Putih dan kecantikan, di Indonesia,
telah menjadi satu kesatuan. Dan kecantikan yang tak terlepas dari kulit terang
ini telah mengakar dalam sejarah kita sejak berabad-abad silam.
Konsep putih sebagai kecantikan
bisa kita lacak hingga abad ke-9. Itu adalah masa di mana Indonesia mengalami
Indianisasi, meski lebih tepatnya disebut Brahmanisasi karena diikuti dengan
berdirinya candi serta penyebaran bahasa Sansekerta. Kitab Ramayana berbahasa
Sansekerta lantas hadir, memperkenalkan kisah Rama dan Sita.
Dalam kisah Ramayana, Sita selalu
didekati sosok berkulit gelap legam bernama Rahwana. Sedangkan Sita,
kontrasnya, berkulit putih terang. (Dikotomi hitam dan putih membuat aku teringat
arketipe Carl Jung yang mengasosiasikan hitam sebagai buruk dan putih sebagai
baik.) Kulit putih Sita diilustrasikan secara puitis sebagai sesuatu yang cantiknya
menyerupai kecantikan bulan.
“Bahkan kecantikan buan bukan
tandinganmu,” puji Rama yang terkesima saat melihat Sita memasuki hutan.
Imaji mengenai putih yang cantik
itu berkembang hingga zaman kolonial abad ke-20. Lewat iklan-iklan Barat, putih
Sita digantikan dengan putih ras Kaukasia. Pada era Jepang yang singkat, hanya berkisar
1942 sampai 1945, masyarakat Indonesia mulai terpapar dengan “putih Asia” lewat
iklan-iklan model Jepang. Semangat propaganda putih Asia didasari oleh gagasan bahwa
putih bukan milik Eropa saja. Pasca kolonial, tepatnya tahun 1990-an yang dibarengi
hadirnya RCTI, iklan-iklan pemutih mulai ramai di layar kaca TV menambah
masifitas superioritas putih di hierarki kecantikan.
Dalam alam bawah sadar kolektif,
propaganda iklan telah membuat tumbuh iman bahwa kulit putih adalah syarat
mutlak menerima pengakuan kecantikan. Meminjam teori modalitas Bourdieau,
bolehlah kita sebut putih sebagai kapital budaya. Perempuan menginvestasikan
kecantikan kulit terang demi disunting jodoh yang kaya raya atau sekadar
melamar pada pekerjaan berupah tinggi.
Berkulit putih, bisa menjadi privilese di dunia didominasi bias kognitif. Orang
dengan tampilan menarik bisa lebih mudah diterima kapan saja dan di mana saja. Menurut
penelitian, orang berpenampilan menarik punya kans lebih besar terpilih dalam
pemilihan politik. Secara hukum, penampilan menarik bisa mempengaruhi hasil
hukum, yang mana jatah hukuman orang cantik atau rupawan jauh lebih rendah dari
yang tidak berpenampilan menarik. Yang dimaksud menarik di sini tentu saja yang
berkulit putih.
Narasi putih itu cantik juga bisa
kita baca lewat diskursus Foucault soal pendisiplinan tubuh. Tubuh kita,
terutama tubuh gender, didesak untuk patuh mengikuti selera kapitalisme yang mengagung-agungkan
kulit putih. Mekanisme surveilans bekerja, membuat orang-orang menganggap
lumrah saja untuk mengomentari warna kulit seseorang. Tubuh harus patuh pada
putih, sebab kulit terang merupakan amaran.
Surveilans seperti ini kerap terjadi
di kalangan perempuan. Salah seorang kawan perempuan pernah curhat, ia
menasihati temannya untuk lebih sering memakai masker pemutih, membalur lulur,
serta memilihkan krim pemutih anyar agar teman perempuannya tidak burik-burik
amat.
Diskursi kecantikan putih
menghadirkan “norma” tak kasat mata, bahwa semua orang yang berkulit gelap, terutama
perempuan, dengan sendirinya tergolong sebagai orang-orang terpinggirkan. Ayu
Saraswati dalam bukunya berjudul Putih, menyebut fenomena ini sebagai ideologi
kecantikan. Ideologi yang bisa menjadi alat diskriminasi kepada perempuan yang
secara tampilan tidak mewakili kulit putih Sita, Kaukasia, atau Asia. Bahkan
pada taraf tertentu, ideologi kecantikan atau “tampilanisme” ini bisa sama
berbahayanya dengan rasisme dan seksisme. Terutama ketika orang-orang terbelah
menjadi dua golongan: warna kulit superior dan warna kulit inferior dalam
hierarki kecantikan.
Ideologi kecantikan ini menjadi
mahkamah yang membuat perempuan berusaha menjadi putih seputih-putihnya. Dalam
wawancara yang dilakukan Ayu Saraswati bersama beberapa respondens, ditemukan
konklusi bahwa perempuan ingin berkulit putih bukan karena benar-benar ingin
berkulit putih per se, motivasi terbesarnya
justru ingin menghindari olok-olokan yang menghantui kulit gelap.
Ada beberapa alasan yang melatar
belakangi ketakutan pada kulit gelap tersebut. Pertama, perempuan sejak kecil
lebih banyak menerima komentar soal warna kulit. Kedua, anak perempuan dituntut
memakai riasan sedangkan laki-laki tidak. Ketiga, laki-laki amat lumrah
berkulit hitam, justru cenderung dianggap maskulin di mata perempuan. Keempat,
perempuan cenderung terintimidasi dengan kecantikan datau warna kulit perempuan
lain. Dalam wawancara Saraswati tersebut, bahkan perempuan berkulit putih
disukai oleh lesbian sekalipun.
0 Komentar