Mereka yang pernah mendengar nihilisme biasanya akan teringat dengan sosok Nietzsche. Gagasan tentang ketiadaan makna kehidupan ini memang dipopulerkan “sang pembunuh tuhan” pada abad ke-19. Tapi secara istilah, kata nihilis ini pertama kali dipakai Ivan Turgenev dalam novelnya bertajuk “Father and Son”. Novel itu berkisar tentang seorang anak yang bersikap skeptis kepada otoritas ayahnya.

 

Dalam novel tersebut, tercatat: “Nihilis adalah mereka yang tidak berlutut di hadapan setiap jenis otoritas, mereka yang tidak menganut iman tertentu, tak peduli seberapa besar penghormatan yang disematkan pada prinsip tersebut,” tutur sang anak dalam karangan Ivan Turgenev. Di Rusia, nihilism sendiri merupakan gerakan politik yang menolak otoritas kekuasaan. Pada tahun 1881, suatu surat kabar mewartakan beberapa orang yang mengaku seorang nihilis berupaya membunuh sang Tsar. 

 

Sedangkan menurut Netzsche sendiri, nihilisme merupakan penolakan radikal atas segenap nilai, makna, dan segala yang didambakan. Sederhananya, nihilism bisa dianalogikan seperti orang yang baru patah hati lalu percaya kalau tidak ada yang namanya cinta sejati. Cinta itu bulshit. 

 

Meskipun secara terminologis kata “nihilism” baru hadir pada abad ke-19, namun cara berpikir nihilism sudah dipraktikkan oleh kaum sofis dari Yunani bernama Gorgias. Ia berkata: “Tidak ada yang namanya kebenaran. Kalau pun ada, kebenaran itu tidak dapat diketahui. Kalau pun tidak dapat diketahui, kebenaran itu tidak dapat dikomunikasikan.” Kata-kata Gorgias itu beresonansi dengan ucapan Nietzsche bahwa “tidak ada yang disebut fakta, yang ada hanya tafsir atas fakta”. (Meskipun Karlina Supelli bertanya kembali, lantas kalimat Nietzsche itu adalah fakta atau tafsir?)

 

Nihilisme telah berupaya menegasikan segala jenis makna kehidupan. Lalu apakah makna dari makna? Pertama, makna bisa berarti upaya mengurai sesuatu agar bisa dipahami. Semisal makna manusia adalah binatang yang berpikir. Kedua, makna bisa berarti intensi atau tujuan hidup yang membuat manusia mendapatkan panduan menuju sesuatu yang didambakan.

 

Lantas kenapa kiranya manusia membutuhkan makna dalam hidup? Schopenhauer punya jawaban. Katanya, kebutuhan akan makna berasal dari kesengsaraan sekaligus kesadaran bahwa kita tidak bisa lari dari kematian. Di atas takdir yang tragis itu, manusia lantas menciptakan dan menyematkan makna pada hidup mereka.

 

Berhadapan dengan penderitaan dan ketakutan akan kematian, manusia mengembangkan “teori dua dunia”. Semisal Plato dengan idea dan forma, Kant dengan fenomena dan noumena, dan Kristianitas dengan duniawi dan surga. Yang terakhir itu, adalah eliksir paling purwa dari penderitaan dan ketakutan Schopenhauer. Impian akan dunia surgawi atau realitas superior telah mendominasi sejarah peradaban manusia sejak dari hari pertama kalender Greogorian kita.

 

Sebelum lebih jauh ke kritik Nietzsche pada konsep surgawi yang termaktub dalam bukunya bertajuk “Anti-Christ”, kita perlu wawas untuk menyadari bahwa akar dari nihilism Nietzche adalah pesimisme. Pesimisme itu tercermin dari tulisanTeogonis dari Magera bahwa, “Hal terbaik bagi manusia adalah tidak terlahir dan tidak melihat cahaya mentari sama sekali.”

 

Nihilisme Nietzsche begitu dipengaruhi pesimisme Schopenhauer. Setelah berkenalan dengan gagasan Schopenhauer, Nietzsche merevisi gagasan  “manusia yang membutuhkan makna” menjadi “manusia yang memaknai penderitaan”.

