aktif bagian mOFC otaknya ketika melihat rumus matematis teori relativitas. Mengenai hal ini, Keats ada benarnya juga ketika bilang kebenaran adalah keindahan dan vice versa.

 

Secara estetika, Asmaralibrasi adalah teks yang estetis untuk beberapa orang tapi tidak untuk beberapa orang, tergantung dari selera estetis otak masing-masing orang.