si hitam - Alit Sembodo

 

Emosi massa tidak lebih dari pion-pion di gelanggang politik. Sejak mengikuti perhelatan demokrasi tahun 2009, rasanya lebih banyak narasi negatif ketimbang positif. Ingatan tentang kecurangan, saling tikung, dan penjagalan citra lebih awet ketimbang sportifitas yang sulit saya gali dari rak-rak kepala.

 

Mobiliasasi suara lewat propaganda lebih cepat terjalin ketimbang mobilisasi lewat pesan-pesan perdamaian. Sekilas Hobbes tampak realistis. Manusia adalah serigala bagi manusia lain, dan semua orang akan berperang melawan semua orang, ujar Hobbes berabad-abad silam.

 

Dalam perebutan kekuasaan, lebih mudah melihat orang-orang itu sebagai pangeran Italia, lebih gampang melihat konsultan-konsultan politik sebagai Machiavelli. Serigala-serigala politik kita gotong royong demi akumulasi suara penuh intrik. Luka-luka politik tidak seperti luka fisik, ia lebih lama sembuh. Dan kalat selalu mencungul di benak. Dendam, perceraian, mencabut ikatan silaturahmi, pengkhianatan, dan kebencian bisa bertahan jauh lebih lama ketimbang masa kampanye politik.

 

Tentu saja aku percaya manusia punya sifat baik. Kita berevolusi sebagai makhluk paing ramah dari waktu ke waktu. Kita makhluk yang bermetamorfosis dari kepompong iblis ke kupu-kupu malaikat. Namun keramahan yang berasal dari hormon oksitosin ini punya wajah ganda: keterikatan pada solidaritas sosial berbanding lurus dengan alergi—kalau bukan disebut kebencian—kepada kelompok yang mengimani aliran politik berbeda. Semakin kuat dorongan bergotong royong, semakin kuat potensi perpecahan dengan kelompok yang bukan kelompok kita.

 

Barangkali dalam diri kita memang ada serigala Hobbesian. Sebagaimana sebuah kisah tentang anak dan seorang gaek.

 

Seorang tua berkata kepada cucunya: “Ada pertempuran bergulir dalam darahku. Pertempuran sengit antara dua ekor serigala. Satu jahat: murka, tamak, dengki, pongah, dan pengecut. Satu lagi baik: damai, mencintai, santun, murah  hati, jujur, dan bisa dipercaya. Kedua serigala itu bertempur dalam dirimu dan dalam diri semua orang lain juga.”

 

Sesudah sejenak, cucunya bertanya, “Serigala mana yang akan menang?”

 

Si orang tua tersenyum. “Yang kamu beri makan.”

 

Dalam gelanggang politik di mana emosi kolektif dimainkan oleh kepentingan-kepentingan elite, alasan trauma politik bertahan lebih lama dari masa kampanye muncul dari satu kekeliruan yang sering tidak kita sadari, yakni ketidakmampuan mengetahui serigala mana yang akan kita beri makan.