 

“Manusia adalah binatang paling bernyali dan spesies yang menerima kesengsaraannya tanpa menyangkal penderitaan itu sedemikian rupa; manusia menghasratinya, bahkan mencari penderitaan itu seraya menyediakan makna untuk tragedi tersebut, yakni tujuan serta alasan dari kenapa ia harus menderita. Ketiadaan makna penderitaan—bukan penderitaan itu sendiri—yang menjadi kutukan pada umat manusia,” tulis Nietzsche.

 

Nihilisme Pasif & Nihilisme Aktif

 

Konsekuensi dari pesimisme berujung pada dua opsi: berserah diri pada realitas superior yakni surga yang didakwahkan agama-agama, atau menganut nihilism.

 

Kemudian muncul pertanyaan: apakah nihilism adalah masalah atau solusi? Untuk menjawab ini, perlu kita tahu dua jenis nihilism yakni nihilism pasif dan nihilism aktif. Yang pertama merupakan masalah eksistensialisme, sebab bersikap pasrah di hadapan takdir yang maha terbatas dan tidak bermakna sama sekali.

 

Sedangkan nihilisme aktif, adalah nihilism yang menyadari bahwa hidup tidak mengandung makna intrinsik namun bukan berarti menyerah menjalani hidup. Nihilisme aktif hendak melampaui nihilism itu sendiri. Apabila hidup memang tidak memiliki makna, maka manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Nietzsche, mempraktikkan  nihilism aktif ini dengan merobohkan prasasti-prasasti moral yang lama, sembari memancak prasasti moral baru. Dan itu dilakukan pertama-tama, dengan membunuh Tuhan.

 

REQUIEM AETERNAM DEO

 

“Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan andangan yang tajam. ‘Mana Tuhan?’, serunya. ‘Aku hendak berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan … Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!” tulis Nietzsche, dalam Zarathustra.

 

Ungkapan Requiem aeternam merupakan ungkapan buat menghormati mereka yang sudah wafat. Kira-kira artinya “semoga engkau beristirahat dalam kedamaian kekal. Nietzsche menggunakan istilah itu di pemakaman Tuhan. Requiem aeternam deo! Yang bermakna “semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi”.

 

Ia pun melihat gereja-gereja sebagai makam-makam dan nisan-nisan Tuhan. Kenapa gereja? Sebab Nietzsche berangkat dari tradisi Platonis-Kristianitas yang kental (ayahnya adalah seorang pendeta yang berharap Nietzsche mengikuti jejaknya). Bila diperluas, makam-makam Tuhan itu juga bisa kita dapati di masjid, sinagoga, kuil, pura, vihara, klenteng, dan lain-lain. Jadi dalam gagasan Nietzsche, umat muslim yang ke masjid salat Jumat tidak lebih dari berziarah.

 

Kehendak Berkuasa

 

Nietzsche membagi dua jenis moralitas: moralitas budak dan moralitas tuan. Yang pertama, dialamatkan kepada moral Kristiani—yang bila ditafsirkan lebih luas, sebenarnya ditujukan kepada semua jenis agama. Sang filsuf mengkritik Kristianisme karena selalu membutuhkan otoritas di luar dirinya sendiri, entah pendeta, Injil, Paus, Yesus, bahkan Tuhan Allah. Manusia tidak memiliki hak menentukan nasib sendiri dan selalu menanti suratan takdir tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan sebagai manusia. Dalam hal itu, umat Kristen tidak lebih dari sekadar budak di mata Nietzsche.

 

Moralitas tuan adalah kebalikannya, adalah orang-orang yang tidak butuh otoritas eksternal untuk ditaati. Adalah mereka yang menolak patuh bukan sekadar kepada pendeta, Injil, Paus, Yesus, Tuhan Allah, melainkan juga menolak patuh pada imperatif moral lain semisal agama, ideologi, mahzhab moral, bahkan sains sekalipun. Singkatnya: menolak segala mahkamah eksternal yang menuntut untuk ditaati.

 

Mereka yang memiliki moralitas tuan, hanya menaati diri sendiri tanpa butuh mahkamah eksternal yang berkata “kamu harus!” Pemilik moralitas ini menyandang kehendak untuk berkuasa (will to power). Kehendak dalam kehendak berkuasa di sini merujuk pada kekuatan internal yang mampu memerintah diri sendiri dan tidak butuh menaati kekuatan eksternal di luar dirinya sediri.

