01.16.
Seorang matador melukis
kain merah, pedang, dan tanduk banteng di tubuhku. Apakah itu berarti aku harus
mati?
-
dari foto-foto
Sonya Hurtado
Artikel 02.
NANTI SAJA
KEMATIAN
Selamat pagi. Aku kematian.
AKU
Selamat pagi. Tapi siapa namamu?
KEMATIAN
Kematian.
Aku
Itu bukan nama.
KEMATIAN
Hanya ada satu kematian.
AKU
Apakah kamu setan?
KEMATIAN
Bukan. Aku tak mengenalnya.
AKU
Apakah kamu Tuhan?
KEMATIAN
Bukan. Tapi kami berteman.
AKU
Kenapa kamu membawa sabit raksasa?
KEMATIAN
Untuk menjemput yang hidup dan membawanya ke dunia
orang mati.
AKU
Sabit itu kelihatan palsu.
KEMATIAN
Ini sabit kematian.
AKU
Kamu besar dan tidak menakutkan.
KEMATIAN
Kamu kecil dan jelek. Berhenti bicara dan ikut aku.
(Kematian
mengayunkan sabitnya di atas kepalaku)
AKU
(menggeleng)
Kupikir aku akan melihat cahaya di ujung terowongan.
Bukan kamu.
KEMATIAN
Aku datang, lalu orang akan melihat cahaya.
AKU
Kenapa aku tidak pernah melihatmu selama ini?
KEMATIAN
Kamu tak akan melihatkau sampai …
AKU
Sampai waktuku?
KEMATIAN
Ya.
AKU
Sekarang?
KEMATIAN
(melihat jam tangannya)
Bisa jadi.
AKU
Aku habiskan sarapanku dulu. Ibu marah kalau
makananku bersisa.
KEMATIAN
(melihat jam tangannya, lagi)
Baiklah. Aku kembali nanti saja.
Selamat pagi.
Lalu kematian keluar
menembus pintu.
- dari video Ragnar Kjartansson
KELAS MENGGAMBAR
Di Kelas Menggambar
kami belajar menggambar peta
perjalanan cahaya dan
cahaya mengubah benda-benda menjadi ada
dan satu saat nanti
kami akan ingat bahwa kami pernah cahaya
sebelum ada.
JARAK KE BULAN
Karena kepergian adalah
perjumpaan dengan yang lain,
aku tak akan sedih.
Tanyakan padaku tentang
Mare Imbrium
lautan hijau yang
mengeringkan mata.
Jangan tanya berapa
jarak ke bulan.
Aku telah pergi terlalu
lama.
TELEPON
“Aku menelepon ibuku
setiap hari dengan telepon merah
yang ia belikan
untukku. Aku bicara tentang apa saja.
Ibuku senang
mendengarkanku.”
“Anakku menelepon
setiap hari dengan telepon merah
yang kubelikan
untuknya. Ia bicara tentang apa saja.
Suaranya tidak ada.”
DAFTAR WARNA DI SEKITAR KITA
(DALAM URUTAN ABJAD)
Warna Air
Warna Angin
Warna Asap
Warna Batas
Warna Buih
Warna Bulan
Warna Celah
Warna Cinta
Warna Daun
Warna Debu
Warna Desir
Warna Endapan
Warna Esok
Warna Fatamorgana
Warna Gurun
Warna Hari
Warna Hati
Warna Hujan
Warna Iman
Warna Jelaga
Warna Jurang
Warna Kaki
Warna Kayu
Warna Laut
Warna Lebam
Warna Luka
Warna Lumut
Warna Malam
Warna Muka
Warna Obat
Warna Padang
Warna Pagi
Warna Pelangi
Warna Pohon
Warna Racun
Warna Rasa
Warna Ruang
Warna Sabana
Warna Sayap
Warna Sungai
Warna Terminal
Warna Tuhan
Warna Usia
Warna Waktu
DI BALIK TEATER
Nona Capulina belum
pernah pergi ke teater,
maka kuceritakan
padanya:
Di dalam teater selalu
tercipta keajaiban;
Matahari yang menjelma
Manusia
(dengan mata di
tangannya),
Manusia yang melukis
Perempuan
(dengan sebelah kaki
kayu),
Perempuan yang
merindukan sayap.
Manusia itu selalu
terbang, Nona Capulina.
Perempuan itu akan
sendirian.
Di dalam teater selalu
ada yang menakjubkan;
Manusia yang bermimpi
hujan
(dengan air yang tak
meresap ke tanah),
Perempuan yang menjadi
langitnya
(kelabu dan berlubang),
Angin yang berubah anak
panah
yang menghunjam tubuh
Perempuan.
Manusia itu selalu
kehausan, Nona Capulina.
Perempuan itu akan
menangis.
Di dalam teater selalu
ada tragedi
(hal paling aneh yang
pernah diceritakan manusia),
meski di sudut selalu
ada tanda “KELUAR”,
entah ke mana.
Jadi begitulah, Nona
Capulina.
Kuharap jalan keluar
itu menyenangkan.
Dan aku tak ingin
kembali.
JIKA TAK TAHU KE MANA KAMU AKAN PERGI
Semua jalan akan
membawamu ke sana.
0 Komentar