Surat
Terbuka Untuk ADM dan YSM; Mempertanyakan Konspirasi dalam Dana Aspirasi
Oleh : KPMIBM Cab. BANDUNG
Assalamualaikum
Wr. Wb
Syalom
Salam
Tabi bo Tanob
Setelah
gempa bumi wacana poltitik yang hari ini melanda bumi Indonesia, kembali
terperanjat dengan berita tentang dana aspirasi 20 M per kepala yang sudah
diketok oleh anggota-anggota dewan yang terhormat di singgasana mereka,
Senayan. Keprihatinan kumpulan-kumpulan mahasiswa dan mahsiswi Bolaang
Mongondow Raya yang melanjutkan pendidikan di Kota Bandung, melihat dengan
miris dan ironis bahwa ternyata wacana ini begitu sepi diberitakan di tanah
Totabuan. Padahal bukankah dua orang anak asli Totabuan hari ini tengah
menduduki kursi DPR RI, selaku representasi dari suara-suara rakyat BMR.
Teks
ini merupakan hasil daripada diksusi yang diselenggarakan oleh KPMIBM Cab
Bandung pada hari minggu, 28 Juni kemarin. Diskusi ini berangkat dari kegelisahan
pemuda-pemudi BMR melihat kondisi bangsa dan daerah yang terjebak dalam kekacauan
hebat. Bagi kami, diam adalah penghianatan. Terutama ketika kita semua
berbicara tentang masa depan serta harga diri rakyat yang seringkali
digadaikan, ironisnya oleh perwakilan rakyat itu sendiri. Kami melihat ada
indikasi perampokan terhadap rakyat lewat Usulan Program Pembangunan Daerah
Pemilihan (UP2DP) atau yang kita kenal dengan dana konspirasi, eh, dana
aspirasi.
Diam-Diam Terjadi Konspirasi
Setelah
lima tahun yang lalu di bawah rezim SBY, wacana tentang pemberian dana aspirasi
untuk tiap anggota DPR ditolak, hari ini wacana tersebut muncul di permukaan.
Kemudian pada tanggal 23 Juni kemarin, akhirnya pembahasan dana aspirasi
tersebut disetujui lewat rapat paripurna DPR RI yang dipegang langsung oleh
Fahri Hamzah. Bagi rakyat BMR yang belum terlalu paham ikhwal serta apa itu
dana aspirasi, akan kami bicarakan disini sesuai dengan hasil diskusi KPMIBM Cab
Bandung.
Gagasan
dana aspirasi pada mulanya berangkat dari gagasan bahwa agar setiap anggota DPR
dapat berkontribusi bagi pembangunan daerah pemilihnya. Permasalahan kenapa
lima tahun yang lalu tidak sempat diketok, salah satu problematikanya adalah tidak
adanya dasar hukum yang memayungi rencana dana aspirasi tersebut. Dana aspirasi
dapat dikatakan juga sebagai balas budi anggota dewan terhadap konstituen yang dianggap
berhasil membawanya ke parlemen. Dana tersebut akan dikucurkan dengan total 20
M per individu. Yang apabila kita hitung secara total, jumlahnya adalah 11,2
Triliun sesuai dengan jumlah keseluruhan seluruh anggota DPR RI. Dengan
estimasi seperti itu, tidak diragukan lagi nantinya APBN akan membengkak dan
potensi terjadi kekacauan perimbangan keuangan antara DPR dan pemerintah sangat
mungkin terjadi.
Meskipun
wacana dana aspirasi berada di tengah-tengah badai Pro dan Kontra, akan tetapi
akhirnya lolos juga dan ditetapkan di sidang paripurna. Melihat dari perspektif
hukum, kami secara pribadi menilai bahwa dasar hukum yang digunakan sebagai
legalitas eksistensi dana aspirasi sangat lemah. Merujuk kepada pasal 80 poin
(j) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR RI, DPRD dan DPD (selanjutnya
disingkat UU MD3), bahwa hak anggota DPR RI adalah “mengusulkan dan memperjuangkan
program pembangunan daerah masing-masing”.