 

Tetapi kehendak untuk berkuasa juga tidak sama dengan kredo survival of the fittest Darwinian.  Kehendak Nietzschean ini tidak sekadar soal mberjuang mempertahankan diri, tapi juga soal meningkatkan  kekuasaan dengan “semangat kebebasan” demi tujuan-tujuan kreatif. Bukan  sekadar soal bertahan hidup dan menghindari mati, tapi mengenai menghidupkan vitalitas hidup setinggi-tingginya.

 

Dalam suatu periode sejarah, konsep kehendak untuk berkuasa ini dieksploitasi besar-besaran oleh rezim Nazi. Beberapa orang melihat ajaran-ajaran Nietzsche sebagai sebuah provokasi politik. Lebih jauh lagi, Nietzsche tidak sekadar diterima sebagai metafisikus tetapi juga politisi. Oleh ideologi-ideologi yang berkembang sepanjang abad ke-20, kehendak berkuasa diadaptasi oleh Nazi sebagai kehenndak ras Arya sebagai yang paling superior, kehendak kelas Marxisme, hingga kehendak Zionisme untuk merebut Tanah yang Dijanjikan.

 

Biang kerok dari politisasi Nietzsche ini adalah saudari sang filsuf sendiri, Elizabeth. Suami dari Elizabeth adalah seorang anti-semit yang bersimpati terhadap gerakan politik Fuhrer. Tak ayal, citra Nietzsche diangkat sebagai sososk “filsuf istana” bagi diktatorianisme Jerman saat itu. Elizabeth bahkan menyematkan istilah ubermansch kepada Hitler sebagai personifikasi dari penyandang kehendak untuk berkuasa.

 

Ubermannsch

 

Ini merupakan salah satu konsep yang kerap disalaharatikan. Elizabeth keliru ketika menyebut Hitler sebagai ubermansch. Begitupun tafsiran bahwa ubermansch merujuk kepada sosok messiah yang dinanti-nantikan agama monoteis.  Ia bukan Ratu Adil, bukan Imam Mahdi, bukan Messiah yang hadir di ujung zaman. Sebagai filsuf yang persisten menyerang agama tanpa ampun, yang mendeklarasikan kematian Tuhan, klaim agama mengenai juru selamat tentu ditolak sebagai kategori ubermansch di mata Nietzsche.

 

Ubermansch juga bukan Hitler yang dikagumi saudari perempuan Nietzsche, bukan Julius Caesar, bukan pula Napoleon yang dikagumi Nietzsche. Memang Nietzsche pernah menyanjung Napoleon  sebagai  “… orang yang terkuat, pencipta, bersedia menjadi  orang paling jahat sekaih ia mewujudkan cita-citanya.” Tapi Nietzsche tak pernah menyebut Napoleon sebagai ubermannsh, ia hanya menjulukinya derr  grosse Mensch (orang besar).

 

Ubermansch sendiri adalah perwujudan dari subjek yang berhasil mematuhi kehendak internalnya tanpa perlu mahkamah eksternal yang selalu menuntut “kamu harus!”, yang melepaskan tirani moralitas budak dan merengkuh dirinya sebagai tuan bagi dirinya sendiri.

 

Pengulangan Abadi

 

Pengulangan abadi atau dalam bahasa St Sunardi, “kembalinya segala sesuatu” tidaklah bertautan dengan konsep akhirat yang kekal. Nietzsche jelas menolak eksistensi dewa, penciptaan Tuhan, surga-neraka, serta konsep lain  yang mewarnai 2000 tahun Kekristenan. Ia menolak tradisi Platonis-Kristen dan menerima Heraklitus, menerima dunia dan  menampik segala hal di luar dunia di luar dunia yang kita tinggali ini.

 

Renungan mengenai pengulangan abadi ini direfleksikannya ketika menatap kosmos yang selalu merupakan permainan abadi dari kekuatan-kekuatan dinamis: kehancuran dan kelahiran, atau dalam bahasa sains, tarian hukum termodinamika.Inilah  pengulangan abadi dari kosmos untuk menciptakan dan menghancurkan, untuk berjuang dan memperluas dirinya sendiri.

 

Setiap kehancuran akan kembali sebagai sesuatu yang baru, dan setiap kebaruan akan hancur. Siklus itu terjadi tanpa putus sebagai pengulangan abadi.

