Langkahnya luyu diterpa arah angin yang
melawan. Dengan kaki yang sama yang belajar cara melangkah dari sang ibu, ia
pun berjalan, menuju guru pertamanya itu yang kini berbaring selamanya di perut
bumi. Tidak ada langkah seberat ini selama hidup. Meski saat itu cuaca cerah,
tak hujan, meski lengannya diapit oleh teman-teman terbaiknya, tapi ia ingin
hidupnya untuk kali ini saja hanyalah mimpi yang panjang. Langkah-langkah kecil
itu toh tetap mendekati gembur tanah yang tidak ingin pernah ia rencanakan ada
sejak hari pertama ia lahir, gembur tanah yang menjadi rumah bagi orang yang
melahirkannya.
Saat itu, segala suara seolah bisu. Ia
bahkan lupa suaranya sendiri selain suara tangis dan tetes air mata yang
mengalir di kedua pipinya. Pesawat menyebabkan kejadirannya terlambat. Ia
bahkan tak sempat mengenakan selendang hitam serta menutup mata dengan kaca
mata gelap untuk sekadar menyembunyikan lebam karena dirajam kesedihan.
Kedatangannya hari itu tidak disambut
dengan basa-basi biasa seperti “sampai jam berapa kamu?” atau “naik pesawat
apa?” atau “apakah tidurmu nyenyak di jalan?” dan sebagainya. Ia disambut
dengan kesunyian, kegagapan tamu undangan dari acara pemakaman yang tak tahu
bagaimana cara berbicara di depan anak semata wayang yang tak lagi punya orang
tua itu. Kebisuan dan air mata adalah sedikit cara yang diketahui manusia demi
menghormati kematian dan kebenaran. Bahasa yang ada hanyalah pelukan. Namun
bagi mereka yang telah dimakan banyak usia, pelukan bisa begitu berbahaya dalam
kondisi seperti ini.
Di saat seperti itu, pemakaman adalah
orkestrasi air mata serta isak yang tersendat-sendat di balik dada. Tak ada
cara lain menghormati kehidupan selain kehilangan. Sedangkan orang-orang yang
menatap anak yang baru yatim piatu ini dengan temaram mata yang mengiba
sesungguhnya lagi mengalihkan rasa kasihan mereka kepada diri mereka sendiri
karena nasib yang sama belum menjadi giliran mereka.
Kematian bukan kemalangan. Ia adalah
sebentuk perayaan yang selalu gagal kita mengerti bagaimana cara merayakannya. Kesedihan
menjadi hal paling utama dalam momentum seperti itu justru bukan karena orang
yang kita sayangi pergi. Alasannya sesungguhnya sangatlah narsistik: karena
kita tidak mau rindu dan kangen kita tidak lagi berbalas. Dan barangkali karena
itu kita butuh tuhan, untuk tahu, kalau doa ternyata bisa dikomunikasikan
kepada mereka yang di dunia ini sudah tidak lagi ada.
Yogyakarta, 2020
1 Komentar
Lucky Club Casino site - Lucky Club Casino
BalasHapusLucky Club Casino is offering new players up to €1000 luckyclub for the first time in a dedicated betting application. Players who register a new account for Rating: 8/10 · Review by Lucky Club Casino