Baru-baru ini saya ikut serta dalam
diskusi daring di Instalive bersama teman-teman komunitas yang bergiat di
bidang edukasi dan pemuda. Kebetulan kami ngomong buku Mark Manson yang
judulnya agak vulgar sebab ada kata “fuck” di sana. Moderator ketika mengucap
judul buku tersebut secara refleks menyensor kata “fuck” menjadi “f” saja
seraya tertawa kecil seperti malu-malu kucing.
Menurut saya, kata fuck sebenarnya tidak
perlu disensor. Dalam diskursus tentang profanity
(kata-kata makian), kerja penyensoran baik di media massa dan televisi
justru membuat kata-kata tabu atau kata “fuck” sebagai kata makian kian kuat
dampaknya. Dengan penyensoran, orang-orang justru tergoda untuk menggunakan
kata yang disensor dalam fungsinya sebagai kata makian. Alih-alih menyensor,
lebih baik kita cari cara menormalisasi makna fuck itu agar konotasinya sebagai
makian bisa hilang.
Salah satu teori yang bisa menjustifikasi
pendapat ini adalah sesuatu yang disebut kawan saya sebagai unboxing expriences. Semakin sesuatu
terlindungi sebuah kotak, semakin kita tergoda untuk membongkarnya, semakin
kita ditagih rasa penasaran untuk menengok apa yang sebenarnya ada di dalamnya.
Teori ini barangkali bisa kita gunakan
untuk menjelaskan kenapa tingkat pelecehan seksual di Arab Saudi jauh lebih
tinggi daripada Jepang yang bahkan melegalkan industri pornografi. Dalam common sense kita, bukankah Arab
mestinya tingkat pelecehannya rendah karena perempuan di ruang publik umumnya
menggunakan hijab atau cadar? Justru, bila efek unboxing expriences memang benar, patriarki justru lebih tergoda
dengan menganggap perempuan yang tertutup sebagai kotak yang menagih rasa
penasaran untuk dibongkar.
Teori lain yang bisa kita gunakan
barangkali adalah forbidden fruit effect.
Efek ini menjadikan fenomena buah khuldi sebagai ilustrasi. Fenomena
mukbang buah khuldi oleh ibu Hawa dan Adam adalah metafora sederhana kalau kita
gemar melanggar aturan. Semakin sesuatu dianggap rahasia, tidak boleh
dilanggar, dan disensor, semakin kita tergoda untuk melanggarnya. Lalu saya
ingat sepetik puisi dari kawan saya: “Aku
di matamu seperti lampu merah di tengah malam; tak pernah dianggap!”
Penyensoran yang bekerja entah di media
masa atau TV tampak seperti kotak yang siap kita bongkar demi menengok isinya
atau mungkin bisa diibaratkan buah khuldi yang bukan hanya menstimulus kelaparan
fisik tapi juga kelaparan pengetahuan. Semakin sesuatu ditutup-tutupi dan
disensor, semakin nilainya menjadi tinggi. Semakin kata-kata tabu
ditutup-tutupi, semakin kita tergoda untuk menggunakannya dalam fungsi yang
negatif.
Ini harusnya menjadi perhatian kita. Upaya
proteksionisme akut yang digalakan industri informasi yang seringkali lebay
dikhawtirkan justru menjadi bumerang bagi masa depan konsumen informasi itu
sendiri. Tengoklah penyensoran kepada Sizuka dalam episode di mana Nobita dan
kawan-kawan bermain di pantai. Demi tuhan! Siapa yang kira-kira sange dan likat
melihat payudara Sizuka?
0 Komentar