Beberapa
kritik yang lahir dari diskusi KPMIBM, merentet menjadi beberapa poin yang
perlu untuk diketahui oleh seluruh rakyat terutama rakyat BMR. Bahwa, pertama, dengan diperolehnya legitimasi
anggota DPR sebagai eksekutor anggaran. Berlandaskan pasal 80 poin (j) UU MD3,
bahwa anggota DPR RI tidak memiliki hak untuk bekerja secara nyata dan langsung
di lapangan, lantas apa lagi bedanya dengan tugas pokok dan fungsi dari lembaga
Eksekutif? Dalam teori pemisahan kekuasaan Montesqieu (Trias Politica), agar supaya negara tidak berlaku diktator maka kekuasaan
harus dipisahkan menjadi beberapa lembaga kekuasaan yakni Eksekutif ,
Yudikatif, dan Legislatif. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya lembaga
Legislatif hanya berperan dalam ruang lingkup legislasi, aspirasi dan
budgeting. Sedangkan fungsi untuk mengeksekusi program dan aspirasi,
merupakanfungsi daripada Lembaga Eksekutif. Dengan adanya dana aspirasi, maka
hilanglah batas-batas antara kekuasaan Eksekutif dan Legislatif. Ketakutan yang
akan muncul, akan terjadi tumpang tindi kewenangan.
Yang
perlu dipahami bersama adalah bahwa DPR RI selaku lembaga Legislatif tidaklah
berperan sebagai eksekutor anggran. DPR hanya bisa menganggarkan dana untuk
dilaksanakan dan diselenggarakan secara langsung dan aktif oleh unit pemerintah
pusat ataupun unit pemerintah daerah.
Kedua, terjadi
tumpang tindih antara peran DPR RI dan DPRD. Kebijakan tentang dana aspirasi
secara nyata melanggar prinsip subsidiaritas, yakni prinsip bahwa institusi
yang lebih tinggi (pemerintah pusat) harus melakukan pengendalian diri untuk
tidak mengambil alih tanggungjawab institusi yang lebih rendah. Namun institusi
yang lebih tinggi bertanggungjawab menolong institusi yang lebih rendah
mencapai kemandirian. Dalam prinsip Otonomi Daerah sesuai dengan UU No 3 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, bahwa instansi yang lebih rendah diberikan
keleluasan untuk mengurus diri sendiri.
Bila
kita analisis, kewenangan anggota DPR RI untuk mengurusi kepentingan daerah dimana
dia terpilih, rupanya mengalami tumpang tindih dengan kewenangan anggota DPRD.
Bagaimana tidak? Sesuai dengan asas dekonsentrasi, bahwa lembaga pusat hanya
memiliki kewenangan mengurusi urusan pusat sedangkan pemerintah daerah hanya
memiliki kewenangan di daerah. Kalau dana aspirasi memberikan legitimasi
terhadap anggota DPR RI mengurusi kepentingan daerah, lantas apa gunanya DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota? Kalau begitu bubarkan saja.
Bukankah
anggota DPR RI ketika terpilih, dia harusnya merupakan representasi rakyat
Indonesia. Maka DPR RI harusnya fokus di dalam memperhatikan kepentingan
nasional. Ketika nantinya DPR RI membawa gengsi serta ego kedaerahan di
tengah-tengah kepentingan nasional, yang terjadi hanyalah ego sektarian. Fokus
terhadap pembangunan nasional secara menyeluruh dan total kemudian tereduksi.
Maka, daripada mengurus dana aspirasi untuk daerah pemilihannya lebih baik
tidak usah, yang harusya merupakan urusan DPD karena DPD lebih khusus berbicara
dan mengurusi kepentingan otonomi daerah. Kalau ternyata DPR RI masih ngotot untuk mengerjakan dana aspirasi,
bubarkan saja DPD.
