Girl-With-Death-Mask-1-1938: Frida Kahlo


Putih dan kecantikan, di Indonesia, telah menjadi satu kesatuan. Dan kecantikan yang tak terlepas dari kulit terang ini telah mengakar dalam sejarah kita sejak berabad-abad silam.

 

Konsep putih sebagai kecantikan bisa kita lacak hingga abad ke-9. Itu adalah masa di mana Indonesia mengalami Indianisasi, meski lebih tepatnya disebut Brahmanisasi karena diikuti dengan berdirinya candi serta penyebaran bahasa Sansekerta. Kitab Ramayana berbahasa Sansekerta lantas hadir, memperkenalkan kisah Rama dan Sita.

 

Dalam kisah Ramayana, Sita selalu didekati sosok berkulit gelap legam bernama Rahwana. Sedangkan Sita, kontrasnya, berkulit putih terang. (Dikotomi hitam dan putih membuat aku teringat arketipe Carl Jung yang mengasosiasikan hitam sebagai buruk dan putih sebagai baik.) Kulit putih Sita diilustrasikan secara puitis sebagai sesuatu yang cantiknya menyerupai kecantikan bulan.

 

“Bahkan kecantikan buan bukan tandinganmu,” puji Rama yang terkesima saat melihat Sita memasuki hutan.

 

Imaji mengenai putih yang cantik itu berkembang hingga zaman kolonial abad ke-20. Lewat iklan-iklan Barat, putih Sita digantikan dengan putih ras Kaukasia. Pada era Jepang yang singkat, hanya berkisar 1942 sampai 1945, masyarakat Indonesia mulai terpapar dengan “putih Asia” lewat iklan-iklan model Jepang. Semangat propaganda putih Asia didasari oleh gagasan bahwa putih bukan milik Eropa saja. Pasca kolonial, tepatnya tahun 1990-an yang dibarengi hadirnya RCTI, iklan-iklan pemutih mulai ramai di layar kaca TV menambah masifitas superioritas putih di hierarki kecantikan.

 

Dalam alam bawah sadar kolektif, propaganda iklan telah membuat tumbuh iman bahwa kulit putih adalah syarat mutlak menerima pengakuan kecantikan. Meminjam teori modalitas Bourdieau, bolehlah kita sebut putih sebagai kapital budaya. Perempuan menginvestasikan kecantikan kulit terang demi disunting jodoh yang kaya raya atau sekadar melamar pada pekerjaan berupah tinggi.

 

Berkulit putih, bisa menjadi privilese  di dunia didominasi bias kognitif. Orang dengan tampilan menarik bisa lebih mudah diterima kapan saja dan di mana saja. Menurut penelitian, orang berpenampilan menarik punya kans lebih besar terpilih dalam pemilihan politik. Secara hukum, penampilan menarik bisa mempengaruhi hasil hukum, yang mana jatah hukuman orang cantik atau rupawan jauh lebih rendah dari yang tidak berpenampilan menarik. Yang dimaksud menarik di sini tentu saja yang berkulit putih.

 

Narasi putih itu cantik juga bisa kita baca lewat diskursus Foucault soal pendisiplinan tubuh. Tubuh kita, terutama tubuh gender, didesak untuk patuh mengikuti selera kapitalisme yang mengagung-agungkan kulit putih. Mekanisme surveilans bekerja, membuat orang-orang menganggap lumrah saja untuk mengomentari warna kulit seseorang. Tubuh harus patuh pada putih, sebab kulit terang merupakan amaran.

 

Surveilans seperti ini kerap terjadi di kalangan perempuan. Salah seorang kawan perempuan pernah curhat, ia menasihati temannya untuk lebih sering memakai masker pemutih, membalur lulur, serta memilihkan krim pemutih anyar agar teman perempuannya tidak burik-burik amat.

 

Diskursi kecantikan putih menghadirkan “norma” tak kasat mata, bahwa semua orang yang berkulit gelap, terutama perempuan, dengan sendirinya tergolong sebagai orang-orang terpinggirkan. Ayu Saraswati dalam bukunya berjudul Putih, menyebut fenomena ini sebagai ideologi kecantikan. Ideologi yang bisa menjadi alat diskriminasi kepada perempuan yang secara tampilan tidak mewakili kulit putih Sita, Kaukasia, atau Asia. Bahkan pada taraf tertentu, ideologi kecantikan atau “tampilanisme” ini bisa sama berbahayanya dengan rasisme dan seksisme. Terutama ketika orang-orang terbelah menjadi dua golongan: warna kulit superior dan warna kulit inferior dalam hierarki kecantikan.

 

Ideologi kecantikan ini menjadi mahkamah yang membuat perempuan berusaha menjadi putih seputih-putihnya. Dalam wawancara yang dilakukan Ayu Saraswati bersama beberapa respondens, ditemukan konklusi bahwa perempuan ingin berkulit putih bukan karena benar-benar ingin berkulit putih per se, motivasi terbesarnya justru ingin menghindari olok-olokan yang menghantui kulit gelap.

 

Ada beberapa alasan yang melatar belakangi ketakutan pada kulit gelap tersebut. Pertama, perempuan sejak kecil lebih banyak menerima komentar soal warna kulit. Kedua, anak perempuan dituntut memakai riasan sedangkan laki-laki tidak. Ketiga, laki-laki amat lumrah berkulit hitam, justru cenderung dianggap maskulin di mata perempuan. Keempat, perempuan cenderung terintimidasi dengan kecantikan datau warna kulit perempuan lain. Dalam wawancara Saraswati tersebut, bahkan perempuan berkulit putih disukai oleh lesbian sekalipun.