Oleh: Triwardana Mokoagow

Indonesia adalah negara yang dikenal dengan keberagamannya. Selain terdiri dari berbagai pulau dan budaya, Indonesia juga dikenal terdiri dari berbagai komunitas sosial. Sebagai bangsa yang senantiasa menerima perubahan, Indonesia berhak menerima kemajuan dalam berbagai sektor yang bisa ditawarkan oleh pemerintah. Akan tetapi bukan berarti juga membuka pintu yang lebar-lebar terhadap arus modernisasi yang begitu deras tanpa memilah-milah efek samping dari pengaruhnya. Jangan sampai karakteristik masyarakat Indonesia yang begitu komunal dan berjiwa sosial (homo homini socius) berubah menjadi mahluk yang individualistik dikarenakan pengaruh modernisasi tadi.

Untuk menjawab kecemasan-kecemasan yang demikian, saya rasa perlu diadakan suatu ruang publik (public space) yang memungkinkan interaksi sosial antar elemen dan lapisan masyarakat mampu terjalin dengan hangat sekaligus kontinyu. Inilah jawaban dari kecemasan beberapa orang terhadap fenomena apatisme, hedonisme dan individualisme yang hari ini telah menggejala di permukaan alam Indonesia.

Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, perpustakaan umum, taman serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial.

Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah menjadi ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat tersebut dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana orang yang ada disana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.  Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik.



Kenyataannya pada hari ini, eksistensi ruang publik ini masih begitu minim untuk dimanfaatkan maupun dikembangkan oleh pemerintah kota khususnya kota dimana saya tinggal yaitu kota Kotamobagu. Kita bisa memeriksa beberapa ruang publik yang biarpun sudah ada sejak lama tapi masih sangat jauh dari perhatian pemerintah. Katakanlah seperti perpustakaan umum yang saat ini sudah tenggelam aktifitasnya. Kita semua juga melihat ada beberapa tempat yang berpotensi untuk dibukanya ruang publik yang nyatanya luput dari perhatian pemerintah.

Sayangnya kesadaran terhadap urgentnya eksistensi ruang publik masih belum hadir dalam benak pemkot KK. Barangkali fenomena yang menunjukan indeks kenakalan remaja mulai meningkat di Kotamobagu dikarenakan potensi-potensi positif anak muda yang tinggal di Kotamobagu tidak memiliki ruang dimana dia bisa mengaktualisasikan potensi-potensinya. Krisis ruang publik ini juga menandakan bahwa akses masyarakat untuk membuka komunikasi sosial begitu jauh dari harapan. Bukankah manusia adalah mahluk sosial? Mahluk yang senantiasa mengeksternalisasikan tubuh sosial mereka dan menginternalisasikan dunia sosial ke dalam diri mereka. Tentunya fitrah ini harus didukung dan didorong untuk tidak terendap begitu saja. Yang punya akses untuk membuka ruang publik ini dan menunjang potensi-potensi pemuda untuk tersalurkan adalah pemerintah kota Kotamobagu.

Mungkin kita harus sedikit belajar dari Bandung yang hari ini telah mengoptimalisasikan potensi-potensi ruang yang bisa dijadikan sebagai ruang publik bagi realitas sosial. Seperti pengaktifan kembali 400 taman tematis. Taman tematik adalah sebuah taman yang elemen tanamannya merupakan tanaman koleksi yang dipilih dari berbagai jenis tanaman yang mempunyai kesamaan dayaguna. Beberapa waktu lalu beberapa taman telah difungsikan lagi seperti taman fotografi tempat dimana komunitas-komunitas fotografi bisa menyalurkan hobi mereka disana. Keberhasilan ini diukur dari berbagai ekspresi atas kepuasan masyarakat terhadap walikota Bandung.


Sebagai bagian dari ratusan ribu populasi masyarakat Bolaang Mongondow Raya, penulis menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi oleh pemerintah kita. Dalam konteks ini, persoalan mengenai ruang dimana komunitas-komunitas dapat mengaktualisasikan potensi mereka, adalah persoalan yang urgent. Karena kemajuan dan masa depan daerah ada di tangan pemuda. Sehingga menata masa depan daerah, berarti dengan mendorong potensi-potensi komunitas yang ada di Kotamobagu khususnya, melalui ruang publik.