Les-Demoiselles-dAvignon-Pablo-Picasso


Baru-baru ini saya ikut serta dalam diskusi daring di Instalive bersama teman-teman komunitas yang bergiat di bidang edukasi dan pemuda. Kebetulan kami ngomong buku Mark Manson yang judulnya agak vulgar sebab ada kata “fuck” di sana. Moderator ketika mengucap judul buku tersebut secara refleks menyensor kata “fuck” menjadi “f” saja seraya tertawa kecil seperti malu-malu kucing.

 

Menurut saya, kata fuck sebenarnya tidak perlu disensor. Dalam diskursus tentang profanity (kata-kata makian), kerja penyensoran baik di media massa dan televisi justru membuat kata-kata tabu atau kata “fuck” sebagai kata makian kian kuat dampaknya. Dengan penyensoran, orang-orang justru tergoda untuk menggunakan kata yang disensor dalam fungsinya sebagai kata makian. Alih-alih menyensor, lebih baik kita cari cara menormalisasi makna fuck itu agar konotasinya sebagai makian bisa hilang.

 

Salah satu teori yang bisa menjustifikasi pendapat ini adalah sesuatu yang disebut kawan saya sebagai unboxing expriences. Semakin sesuatu terlindungi sebuah kotak, semakin kita tergoda untuk membongkarnya, semakin kita ditagih rasa penasaran untuk menengok apa yang sebenarnya ada di dalamnya.

 

Teori ini barangkali bisa kita gunakan untuk menjelaskan kenapa tingkat pelecehan seksual di Arab Saudi jauh lebih tinggi daripada Jepang yang bahkan melegalkan industri pornografi. Dalam common sense kita, bukankah Arab mestinya tingkat pelecehannya rendah karena perempuan di ruang publik umumnya menggunakan hijab atau cadar? Justru, bila efek unboxing expriences memang benar, patriarki justru lebih tergoda dengan menganggap perempuan yang tertutup sebagai kotak yang menagih rasa penasaran untuk dibongkar.

 

Teori lain yang bisa kita gunakan barangkali adalah forbidden fruit effect. Efek ini menjadikan fenomena buah khuldi sebagai ilustrasi. Fenomena mukbang buah khuldi oleh ibu Hawa dan Adam adalah metafora sederhana kalau kita gemar melanggar aturan. Semakin sesuatu dianggap rahasia, tidak boleh dilanggar, dan disensor, semakin kita tergoda untuk melanggarnya. Lalu saya ingat sepetik puisi dari kawan saya: “Aku di matamu seperti lampu merah di tengah malam; tak pernah dianggap!”

 

Penyensoran yang bekerja entah di media masa atau TV tampak seperti kotak yang siap kita bongkar demi menengok isinya atau mungkin bisa diibaratkan buah khuldi yang bukan hanya menstimulus kelaparan fisik tapi juga kelaparan pengetahuan. Semakin sesuatu ditutup-tutupi dan disensor, semakin nilainya menjadi tinggi. Semakin kata-kata tabu ditutup-tutupi, semakin kita tergoda untuk menggunakannya dalam fungsi yang negatif.

 

Ini harusnya menjadi perhatian kita. Upaya proteksionisme akut yang digalakan industri informasi yang seringkali lebay dikhawtirkan justru menjadi bumerang bagi masa depan konsumen informasi itu sendiri. Tengoklah penyensoran kepada Sizuka dalam episode di mana Nobita dan kawan-kawan bermain di pantai. Demi tuhan! Siapa yang kira-kira sange dan likat melihat payudara Sizuka?