Ketiga, dana
aspirasi melanggar prinsip proporsionalitas atau prinsip keadilan dalam
pemerataan pembangunan. Berbicara tentang keadilan, maka konsekuensi logis
adalah memikirkan juga perihal kesetaraan. Mari kita analisis secara sederhana
apabila dana aspirasi ini dberlakukan, misalnya provinsi A mengirimkan delapan
orang delegasi ke Senayan, bagaimana dengan daerah yang sedikit perwakilannya?
Konklusinya, adalah bahwa (1) akan ada ketidaksetaraan, (2) kecemburuan sosial,
dan (3) ketimpangan pembangunan.
Selain
itu, bila kita cermati secara seksama. Nantinya yang akan menikmati dana
aspirasi ini malah adalah daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tinggi.
Lantas bagaiamana nasib daerah dengan tingkat penduduk yang rendah? Ketimpangan pembangunan dari dana aspirasi
kalau dikelompokan berdasarkan pulau, sekitar 54 % terdistribusi di Jawa, 22%
di Sumatera. Selebihnya di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua masing-masing hanya kurang dari 10%.
Keempat, model
dana aspirasi tidak sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Model dana
aspirasi yang disepakati oleh DPR RI mengikuti konsep pork barrel politics di Amerika Serikat. Konsep ini tidak memiliki
dasar hukum yang memadai di Indonesia, dikarenakan di Indonesia, Lembaga Legislatif
tidak berhak menjadi kuasa pengguna anggran.
Kelima, dana
aspirasi hanya akan membebani anggaran. Dengan disahkannya eksistensi dana
aspirasi, maka potensi tumpang tindih dengan penggunaan anggaran yang sudah
disepakati oleh pemerintah pusat dan DPR RI dalam APBN sangat tinggi terjadi.
Selain itu apabila kita merujuk pasal 12 ayat (2) UU No 17 Tahun 2003, bahwa
RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, bukan berdasarkan
daerah pemilihan.
Dana
aspirasi bertentangan dengan asas dana perimbangan. Dana aspirasi hanya akan
semakin menambah dana liar ke daerah yang tida sesuai dengan asas dana
perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti
yang diamanatkan dalam UU No. 33 Tahun 2004. DPR tidak bisa serta merta mengalokasikan
dana aspirasi tanpa adanya payung hukum atau ketentuan normatif dalam UU
Pemerintah Daerah.
Keenam, adanya
tendensi bahwa apara anggota DPR yang terhormat hanya ingin melanggengkan status quo, agar lebih lama bisa
berkuasa di atas kursi Senayan. Bahwa dana aspirasi kemudian akan menjadi
program pribadi jangka panjang mereka untuk menghadapi PEMILU 2019 nanti. Jelas
dana aspirasi akan menjadi efektif untuk menarik simpati konstituen. Sehingga
para anggota DPR tidak perlu modal banyak untuk kembali mencalonkan diri.
Padahal anggota DPR sudah mendapatkan dana tambahan yang besar nilainya. Dana
reses yang diterima para anggota dewan setiap kali masa reses juga sudah
ditingkatkan.
Ketujuh, berdasarkan
hasil survey, dana aspirasi malah banyak memunculkan penolakan dari masyarakat.
Litbang Kompas dalam salah satu jajak pendapat yang dilakukan pada tanggal
17-19 Juni 2015, merilis bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat pada kinerja
DPR berkisar di angka 85,6%. Survey tersebut dilakukan dengan partisipan
berjumlah 639 responden yang berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin
dan Denpasar. 76,7% tidak yakin dana aspirasi yang diusulkan DPR bisa
meningkatkan pemerataan pembangunan. Rupanya para anggota dewan yang terhormat
mengalami paradoksikalitas dalam berpikir. Bagaimana bisa dana aspirasi diketok
dengan nama dana “aspirasi”, sedang sesuai dengan jajak pendapat yang
dilakukan, aspirasi yang muncul malah lebih dari 75% tidak menyetujui dana
aspirasi yang disepakati oleh DPR.
