Beberapa bulan lalu ada perdebatan mengenai struktur logis dari lirik musik “Asmaralibrasi” Soegi Bornean. Saya sejujurnya tidak menyimak perdebatan itu dengan serius, karena bagi saya ketika Asmaralibrasi meresik di gendang telinga, ia tetap menyenangkan untuk didengar, dan itu sudah cukup disebut musik tanpa perlu memperumit hal-hal yang sederhana. Tapi ketika seseorang bertanya mengenai perdebatan lirik lagu itu, saya mulai bertanya dan menginvestigasi ulang penerimaan saya terhadap musik Asmaralibrasi.
Saya bertanya-tanya: bisakah suatu
musik tetap disebut musik bila liriknya menyalahi stilistika berbahasa? Apakah
dalih “yang penting enak didengar” jauh lebih penting daripada kenyataan
kekacauan gramatika teks yang dimuat suatu komposisi? Apakah teks yang tak
sesuai dengan selera penikmat logika bahasa tidak layak didengar?
Bagi seorang yang bergulat di dunia
tulis menulis, di luar konteks musik, penulisan yang logis dan argumentatif penting
bagi penulis maupun pembaca tulisan. Seorang penulis butuh kemampuan logika
berbahasa agar bisa menerjemahkan pikirannya dengan ketat dan tepat menjadi
teks. Sedangkan bagi sisi pembaca, logika tekstual sangat menolong untuk
memahami apa yang hendak disampaikan penulis. Tapi ketika suatu teks dimuat di
dalam musik, masihkah logika berbahasa tersebut memadai untuk dipertimbangkan
produsen maupun konsumen musik? Apakah logika masih penting dalam dunia
estetika? Secara aksiologis tentu saja tidak, karena logika bicara soal
benar-salah sedangkan estetika bicara soal indah atau tidak indah.
Segalanya menjadi lebih terang
ketika saya melihat lirik Asmaralibrasi sebagai tulisan kreatif ketimbang
tulisan logis.
Dari sisi penulis, penulisan
kreatif penting untuk membebaskan ekspresi berbahasa tanpa peduli aturan-aturan
berlogika—atau logika penulisan kreatif jauh lebih luwes. Dari sisi pembaca
tulisan kreatif, teks menjadi sarana menemukan multiplisitas makna yang bahkan
mungkin tidak pernah direncanakan oleh seorang penulis kreatif. Menazamkan teks
jauh lebih longgar mengenai makna ketimbang menulis karya tulis ilmiah.
Kendati tidak menyimak secara
serius lirik Asmaralibrasi, tapi mari kita dudukkan teks itu sebagai produk
proses kreatif. Cara menikmatinya akhirnya tidak bisa sepadan dengan intensi
seseorang yang membaca diktat ilmiah, melainkan dengan posisi seperti seorang
pembaca teks puisi atau prosa. Struktur logis teks tidak lagi menjadi penting,
di depan tulisan-tulisan kreatif, kita merasa dibebaskan dengan perasaan
seorang anak-anak yang bermain tanpa tahu aturan main tapi masih bisa
bersenang-senang entah kenapa. Dari sudut pandang ini, lirik Asmaralibrasi bisa
disebut estetis.
Namun sekiranya kita perluas lagi
estetika sampai ke diskursus neuroestetika (tinjauan neurofilosofis mengenai
estetika), lirik asmaralibrasi bisa juga tidak estetis. Sesuatu disebut indah
atau tidak indah, tidak sekadar secara intuitif, melainkan juga bisa melibatkan
hal-hal yang logis. Penelitian Semir Zeki mengungkap satu area otak yang
berperan penting terhadap penilaian estetis, yakni medieval orbito
frontal-cortex (mOFC). Pengalaman estetis bisa berbeda-beda untuk seseorang.
Tidak semua seintutitf mendengar komposisi musik atau luksian tertentu
(audio-visual), tapi juga bekerja ketika seseorang melihat suatu rumus
matematika dan kebenaran suatu teori atau struktur kalimat. Beberapa orang
dengan IQ tinggi dan ketertarikan fisika, akan aktif bagian mOFC otaknya ketika
melihat rumus matematis teori relativitas. Mengenai hal ini, Keats ada benarnya
juga ketika bilang kebenaran adalah keindahan dan vice versa.
Secara estetika, Asmaralibrasi adalah teks yang estetis untuk beberapa orang tapi tidak untuk beberapa orang, tergantung dari selera estetis otak masing-masing orang.
0 Komentar