Setelah lima belas terakhir, dua hari kemudian ada yang tiba.
“Aku ingin kau tulis seperti
perempuan itu,” katamu, pada malam yang teramat dekat dengan denyar pagi.
Lalu aku tulis kau dengan tulus.
Lalu aku tulis kau dengan tinta
darah.
Lalu aku tulis kau dengan air mata
dari matamu.
Lalu aku tulis kau dengan abu dari
sisa pertengkaran kita.
Lalu aku tulis kau dengan air mata
dari mataku.
Tak ada yang menduga pendulum
takdir bergerak kemana. Tak ada satu pun dari kita mengira sapaan singkat di
suatu taman di suatu kota, diskusi Bumi Manusia di suatu kedai, penampakan
perempuan berkemeja hitam-putih di Jakarta, akan menjelma sebagai percakapan
panjang sampai pagi tiba.
Ada saat-saat hidup begitu indah
dan hanya itu yang kita punya.
Ada yang jalani hidup itu di tepi
danau Mooat sembari membatin, “cakrawala tidak pernah seriang ini.” Ada air
terjun harapan mengalir deras di perayaan pernikahan adik dari ibumu di
Matabulu—yang kukira, akan mengembalikan kita ke sana sebagai perayaan berbeda.
Ada mimpi yang kurawat di atas Barcelona dalam kembara ingatan ke Sangihe yang
menjadikan anak-anak dalam dirimu disembuhkan derai-derai air mata.
Aku masih mengimani hal yang sama sepuluh
bulan sebelum hati kita bertemu, bahwa jatuh cinta adalah perangkap. Sepuluh
bulan setelah kita usai, kalimat itu tiba lagi, “Setiap jatuh cinta hanya
bahaya yang tertunda.” Dan kita sebut itu bahaya-bahaya yang indah.
Seusai bulan madu panjang, hanya
pahit tersisa, kita telan dengan segegabah-gegabahnya.
Kita telah mengupas bagian tergelap
diri yang paling gemar disangkal semuanya: bahwa kita suka main api tapi benci
dibakar hangus oleh ulah diri sendiri. Akan ada suatu tantrum di mana tak ada
yang lari dari air matamu dan tak ada yang meninggalkan harapan-harapan yang kutanam
pada suatu Desember.
Kita telah belajar untuk tidak
melarikan diri dari kesepian paling ganas pada malam-malam celaka. Untuk itu,
aku takzim pada tingkahmu, yang tak izinkan siapapun mencintai dirimu lebih
dari kau mencintai dirimu sendiri (kau sudah mau memenuhi permintaanku sejak
awal pertemuan kita, terima kasih).
Terima kasih pernah memberi
kekuatan untuk bangkit setiap malam dalam jarak paling dekat dengan urat nadi Tuhan;
belajar mengangkat telapak tangan dengan sesungguh-sungguhnya niat. Doa-doa
yang kukirim akhirnya mekar, meski bukan di bumi yang sama.
Sebagaimana sukma Zarathustra
kepada Salome, aku menulis ini dengan darah yang tidak bisa membunuhku, sepersis
kau melukis kanvas dengan luka yang tak bisa membunuhmu. Masih menggema erat kata-katamu
Maret itu: “Kita sepasang pelukis dan penulis.” Seperti asam dan garam saja.
Kau melanjutkan perjalananmu:
menuju masa depan jauh dengan hati tak dibelenggu ekspektasi dan kata-kata
orang lain yang tak mengenalmu lebih dari pernah aku mengenalmu.
Aku melanjutkan perjalananku: ke
antah-berantah yang sengaja tidak mau kutebak supaya masih bisa terkejut oleh
apa pun yang dunia berikan setelah dunia melepaskan tanganku dari lenganmu.
Kini kau bisa melukis banyak hal.
Barangkali, kelak, akan ada lelaki yang berkata, “aku ingin kau lukis seperti
pria itu.”
Percayalah, aku tulis ini dengan
Tulus: Hati-hati di Jalan.
Dapur, 1 July 2023 – 17 Oct 2023
0 Komentar