Buku ini dibuka oleh Saras Dewi, yang menyinggung pemikiran
Buddha yang sangat jelas: alasan ia keluar dari baluarti adalah keinginan
melihat dunia identik dengan kesengsaraan. Pertanyaan etis yang diajukan Saras
Dewi kepada Syarif Maulana adalah, “Apatah bisa kita tetap bahagia dalam
situasi demikian?”
Bisa bisa saja. Toh Buddha mencari kebahagiaan dalam
kesederhanaan tanpa keterikatan material dan gaya hidup maksimalisme. Dan kedua
hal itulah yang sebenanya mau dikritik Syarif Maulana dalam buku Demotivasi
jilid dua ini, yakni kuasa materi dan eksploitasi kapitaslime yang
terang-terangan terjadi di sekitar kita menurut Syarif Maulana.
Sosok lain yang merepresentasikan demotivasi di mata Saras
Dewi adalah Albert Camus, yang terlihat jelas dalam esainya bertajuk Musim
Panas di Aljir (1939). Camus menyebut bahwa kota Aljir terbuka kepada langit
sebagaimana mulut atau luka yang menganga.
“Aku belajar bahwa tidak ada yang sejatinya kebahagiaan
manusia super, tidak ada kekekalan di luar dari bergulirnya hari-hari.
Kepemilikanku pada hal-hal kecil dan esensial, termasuk kebenaran relatif
adalah satu-satunya yang menggugahku. Sedangkan, bagi yang lainnya, kebenaran
ideal, jiwalu tak berkewajiban untuk memenuhi mereka … berarti seseorang mesti
menjadi binatang, tapi aku tidak dapat menemukan makna dalam kebahagiaan para
malaikat. Apa yang aku ketahui adalah langit ini akan bertahan lama jauh
melampaui diriku,” kutip Saras Dewi.
Barangkali bagi Camus, satu-satunya dosa (bila toh ternyata
dosa itu ada) adalah terlupakannya kehidupan yang saat ini berlangsung dan
hampir sedelusional kehidupan selanjutnya yang megah. Hanya hidup ini yang
penting dan layak untuk dijalani.
Hanya hidup ini yang layak dijalani, yang kita jalani dengan
sepenuh-penuhnya napas. Hidup yang penuh gairah Nietszchean, hidup yang
berkali-kali dengan segala keduniawian yang melekat di dalamnya. Di sini,
semangat demotivasi Albert Camus tampak terang benderang.
Tapi apakah itu juga artinya motivasi sudah usang? Secara
psikologis, Syarif Maulana berkata bahwa manusia butuh motivasi untuk bertahan
hidup. Demotivasi sendiri dianggap bukan sebagai kondisi alamiah. Tapi Syarif
Maulana sebenarnya tidak memblejeti movitasi yang berwatak psikologis, yang
hendak ia bidik adalah motivasi artifisial yang dijadikan mata dadu bagi para
motivator.
Masalahnya bertahan hidup memang kondisi alamiah, tapi
motivasi artifisial membubuhinya dengan delusi yang cenderung menyangkal
kehidupan-kehidupan pahit yang mestinya dijalani dengan sukarela. Para
motivator artifisal berkoar-kora: “Untuk bertahan hidup, kamu harus kerja dan
sukses, kamu harus hidup positif dan optimis.” (Btw, optimis di sini seringkali
dibesar-besarkan ke derajat “panglossianistis”, tokoh paling menjengkelkan
dalam novel Candide, Voltaire.)
Poin menarik lain dari Demotivasi jilid 2 ini adalah menjadi
istimewa dengan biasa-biasa saja. Syarif Maulana menguak fakta yang secara
menyedihkan sering sekali kita hindari, bahwa kompetisi terbengis dalam
kehidupan adalah bersaing nama baik siapa yang layak dikenang sejarah.
Tengoklah piramida dan Sphinx yang dibangun dengan jutaan nama-nama anonim yang
mati mengangkut berat dan banyaknya batu bata, yang hanya meninggalkan nama
Firaun sebagai satu-satunya nama yang dikenang sejarha.
Dalam sejarah, satu nama besar hadir di atas jutaaan
nama-nama kecil yang rela—atau terpaksa?—menjadi tak signifikan. Dalam hal-hal
monumental, kerap kita menadapati nama arstiek atau nama pejabat yang
meresmikan suatu bangunan penting tapi tidak ktia tahu siapa saja nama puluhan
bahkan ratusan buruh yang bertaruh nyawa membangun suatu gedung. Dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia, kita hanya mengenal 168 nama johan nasional Indonesia
yang tercatat secara resmi, tapi kita tidak tahu ratusan ribu bahan jutaan nama
orang-orang asing yang dibumikan tanpa satupun yang dikenang dalam buku Sejarah
sejak SD sampai SMA. Kenapa di antara jutaan jiwa yang mati atas nama jihad,
martyr, dan patriot hanya segelintir saja yang mencungul sebagai yang berhak
diingat kenangan sejarah?
Hal baru lain dalam buku Demotivasi jilid II yang tak kamu
dapati dalam buku pertamanya adalah doa-doa demotivasional. Yang dibikin dengan
serius, dengan huruf Arab dan bahasa latin, serta terjemahannya dalam bahasa
Indonesia.
Argumen Syarif Maulana sangat masuk akal, kita terbiasa
menuntut Tuhan terlibat dalam kehendak besar cita-cita kita yang terlampau
mentereng. Doa-doa yang terlalu motivasional—kalau tidak disebut naif dan
serakah. Dosen Universitas Parahyangan Bandung itu hendak menawarkan doa lain,
doa-doa yang sepele, yang mau menghadirkan Tuhan dalam momen-momen kecil dalam
kehidupan agar hidup tak lagi sebesar tafsir-tafsir yang disindir Pram puluhan
tahun silam.
Prinsip atau jargon Syarif Maulana sangat jelas: sebab kita yang demotivasional, biarkan
Allah saja yang motivasional! Saya tidak bisa memberi komentar lain selain
mengagumi ikhtiar mahasiswa S3 Driyarkaya ini bahwa—sengaja atau tidak—ia telah
menanamkan semangat spiritual agar pembacanya tak larut dalam kufur nikmat.
0 Komentar