Kedelapan, akan
terjadi overlapping dengan UU
terkait. Bila dana aspirasi ini dilaksanakan, maka akan terjadi ketidaksesuaian
dengan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004
Tentang Pebendaharaan Negara, UU N. 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Secara konseptual dana aspirasi memiliki tendensi overlapping dengan dana desa yang di dalam UU No. 6 Tahun 2014
telah mengkonsepkan pelaksanaan pembangunan secara nyata. UU tersebut telah
menyerahkan kemandirian mengurus diri sendiri pada desa, maka tidak perlu lagi
DPR RI untuk turun mengurusi.
Dengan
demikian, konklusi yang kemudian kami tarik dari segudang problematika yang
terpendam dalam konspirasi dana aspirasi ini, adalah bahwa dana aspirasi
merupakan produk cacat daripada kekeliruan berpikir (fallacy of logic) para anggota dewan yang terhormat. Dan semoga
saja kami salah, dengan berpandangan bahwa para anggota dewan yang terhormat,
menyepakati kebijakan dana aspirasi ini dengan landasan syahwat serta libido
politik yang berlebihan demi mempertahankan status
quo. Semoga saja merupakan kesimpulan yang salah, bahwasanya kebijakan yang
dikeluarkan tersebut adalah suatu fenomena keserakahan akan kekuasaan atau abuse of power.
Meminta Pertanggujawaban Perwakilan
Legislator BMR
Karya: GCS
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, bahwa hari ini terdapat enam orang perwakilan
Sulawesi Utara di singgsana Senayan. Dari hasil kesepakatan dana aspirasi,
hanya fraksi PDIP, HANURA dan NASDEM saja yang menolak perihal dana aspirasi
ini. Dengan kata lain, mari kita mempertanyakan sikap serta suara hati daripada
empat perwakilan Legislator Senayan selaku putra daerah. Bagaimana sikap
seorang Weni Waraue dari fraksi Gerindera, E.E. Mangindaan dari Demokrat,
terutama yang terhormat Aditya Anugerah Moha dan Yasti Soepredjo Mokoagow
selaku anak daerah BMR.
Dalam
penilaian kami, tidak etis apabila rakyat dibiarkan dan diasingkan dengan
ketidaktahuan mereka. Sedangkan bumi Indonesia, terutama Totabuan, sedang ramai
dengan goncang-gancing perspesi negatif mengenai dana aspirasi ini. Sekali
lagi, semoga saja kami yang salah menilai bahwa RAPBN 2016 nanti akan dirampok
secara besar-besaran oleh para legislator yang terhormat. Sehingga dengan penuh
dengan kerendahan hati, bisakah kami mengacu pada Pasal 81 poin (k) UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3, bahwa kejawiban
para anggota DPR RI adadalah “Memberikan pertanggungjawab secara moral dan
politik kepada konstituen di daerah pemilihannya”.
Sebelum
teks ini berakhir, merupakan harapan besar kami selaku pemuda yang
digadang-gadang sebagai agen pembangunan, agar dapat memperoleh klarifikasi
langsung dengan yang bersangkutan. Jikalau memang misi yang dibawa oleh ADM dan
YSM terutama, merupakan misi pembangunan tanpa menghianati kepercayaan rakyat,
maka pertanggungjawabkan itu pada kami sehinga kami merasa tidak salah memilih
orang. Akhir kata, kami tantang kalian untuk membuktikan bahwa Leo Tolstoy
salah ketika dia berucap “Diam-diam, negara sedang melakukan pestapora
perampokan!”.
2 Komentar
acirdisp-no Amanda Black https://wakelet.com/wake/kaM0oM5Mo8E18268vaK1Z
BalasHapusliotirnami
madedest_shiSpringfield Timothy Burks
BalasHapusPrograms
tisucomne