Sebelum Pancasila digali,
Radjiman Widyoninggrat bertanya pada panitia persiapan kemerdekaan, “Apakah philosophies grondlag bangsa Indonesia
nanti?”. Saat itulah sampai akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila
kemudian terkristalkan sebagai representasi tataran idealitas para founding leaders kita yang digali dari
alam Indonesia.Pancasila sebagai falsafah dasar (philospohies grondslag) merupakan payung dari semua ideologi yang
ingin tumbuh subur dalam realitas keIndonesiaan. Prasyarat bagi ideologi
tersebut hadir, adalah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang tekandung
dalam Pancasila.
Nilai-nilai tersebut terdiri dari
nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Sebagai
pandangan dunia (weltanchaung/worldview)
yang diserap dari kenyataan dan cita-cita bangsa masa lalu tanpa meninggalkan
perspektif futuristik, harus kita kawal dalam tataran implementatif. Apalagi di
tengah-tengah kegaduhan globalisasi dan modernisasi yang merasuki masyarakat
Indonesia secara buta. Pada akhirnya budaya gotongroyong mulai terkesampingkan
oleh individualisme, apatisme, konsumerisme dan hedonisme yang begitu akut.
Problematika sosial tidak terelakkan, dan problematika moral mengikuti
dibelakangnya. Oleh karena itu, diperlukan rekontruksi kembali agar perspektif
sosial politik bangsa Indonesia bisa kembali berjalan sesuai jalur-jalur
moralitas yang berdasarkan Pancasila.
Fundamen moralitas bangsa Indonesia terkristalkan
dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika ditilik
secara historis, pada awalnya ditambahkan kalimat menjalankan syariat Islam
bagi para pemeluknya dalam sila ini. Akan tetapi karena desakkan dari
daerah-daerah bagian Timur yang notabene terdiri dari mayoritas non-Islam, maka
untuk mengakomodir kepentingan bangsa secara keseluruhan dihapuskan kalimat
tersebut. Ini menunjukan bahwa moralitas yang termaktub dalam Pancasila tidak
bersifat eksklusif yang hanya bersumber dari satu golongan semata, tapi
moralitas yang mewakili seluruh nilai-nilai luhur yang hidup dalam hati
masyarakat kita.
Sila pertama ini menunjukan bahwa
negara Indonesia bukan negara sekulerisme tapi juga bukan negara teokrasi
sepenuhnya. Ajaran-ajaran moral yang terkandung dalam semua kitab suci agama
kita adalah modal utama membuat keputusan-keputusan politik. Sebab semua
individu masyarakat niscaya memiliki Tuhan. Dengan kesadaran ini maka manusia
Indonesia senantiasa akan merasa diawasi oleh Tuhan atas tiap apa yang ia
kerjakan.
Setelah fundamen yang disebut
moralitas telah terbentuk dengan kokoh, selanjutnya pilar-pilar politik dapat
dibangun diatasnya. Dalam artian nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, demokrasi
dan keadilan adalah konsekuensi logis daripada nilai Ketuhanan. Politik ideal
dalam tubuh Pancasila adalah berpolitik dengan moralitas. Kemanusiaan yang adil
dan beradab mensyaratkan bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang di dalam
dirinya melekat hak-hak asasi sebagai anugerah paling suci dari Tuhan Yang Maha
Esa.
Sedangkan Persatuan Indonesia
terbentuk ketika bangsa yang begitu plural mencapai tahap kesadaran bahwa ada
hal yang paling fundamental yang sama-sama ada di dalam perbedaan. Persamaan
tersebut adalah sama-sama bertanggungrasa atas nasib kebangsaan kita,
mencita-citakan hal yang sama, yaitu kemerdekaan. Alam Indonesia bisa saja
terdiri dari masyarakat yang multi-kultural, multi-entis, multi-religius, dan multi-lain-lain. Akan tetapi rasa
sepenanggungan atas harapan merupakan kepemilikan bersama yang mensyaratkan
persatuan di dalamnya.
Maka atas dasar persatuan itulah
konsepsi kerakyatan itu hadir. Konsepsi bahwa nilai kerakyatan itu harus
disusun dengan kebijaksanaan, melalui permusyawaratan yang direpresentasikan
oleh wakil-wakil rakyat. Dalam sila inilah konsepsi demokrasi kita
direkontruksi. Bahwa demokrasi Pancasila harus dibentuk terlebih dahulu oleh
semangat nasionalisme tadi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, demokrasi kita adalah
demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai raja. Yang dengan kekuasaannya
menyerahkan mandat kepada para wakil rakyat untuk menjalankan kehendak-kehendak
sosial.
Ketika konsepsi humanisme,
nasionalisme dan demokrasi tersebut berdiri dengan teguh di atas fundamen
moralitas, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
keniscayaan. Keadilan yang tidak hanya komutatif dan kumulatif, tapi keadilan
yang memperpendek spasi antara kesenjangan dan kesejahteraan segenap
masyarakat. Dengan demikian pudar pula dikotomi antara golongan ninggrat dan
golongan masyarakat kecil. Sebab Indonesia bukanlah negara mayokrasi yang hanya
mengakomodir kepentingan masyarakat banyak, bukan pula negara minokrasi yang mementingkan
keinginan segelintir orang-orang elitis, tapi negara gotongroyongkrasi yang
memenuhi kehendak bersama. Pada akhirnya konsepsi mengenai Negara Integralistik
(Integralistic-state) Soepomo dapat tercipta atas dasar negara kebangsaan (national-state).
Kemerdekaan telah diraih lebih
dari setengah abad lamanya. Segenap impian bangsa kita telah terkristalkan
dalam Pancasila. Yang menjadi permasalahan hari ini adalah bagimana kita
membumikan nilai-nilai tersebut sehingga tidak sekedar tinggal dalam teks-teks
belaka. Berangan-angan memang mudah, hanya saja mempraktekannya yang susah.
Kita telah mengetahui bersama bahwa prasyarat bagi terbentuknya realitas
politik yang diidam-idamkan bangsa masa lalu adalah moralitas yang sesuai
dengan nilai luhur yang hidup dan menjadi hukum dalam masyarakat (living law). Agar nilai Pancasila tidak
berumur lebih pendek daripada semangat kemerdekaan kita bersama. Hari ini
memang Pancasila digantung di depan kelas kita dalam ruang lingkup pendidikan
formal. Sayangnya dia tinggal sekedar simbol yang tak bernyawa di depan sana.
Mungkin hari ini, di dalam kuburannya masing-masing para pahlawan kita sedang
menangis tersedu-sedu, menunggu,dan berdoa, akan kedatangan Pancasila yang
sesungguhnya, Pancasila yang hidup bukan sekedar dalam angan tapi hidup dalam
diri masyarakat. Pancasila yang bertranformasi dari simbol ke tataran praktis. Sosok
yang disebut Ratu Adil, Kesatria Pininggit atau apapun namanya. Yang jelas,
adalah mereka yang dapat menjalankan Moralitas Politik Pancasila.
SALAM!!
2 Komentar
mantap adinda,.
BalasHapusMakasih kanda. Yakusa
Hapus