 

Zarathustra mempraktikkan pengulangan abada ini dengan menciptakan kehancuran, suka-duka, baik-jahat, dalam perjalanannya menyiarkan ajaran. “Semuanya pergi, semuanya kembali; roda kehidupan berputar selamanya. Semuanya mati semuanya mekar kembali; tahun-tahun kehidupan bergulir selamanya. Semmuanya hancur lebur, semuanya utuh kemmbali, rumah eksistensi kita merakit diri sendiri untuk selama-lamanya … semuanya terserak-serak, semuanya berjumpa kembali.”

 

Dalam Zarathustra, kita mendapati pengulangan abadi sebagai siklus antara harapan dan keputusasaan,  kepergian dan kembali, keriuhan dan keterasingan, cinta dan penghinaan,  rendah dan tinggi, bumi dan surga, ular dan elang. Kedua spektrum itu hadir di sekujur buku. Dan siklus tersebut diafirmasi, diterima dengan “ya!” yang tegas dan penuh kerelaan.

 

Penerimaan atas siklus abadi ini terekam dalam istilah yang terkenal: amor fati. Nietzsche menerima pengulangan abadi dengan mencintai hidup, dengan atau tanpa getir dalam takdir. Nietzsche tidak sekadar menerima harapan, keriuhan, cinta, ketinggian, dan elang; ia mengafirmasi adanya keterasingan, keputusasaan, kepergian, ular, rendah, dan penghinaan kehidupan.

 

Hanya dengan berkata “ya!” pada kehidupan, hanya dengan berkata amor fati pada kenyataan pahit, maka kita tidak sekadar menerima siklus itu tapi juga membuatnya menjadi lebih indah.

 

Pengaruh Nietzsche

 

Setelah pengkhotbah “Tuhan telah mati” itu mati, pemikirannya masih tetap hidup, menjalar, dan berlipat ganda sebagai dinamit dalam dunia filsafat, sosial, bahkan diskursus agama. Kematian Tuhan menjadi inspirasi yang memukul lonceng kematian modernisme oleh Derrida dan Foucault.

 

Kegilaan Nietzsche yang berwatak Dionisian menghilhami Foucault meneliti sejarah kegilaan. Foucault merupakan pembaca Birth of Tragedy. Dalam Madness & Civilication, Foucault mmencatat, hanya dalam seni kita tidak ada mendapati kegilaan sama sekali. Dengan kata lain semakin seseorang menghindari seni atau tidak terpapar seni, semakin mudah baginya menudingorang lain gila.

 

Foucault dan Nietzche sepaat bahwa dalam kegilaan terdapat banyak hal yang didengarkan oleh akal sehat. Singkatnya, selalu hadir kebijaksanaan dalam kegilaan.

 

Tokoh lain yang menerima banyak pengaruh Nietzsche adalah Mohamad Iqbal, filsuf dan sering dikenal sebagia sufi modern asal Punjab. Ia mengadopsi “pengulangan abadi” Nietzsche sebagai imortalitas ego, yang membuatnya ia ingat Al-Baqarah (2): 28, “… kau  (tadinya mati) lalu  Dia menghidupkanmu, kemudian Dia mematikanmu, lalu dia menghidupkanmu kembali.”

 

Iqbal menerima pengulangan abadi Nietzsche sembari tetap menerima kehadiran Tuhan (sesuatu yang ditolak Nietzsche mentah-mentah). Sebab Iqbal hanya menerima filsuf Jerman itu sebagai inspirasi puitis alih-alih demonstrasi logis.

 

Kekaguman Iqbal atas pengulangan abadi memberinya ide untuk menamai anaknya Javid,  yang bermakna kekekalan. Ia terkesima ketika Nietzsche berkata “pengalaman kebadian hadir dalam kedamaian paling palung.” Iqbal sendiri menilai hari demi hari, bulan  demi bulan, dan tahun demi tahun dari pengalaman-pengalaman yang mereka berikan. “Kadang aku terkejut satu peristiwa tertentu lebih berharga tinimbang waktu setahun penuh,” tulis Iqbal.

 

Konsep lain yang mencuri hati Iqbal ialah kehendak berkuasa yang ia gunakan buat mengkritik gerakan Mahdiisme yang pasif menanti hadirnya juru selamat entah dalam bentuk Imam Mahdi, Ratu Adil, atau Messiah. “Berhentilah menunggu Mahdi. Bangkit dan ciptakan dia!”